Pemerintah telah menyusun peta daerah rawan bencana gempa, Peraturan untuk menerapkannya pun telah ditetapkan, tetapi minim implementasinya.
Sebagian besar wilayah di Indonesia berpotensi gempa, mulai dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Hanya Kalimantan yang relatif aman dari gempa. Peta kerawanan gempa telah dibuat secara rinci baik skala lokal atau pun provinsi. Peta ini seharusnya bisa menjadi pedoman pemerintah daerah dalam membangun tata ruang di daerahnya.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudy Suhendar menjelaskan wilayah rawan gempa bumi di Indonesia dalam konferensi pers terkait peta kawasan rawan bencana geologi dan gempa bumi di Sulawesi Tengah, Rabu (3/10/2018) di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 9 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan, pemerintah daerah berwenang menetapkan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan pembangunan daerah; membuat perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana; dan mengatur penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana pada wilayahnya.
Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudy Suhendar mengatakan, kawasan rawan gempa sudah dipetakan. Setiap provinsi atau pun daerah telah dibagi dalam beberapa kawasan, baik kawasan bencana gempa bumi tinggi, menengah, rendah, dan sangat rendah.
–Infografik Citra satelit wilayah terdampak gempa bumi dan tsunami
Peta tersebut telah direkomendasikan kepada sejumlah pihak terkait, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pemerintah daerah, serta badan penanggulangan bencana. “Rekomendasi ini diharapkan bisa menjadi pedoman dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah di daerah,” katanya ketika menjelaskan peta kawasan rawan bencana geologi dan gempa bumi di Sulawesi Tengah, Rabu (3/10/2018) di Jakarta.
Dalam UU Nomor 27/2007 pun disebutkan, perencanaan pembangunan perlu memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana. Daerah kawasan bencana tinggi perlu lebih waspada. Misalnya, pembangunan di daerah rawan gempa harus dipastikan menggunakan material bangunan yang aman dan tahan gempa. Penyuluhan terkait mitigasi kebencanaan, cara evakuasi yang benar ketika terjadi bencana, serta kesiapan dalam menghadapi bencana juga perlu dipastikan.
Rawan tinggi
Terkait kondisi Sulteng, Badan Geologi pada 2012 telah membuat peta kasawan rawan bencana gempa di povinsi ini. Dalam peta ditunjukkan, Kabupaten Donggala dan Kota Palu masuk dalam zona kawasan rawan bencana gempa bumi tinggi. Kawasan ini berpotensi mengalami goncangan gempa bumi dengan skala intensitas lebih besar dari VIII Modified Mercally Intensity (MMI).
Kawasan ini juga berpotensi terjadi retakan tanah, pelulukan (likuefaksi), gerakan tanah pada lereng terjal, serta pergeseran tanah. Percepatan gempa bumi pun bisa lebih besar dari 0,45 g (satuan percepatan gravitasi bumi). Daerah ini umumnya disusun oleh batuan berumur kuater berupa aluvium (rentan likuefaksi), koluvium, endapan pantai, dan rombakan gunung api yang bersifat lepas sehingga dapat memperkuat dampak goncangan gempa.
SUMBER: BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ESDM–Peta Kawasan Rawan Bencana Gempa Bumi di Sulawesi Tengah
Dalam peta ini ditunjukkan pula sejarah gempa yang merusak wilayah Sulteng. Dari pencatatan, gempa dan tsunami pernah terjadi di Donggala pada 1927, di Teluk Tomini (sebelah timur Kabupaten Donggala) pada 1938, Tambu pada 1968, Toli-toli (Donggala) pada 1996, Luwuk (Banggai) pada 2000, dan Tojo pada 2002. Adapun gempa yang merusak terjadi antara lain di Lemo (1910), Una-una (1960 dan 1982), Toli-toli (1983), Lawe (1985), Parigi (1995), dan Poso (2006).
Sebelumnya, peneliti ahli geologi kegempaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Danny Hilman Natawidjaja mengatakan, wilayah yang terdampak gempa di Sulteng saat ini berada di Sesar Palu-Koro. Sesar ini rentan terjadi geseran yang memicu terjadinya gempa.
“Sebaiknya tidak ada bangunan yang berdiri di jalur sesar ini. Apalagi bangunan vital, seperti sekolah, rumah sakit, atau kantor pemerintahan,” ujarnya.
Rudy menyayangkan, implementasi untuk tata ruang daerah kurang memerhatikan pertimbangan risiko bencana. Jika melihat dampak gempa M 7,4 di Sulteng, sebagian besar bangunan belum menerapkan bangunan tahan dan aman gempa. Dampaknya, gempa tersebut menimbulkan kerusakan yang sangat besar.
Penginderaan jauh
Berdasarkan citra satelit resolusi tinggi Pleiades, jumlah bangunan yang rusak akibat gempa di Palu dan Donggala sebanyak 5.146 bangunan. Perhitungan itu dilakukan oleh tim gabungan dari Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Asian Institute of Technologi Thailand.
Kepala Lapan, Thomas Djamaluddin menjelaskan, metode yang digunakan dalam perhitungan tersebut adalah interpretasi visual dengan membandingkan data citra satelit Pleiades dengan resolusi 0,5 meter sebelum dan sesudah gempa. Data tersebut berupa citra satelit sebelum gempa pada 6 Juli 2018 yang diterima Stasiun Bumi Lapan di Parepare, Sulawesi Selatan dan citra satelit setelah gempa pada 30 September 2018 yang diterima Internasional Disaster Charter.
Pada tampilan penampang vertikal rumah yang tampak pada citra satelit itu terhitung 418 bangunan atau rumah di Kabupaten Donggala dan 2.403 bangunan di Palu rusak berat. Sedang yang rusak ringan 315 bangunan di Donggala dan 2.010 bangunan di Palu. Dari total 5.146 rumah atau bangunan rusak yang terdata, 1.045 di antaranya berada di Perumnas Balaroa yang amblas dengan luas sekitar 47,8 hektar.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Potret dari udara Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Palu, Sulawesi Tengah, yang tertimbun lumpur, Selasa (2/10/2018). Diperkirakan masih ada warga terkubur lumpur akibat fenomena likuefaksi setelah gempa Jumat (28/9/2018).
“Data kerusakan bangunan diperkirakan lebih banyak lagi karena belum seluruh wilayah terdampak gempa tercitrakan satelit,” kata Thomas. Tim gabungan masih bekerja dengan data satelit lain, dan terus berkomunikasi dengan komunitas Internasional Disaster Charter.
Sementara itu Kepala Badan Informasi Geospasial, Hasanuddin Z Abidin mengatakan pihaknya menyediakan Informasi Geospasial Dasar dan Informasi Geospasial Tematik untuk membantu penanganan gempa dan tsunami Palu dan Donggala. Data tersebut dapat diakses di situs web https://cloud.big.go.id/index.php/s/sxb9TEStoDYT276.
Drive tersebut berisi data sebaran bangunan di Kota Palu dan Kabupaten Donggala. Data ini bersumber dari Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:5.000, 1:10.000, 1:25.000, dan 1:50.000. Data sebaran bangunan ini tidak hanya berisi sebaran bangunan atau rumah, tetapi juga berisi sebaran fasilitas kesehatan (rumah sakit, posyandu, dan puskesmas), fasilitas pendidikan, dan kantor pemerintahan.
“Salah satu kegunaan dari data sebaran bangunan ini adalah dapat digunakan sebagai bahan untuk survei kerusakan bangunan akibat gempa dan tsunami di Kota Palu dan Kabupaten Donggala,” kata Hasanuddin. Selain itu data penggunaan lahan daerah Palu dan sekitarnya disiapkan juga dalam rangka pemenuhan analisa data untuk estimasi penghitungan kerusakan.
Selain itu Digital Elevation Model (DEM) Nasional resolusi 8 meter yang dibangun BIG, juga bisa diunduh gratis untuk analisis daerah terdampak tsunami dan juga berbagai perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi nantinya. Informasi tersebut dapat diunduh di http://tides.big.go.id/DEMNAS.
DEM Nasional dibangun dari beberapa sumber data meliputi data satelit radar yaitu Interferometric Synthetic Aperture Radar (IFSAR) resolusi 5 meter, satelit TERRASAR-X (resolusi 5m) dan satelit ALOS PALSAR resolusi 11,25 meter, dengan menambahkan data Masspoint hasil stereo-plotting.–DEONISIA ARLINTA/YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 4 Oktober 2018