Pembangunan PLTU Batubara Kontradiktif

- Editor

Kamis, 7 Januari 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pemerintah mendorong pembangunan pembangkit listrik tenaga uap batubara dalam Proyek Pembangunan Tenaga Listrik 35.000 MW. Itu dinilai kontradiktif dengan upaya pengurangan emisi gas karbon.

“Pengoperasian pembangkit itu justru akan menambah emisi CO2 di atmosfer,” kata Arya Rezavidi, pakar energi baru terbarukan dan konservasi energi pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Rabu (6/1), di Jakarta.

Pada Konferensi Perubahan Iklim di Paris, akhir tahun lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan kembali komitmen Pemerintah RI mengurangi emisi gas CO2 sebesar 29 persen pada tahun 2030 atau 41 persen dengan bantuan internasional.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

CoalFiredPowerPlantDiagram02“Satu-satunya jalan, setidaknya agar tak terlalu membebani atmosfer dengan gas karbon, adalah mewajibkan pengembang PLTU batubara menggunakan teknologi superefisien dan ramah lingkungan meskipun tetap mengeluarkan gas CO2,” kata Arya yang juga Direktur Peningkatan Kapasitas SDM pada Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi Indonesia.

Teknologi itu tersedia, tetapi lebih mahal. Ada dua teknologi yang bisa diterapkan, yakni teknologi gasifikasi batubara menjadi syngas yang lalu membakar gasnya untuk menggerakkan turbin. Cara ini mengurangi banyak sisa CO2 dalam pembakaran.

Teknologi lain ialah penggunaan ketel uap atau boiler superkritikal. Boiler ini lebih efisien daripada jenis yang konvensional karena suhunya mencapai tekanan sangat tinggi.

Teknologi PLTU superkritikal mencapai tekanan uap hingga 24 megapascal (MPa), pada PLTU subkritikal hanya 16,7 MPa. Suhu pada PLTU subkritikal 538 derajat celsius, pada superkritikal 600 derajat celsius. “Saat ini bahkan sudah ada PLTU ultrakritikal bertekanan 30 MPa dan suhu 700 derajat celsius,” ujar Cahyadi, Manajer Konversi Bahan Bakar dan Kontrol Polusi Balai Besar Teknologi Energi BPPT.

Pemakaian PLTU superkritikal, menurut Arie Rahmadi, Kepala Bidang Pelayanan Teknologi B2TE BPPT, lebih rendah hingga 40 persen dibandingkan dengan PLTU biasa. Selain itu, penggunaan energinya efisien.

Investasi membangun PLTU superkritikal berkapasitas hingga 1.000 MW perlu anggaran hingga 2 miliar dollar AS. Namun, setelah berjalan beberapa tahun, tarif listrik tak beda jauh dengan tarif saat ini, sekitar Rp 700 per kilowatt jam. (YUN)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Januari 2016, di halaman 14 dengan judul “Pembangunan PLTU Batubara Kontradiktif”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Berita ini 61 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 4 Juli 2025 - 17:25 WIB

Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB

Artikel

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Jun 2025 - 14:32 WIB