Indonesia dinilai terbuai dengan tambang batubara sehingga setengah hati mengembangkan energi terbarukan yang melimpah. Jika Indonesia terlalu lamban, peluang ekonomi dalam pemanfaatan energi terbarukan kembali dikuasai negara lain.
The Economist Intelligence Unit, mengutip Badan Energi Terbarukan Internasional Tahun 2017, menyatakan, pemanfaatan energi surya di Indonesia baru 17 megawatt (MW). Capaian itu jauh tertinggal dibandingkan dengan Thailand (2.697 MW), Filipina (885 MW), dan Malaysia (362 MW). Adapun pemanfaatan energi angin hanya 1 MW, jauh tertinggal dari Thailand (628 MW), Filipina (427 MW), dan Vietnam (99 MW).
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN–Kincir-kincir angin berjajar milik Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo-1 di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (2/2/2019). PLTB berkapasitas 72 MW ini menjadi PLTB terbesar kedua di Indonesia setelah PLTB Sidrap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Harus ada peta jalan transisi menuju energi terbarukan,” kata Adhityani Putri, juru bicara #BersihkanIndonesia, Senin (11/2/2019), di sela-sela aksi teatrikal Koalisi #BersihkanIndonesia di KPU, Jakarta. Koalisi yang terdiri atas 35 organisasi masyarakat sipil itu menitipkan empat pertanyaan terkait energi bersih kepada Ilham Saputra, komisioner KPU yang menerima mereka.
Peta jalan ataupun strategi lebih serius dan mengikat diperlukan agar Indonesia mengurangi ketergantungan dari energi kotor, batubara. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2018-2027 menargetkan 23 persen sumber energi terbarukan pada 2025 atau naik dari 12 persen tahun 2017. Saat ini porsi energi terbarukan dari pembangkit listrik 12,4 persen (2018), turun dari tahun 2016 dan 2017 sebesar 12,6 persen.
Menurut Margaretha Quina, aktivis yang tergabung dalam koalisi, keseriusan mengembangkan energi terbarukan membuka sumber pertumbuhan ekonomi serta industri baru. Mengutip data Greenpeace Indonesia, panel surya menciptakan 10 pekerjaan per MW, jauh lebih tinggi daripada energi batubara yang hanya menciptakan 1 pekerjaan per MW.
Selain itu, secara global, biaya pembangkitan energi terbarukan menurun signifikan. Harga energi surya turun 73 persen dibandingkan tahun 2010 dan biaya pembangkitan energi terbarukan sudah menyaingi biaya pembangkitan batubara.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Dinamisator Nasional Jaringan Advokasi Tambang Merah Johansyah Ismail, Senin (11/2/2019) di Ke:Kini, Jakarta, memaparkan Paket Informasi Oligarki Tambang Di Balik Pilpres 2019. Jatam menunjukkan keterkaitan para elit politik dalam industri tambang batubara dan tambang lain.
Secara terpisah, Merah Johansyah Ismail, Dinamisator Nasional Jaringan Advokasi Tambang, menilai energi terbarukan hanya mimpi jika politik Indonesia disokong industri batubara. Ada temuan bahwa para politisi terkait pemilihan presiden dan wakil presiden 2019 memiliki relasi dengan industri dan tambang batubara.
”Premis kami, pemilu menjadi sarana pembaruan praktik oligarki untuk melanggengkan kendali dana publik untuk kepentingan mereka,” ujarnya. Mekanisme pelaporan dana kampanye pada KPU dinilai hanya untuk memenuhi syarat administrasi.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 12 Februari 2019