Untuk menghindari lebih banyaknya mutasi, diperlukan percepatan upaya pengendalian Covid-19 melalui surveilans, pembatasan sosial, dan vaksin.
Dua varian virus korona baru, SARS-CoV-2 yang pertama kali diidentifikasi di Inggris dan Kalifornia telah bergabung menjadi mutasi hibrida, yang menandai babak baru mutasi. Untuk menghindari lebih banyaknya mutasi, diperlukan percepatan upaya pengendalian Covid-19 melalui surveilans, pembatasan sosial, dan vaksin.
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis (18/2) mengatakan, vaksin hanya salah satu tameng untuk melindungi manusia dari Covid-19. Langkah-langkah epidemiologi lain untuk mengendalikan wabah di antaranya melalui penguatan tes, lacak, isolasi dan membatasi pergerakan manusia, dan mencegah kerumunan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Vaksin yang saat ini ada dikembangkan untuk strain yang lama. Kalau virusnya berubah, vaksin yang sekarang bisa tidak efektif. Karena itu pemberian vaksin harus dipercepat untuk mencapai herd immunity,” kata dia.
Wiku menambahkan, pandemi Covid-19 ini sulit diketahui bagaimana berakhirnya. Jika masih ada negara yang belum terbebas, maka ini akan menjadi endemi, yang sewaktu-waktu bisa muncul kembali. “Ini sebenarnya adalah pelajaran yang besar untuk umat manusia di dunia. Kapan berakhir? Paling mudah (jawabannya) adalah sampai dengan keseimbangan alam terjadi,” katanya.
—-Varian SARS-CoV-2 yang ditemukan di Indonesia. Sejauh ini belum ditemukan varian baru B.1.1.7 dari Inggris, namun hal ini dikhawatirkan karena minimnya surveilans genomik yang dilakukan. Sumber: Aligning Bioinformatics, Riza Arief Putranto (2021)
Mutasi Rekombinasi
Mutasi karena penggabungan atau dikenal sebagai “rekombinasi” virus ini ditemukan dalam sampel virus SARS-CoV-2 di California, Amerika Serikat. Virus hibrida yang ditemukan merupakan hasil rekombinasi dari varian B.1.1.7 yang lebih menular dari Inggris dan varian B.1.429 yang berasal dari California dan diduga bertanggung jawab atas gelombang kasus Covid-19 di Los Angeles.
Rekombinan ditemukan oleh Bette Korber di Laboratorium Nasional Los Alamos di New Mexico dan disampaikan pada pertemuan yang diselenggarakan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan New York pada 2 Februari. Menurut dia, ada bukti yang cukup jelas dalam database genom virus AS, dan dilaporkan Newscientist pada edisi 17 Februari 2021.
Dalam presentasinya Korber menyebutkan, “Kami menemukan setidaknya satu rekombinan.” Tidak seperti mutasi biasa, di mana perubahan terakumulasi satu per satu, rekombinasi dapat menyatukan banyak mutasi sekaligus. Sering kali, hal ini tidak memberikan keuntungan apa pun bagi virus, tetapi terkadang bermanfaat bagi virusnya, namun sebaliknya menjadikannya lebih berbahaya bagi manusia.
Peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto mengatakan, temuan ini perlu dipublikasikan dulu di jurnal atau laporan ilmiah untuk direviu sejawat, seperti dilakukan para peneliti di Eropa. “Namun, jika memang rekombinasi ini telah terjadi bisa berbahaya karena bisa menghasilkan virus baru. Bisa jadi bakal ada SARS-CoV-3,” kata dia.
Menurut Riza, mutasi rekombinan ini menandai fase baru pandemi covid-19, karena lebih banyak varian hibrida bakal muncul dan membawa konsekuensi perubahan karakter virus yang belum bisa dipastikan ke depannya.
Sementara itu, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan, belum ditemukannya varian baru SARS-CoV-2 tidak berarti hal itu belum ada di Indonesia. “Kita hanya belum beruntung saja untuk menemukan varian baru. Tapi kita sedang memburunya dengan fokus pada kasus-kasus yang tidak biasa,” kata dia.
Sejauh ini kapasitas surveilans genomik Indonesia untuk mendeteksi varian baru SARS-CoV-2 masih sangat kurang. Berdasarkan analisis yang dilakukan Riza dari data GISAD dan Wordometer, Indonesia baru mendaftarkan 394 total genom SARS-CoV-2. Jumlah ini hanya 0,03 persen dari total kasus Covid-19 di Indonesia. Berdasarkan jumlah total genom yang didaftarkan ke bank data GISAID, Indonesia hanya menempati peringkat ke-7 dari 10 negara di Asia Tenggara.
—–Indonesia baru mendaftarkan 394 total genom SARS-CoV-2 atau 0,03 persen dari total kasus Covid-19 yang ada. Ini menempatkan Indonesia di urutan ke-7 dari 10 negara di Asia Tenggara. Sumber: Riza Arief Putranto (2021)
Menurut Riza, minimal jumlah genom yang dianalisis sama atau lebih dari 0,05 persen dari jumlah kasus di tiap nmegara. Sedangkan nilai ideal adalah 1 persen atau lebih. Untuk di ASEAN, negara yang paling tinggi prosentase analisis genomiknya adalah Kamboja, yaitu sebanyak 46 atau sekitar 9,6 persen dari total kasusnya yang hanya 479. Berikutnya Vietnam sebanyak 150 genom atau 6,61 persen.
Sementara itu, secara global GISAID telah menerima data 532.067 genom atau 0,49 persen dari total kasus Covid-19 di dunia yang mencapai 109,5 juta. Negara dengan prosentase analisis genomiknya paling tinggi adalah Australia, yang mendaftarkan 17.235 genom dari 28.900 kasus atau 59.64 persen. Berikutnya, New Zealand mendaftarkan 1.107 dari 2.336 kasus atau 47,39 persen.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 19 Februari 2021