Pilihan pembangunan pemerintah belum menunjukkan arah moratorium izin perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Indikasinya, pemenuhan elektrifikasi sebagian besar masih bergantung pada pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan pembangunan infrastruktur yang mengeksploitasi batubara.
“Moratorium harus dilakukan konsisten dengan pembatalan infrastruktur yang kontradiktif,” kata Pius Ginting, Kepala Unit Kajian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Rabu (20/4), di Markas Greenpeace Indonesia, Jakarta. Walhi bersama Jaringan Advokasi Tambang menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo di Pulau Karya, Kepulauan Seribu, pekan lalu.
Saat ini masih ada pembangunan rel ganda kereta api pengangkut batubara di Sumatera Selatan dan rel KA pengangkut batubara yang menghubungkan Kalteng-Kaltim. “Moratorium jadi angin lalu tanpa pembatalan kebijakan,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Eksploitasi 400 juta ton batubara setiap tahun-hanya 15 persen untuk pemenuhan dalam negeri-sebagian besar dilakukan perusahaan nasional/multinasional. Ketika kini harga batubara anjlok, produksi berlebih itu cenderung berusaha diserap dalam negeri melalui pembangunan PLTU di sejumlah tempat.
Walhi menagih komitmen Presiden Joko Widodo saat mengajukan dokumen niat kontribusi Indonesia (INDC) saat Konferensi Perubahan Iklim 2015 di Paris, Perancis. Saat itu, Presiden menyatakan pengurangan pemakaian batubara dari 60 persen jadi 50 persen untuk pemenuhan target pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW.
Hendrik Siregar, Direktur Eksekutif Jatam, mengatakan, moratorium pertambangan-diperkirakan berformat instruksi presiden-takkan sanggup menstop ekspansi tambang di wilayah pertambangan. “Wilayah pertambangan ini amanat UU yang setelah terbit bisa ditenderkan. Kalau mau moratorium harus ditinjau ulang dulu,” ujarnya.
Muhammad Teguh Surya, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan, moratorium tak akan efektif tanpa evaluasi (perizinan) dan penegakan hukum. Moratorium kehutanan sejak 2011 dan diperpanjang 2015 oleh Presiden Joko Widodo tak banyak membuahkan hasil bagi perbaikan tata kelola kehutanan.
Data Greenpeace Indonesia, lebih dari 1.400 perkebunan sawit di Indonesia bermasalah, di antaranya karena di lahan/hutan bergambut dalam (417.000 ha di gambut berkedalaman lebih dari 4 meter), di area moratorium kehutanan (1,1 juta ha), dan mengalami kebakaran. “Data ini sudah kami sampaikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi agar ditindaklanjuti,” katanya.
Secara terpisah, Direktur World Resources Institute Indonesia Nirarta Samadhi mengatakan, niat moratorium Presiden merupakan konsep baik untuk mengurangi tekanan pada hutan. Namun, tantangan terberat ada pada detail pelaksanaan. (ICH)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 April 2016, di halaman 14 dengan judul “Langkah Pembangunan Bertentangan”.