Monika Raharti Memotivasi Peneliti Belia Indonesia

- Editor

Jumat, 22 Mei 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Monika Raharti memotivasi pelajar SMA untuk menjadi peneliti belia yang bisa berkompetisi di ajang internasional. Dia membawa para peneliti belia meraih kesuksesan.

DOKUMENTASI PRIBADI—Monika Raharti, Direktur Center for Young Scientiests

Monika Raharti (55) meyakini riset dapat membekali anak-anak muda Indonesia menjadi manusia unggul di masa depan. Monika pun membuka jalan bagi peneliti belia Indonesia yang duduk di bangku SMA agar bisa berkompetisi di ajang riset peneliti muda internasional. Bahkan Monika menginspirasi hadirnya jaringan peneliti belia di kawasan Asia Pasifik dan meningkatkan kompetisi guru pembimbing riset di Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Monika yang berpengalaman menjadi guru dan dosen fisika dan matematika ini merintis jalan bagi pelajar SMA Indonesia ikut dalam lomba International Conference of Young Scientists (ICYS) di Warsawa, Polandia pada tahun 2005. Ketika itu, Indonesia jadi satu-satunya negara di Asia yang ikut dalam kompetisi riset yang didominasi pelajar Eropa. Kepergian Monika awalnya ditugaskan fisikawan Yohanes Surya untuk menyiapkan pelajar Indonesia ke ajang bergengsi First Step to Nobel Prize yang fokus di bidang penelitian.

Monika jatuh cinta dengan kegiatan yang memfasilitasi peneliti muda untuk mengembangkan kegiatan riset di kalangan pelajar dengan cara berpikir serta metodologi riset yang baik dan benar, seperti di tingkat perguruan tinggi. Peneliti belia ditantantang untuk bisa memiliki ide penlitian dan melakukan riset dengan kreatif dan jujur.

Monika yakin, lewat penelitian ada banyak manfaat yang bakal didapatkan pelajar Indonesia, terutama pembentukan karakter. Karena itulah, Monika dengan semangat tinggi menjaring peneliti belia dari Indonesia supaya setiap tahun bisa hadir di ICYS dan meraih prestasi. Monika menyeleksi tim Indonesia lewat Lomba Peneliti Belia yang digelar di berbagai provinsi yang didukung pemerintah daerah atau perguruan tinggi setempat.

“Sebenarnya ikut lomba ICYS yang ada medalinya ini, semacam gula-gula pemanis saja. Apalagi ketika itu kompetisi riset bagi pelajar masih belum dianggap menarik dan bergengsi. Tidak semenarik olimpiade sains lain yang sudah populer, seperti fisika, biologi, matematika, dan yang lainnya,” ujar Monika yang dihubungi dari Bandung, Kamis (30/4/2020).

DOKUMENTASI PRIBADI—Monika Raharti (kelima dari kanan) bersama peneliti belia Indonesia yang didampinginya ke ajang lomba peneliti belia internasional, ICYS. Tim penelitia belia Indonesia diakui dunia dengan topik riset keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia.

Indonesia Diakui
Monika gigih untuk membawa pelajar Indonesia ke ajang ICYS setiap tahun dengan membawakan beragam topik penelitian yang mengangkat keanekargaman hayati Indonesia. Para pelajar Indonesia yang dibimbing Monika selalu berhasil meraih prestasi, mulai meraih medali emas, perunggu, maupun perak. Kiprah peneliti belia Indonesia diakui di ajang ICYS yang tiap tahun diikuti puluhan negara.

Pada tahun 2010, Monika diangkat menjadi satu dari delapan anggota steering comittee ICYS, satu-satunya dari Asia, yang lain didominasi Eropa. Monika diminta untuk bisa mempromosikan ICYS di kawasan Asia. Kompetisi yang menggelar lomba riset bidang matematika, fisika, komputer, ecology life science, dan environmental science, ini awalnya belum populer di kalangan pelajar Asia.

Tantangan itu dijawab Monika dengan menggagas berdirinya Asia-Pasific Conference of Young Scientists (APCYS) yang berpusat di Indonesia. Jaringan Monika yang luas di kalangan ilmuwan memuluskan jalannya untuk bisa memperkuat APCYS. Dia menggandeng sejumlah profesor dari perguruan tinggi ternama di Asia.

Lomba peneliti belia tingkat Asia Pasifik dengan standar ICYS bisa terus berlangsung. Tidak hanya di Indonesia, tapi negara lain seperti Taiwan, Malaysia, India, Thailand, Rusia, dan negara lainnya. Dampaknya, peserta peneliti belia yang ikut ICYS dari Asia makin bertambah dan membuat dinamika kompetisi semakin menarik.

Monika boleh berbangga hati karena APCYS tidak sekadar jadi ajang lomba menuju ICYS. Jaringan kerja sama antara berbagai perguruan tinggi di Asia jadi terbuka. Universitas saling mengundang dan membiayai atau menawarkan beasiswa bagi peserta untuk kuliah di sana. Ada pula kesempatan untuk konferensi atau pelatihan bagi guru pendamping riset untuk menambah wawasan di perguruan tinggi di Asia.

Dukungan untuk mendorong munculnya peneliti belia terus digagas Monika. Dia ikut mendirikan kompetisi International Conference of Young Social Scientists atau lomba riset bagi penliti belia bidang sosial mulai tahun 2018. Ajang ini bisa terselenggara dengan menggandeng ilmuwan dari Serbia dan Slovenia.

Monika melihat pembelajaran berbasis riset masih minim dilakukan sekolah Indonesia. Padahal lewat riset, para pelajar diajak untuk mencintai sains, cara berpikir yang lebih baik, cara belajar yang lebih baik, sehingga mereka menyukai belajar. Lewat riset, anak-anak bisa jadi terrbuka dan bekerja sama yang penting untuk masuk dalam dunia global.

Monika menyaksikan pelajar yang bergabung di ICYS begitu gigih. Keterbatasan laboratorium tidak mematahkan semangat untuk melakukan riset dengan baik. Ana

DOKUMENTASI PRIBADI—Monika Raharti turut melatih dan mendukung guru pembimbing riset Indonesia.

Anak-anak muda ini punya hasrat yang kuat sehingga mampu mengatasi berbagai keterbatasan karena mempelajari dari apa yang disuka serta dibimbing dengan semangat oleh guru.

Lagi-lagi, Monika mengagagas supaya para guru yang mendampingi siswa dalam penelitian ditingkatkan kapasitasnya. Di mendorong lahirnya Asosiasi Guru Pembimbing Penelitian Indonesia dan mendukung adanya sertifikasi bagi pembimbing riset .

Tetap Bertahan
Ketika tahun 2015, ICYS Indonesia harus mandiri karena tidak lagi di bawah naungan Surya Institute, Monika tetap gigih memimpin tim Indonesia. Secara jujur, Monika mengakui keuangan menjadi terbatas dan sponsor sulit didapatkan. Dukungan suaminya I Gde Wayan Samsi Gunarta yang tadinya peneliti di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan kini menjabat Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Bali, membuat Monika mantap untuk terus mempertahankan Center for Young Scientist.

Monika pun berhenti jadi dosen supaya bisa fokus mengembangkan hasrat hatinya mendukung peneliti belia Indonesia. Pendanaan pun jadi terbatas. Akibatnya, keberangkatan peserta dan pendamping harus didanai secara mandiri. Namun, Monika merasa berbesar hati karena negara lain tetap mendukung dan meminati APCYS yang dipimpin Monika.

“Pintar-pintar kita aja untuk pendekatan dan menunjukkan bahwa kegiatan ini berkualitas. Ternyata, negara lain mau menyelenggarakan dengan meriah. Saya belajar pentingnya pendekatan yang baik dan menjaga kepercayaan. Saya meyakini, kalau kalau kita melakukan untuk kebaikan, orang-orang pada percaya kok,” ujar Monika yang pernah jadi dosen, antara lain di Universitas Parahyangan Bandung dan Surya University.

DOLUMENTASI PRIBADI—Penyelengaraan Lomba Peneliti Belia di Indonesia digelar secara mandiri dari tingkat provinsi untuk menuju tingkat nasional.

Kadangkala hatinya sedih dan menangis karena anak-anak yang sebenarnya juara satu, dua, atau tiga di ajang Lomba Peneliti Belia nasional tidak bisa ikut di ajang internasional. Mengatasi keterbatasan dana, Monika memang sejak awal memastikan pada peserta, sekolah, atau pemda, untuk secara mandiri membiayai peserta yang lolos ke ajang internasional.

“Saya tetap bertahan di ICYS untuk menunjukkan pada dunia dan orang Indonesia sendiri, bahwa orang Indonesia mampu dan hebat. Riset anak-anak kita berkualitas. Saya berharap bisa berkontribusi dalam melahirkan calon periset unggul lewat komunitas Center for Young Scientists,” ujar Monika yang sedang menyelesaikan pendidikan doktornya di perguruan tinggi di Malaysia.

Monika yakin membangun pembelajaran berbasis riset dapat mendukung anak-anak menjalani belajar yang menyenangkan. Entah nanti mereka jadi peneliti atau berkarir di bidang lain, Monika percaya fondasi riset membangun kemampuan anak-anak bangsa untuk megasah logika, kreativitas, jujur, gigih, terbuka, dan mampu bekerja sama.

Monika Raharti
Lahir : Bandung, 3 Januari 1965

Pendidikan:
1. Sarjana dan Master Fisika di Institut Teknologi Bandung
2. Program Doktoral Fakultas Pendidikan Teknik dan Vokasional, Universitas Pendidikan Sultan Idris Malaysia (menunggu jadwal sidang).

Pekerjaan:
1993-2012 Dosen Jurusan Fisika, Universitas Katolik Parahyangan Bandung
2003-2005 Dosen Jurusan Teknik Sipil, ITENAS Bandung
2005-2007 Dosen Jurusan Teknik Elektro, Universitas Telkom Bandung
2012-2015 Dosen Jurusan Green Energy, Surya University Tangerang
2006-sekarang Direktur Center for Young Scientists

Organisasi:
2005-sekarang : Representative Indonesia untuk International Conference of Young Scientists
2010-sekarang : Pendiri & Presiden Asia-Pacific Conference of Young Scientists
2010-sekarang : Anggota Steering Committee International Conference of Young Scientists
2011-sekarang : Anggota Pengurus Pusat, Himpunan Fisikawan Indonesia
2012-2018 : Anggota Dewan Pengarah Association of Asia-Pacific Physical Societies
2014-sekarang : Wakil Indonesia untuk International Women in Physics
2015-sekarang : Wakil Indonesia untuk International Year of Light, International Day of Light, Day of Photonics, UNESCO
2015-sekarang : Anggota Kehormatan sebagai Pendiri Asosiasi Guru Pembimbing Penelitian Indonesia
2018-sekarang : Pendiri & Anggota Dewan Pengarah International Conference of Young Social Scientists

Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU

Editor: MARIA SUSY BERINDRA

Sumber: Kompas, 22 Mei 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 10 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB