Kesadaran bangsa Indonesia hidup di wilayah rawan bencana alam amat rendah. Berbagai pengalaman kebencanaan yang terjadi belum membentuk upaya mitigasi yang kuat. Peran pemerintah melalui kebijakan mitigasi bencana dibutuhkan untuk menumbuhkan kesadaran di masyarakat.
Berdasarkan Peta Rawan Bencana (Hazard Maps) 2017, ada 295 sesar aktif yang tersebar di Indonesia. Gempa dengan skala terbesar dunia pernah terjadi di Indonesia, seperti gempa Aceh 2004 dengan magnitudo 9,2.
”Jadi soal kebencanaan nyata di depan mata dan bisa terjadi kapan saja. Namun, kesadaran soal itu belum terbangun di masyarakat, termasuk pada pemerintah, DPR, serta pemangku kepentingan lain. Selama ini seperti hanya tahu bahaya bencana, tanpa keberlanjutan upaya,” kata Guru Besar Institut Teknologi Bandung Teuku Abdullah Sanny di Jakarta, Rabu (14/11/2018).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Peneliti Madya Bidang Geoteknik Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adrian Tohari saat memaparkan potensi kerentanan likuifaksi di Indonesia dalam diskusi publik bertajuk “Potensi Gempa Besar dan Likuifaksi” di kantor KAHMI di Jakarta, Rabu (14/11/2018).
Jadi soal kebencanaan nyata di depan mata dan bisa terjadi kapan saja. Namun, kesadaran soal itu belum terbangun di masyarakat, termasuk pada pemerintah, DPR, serta pemangku kepentingan lain.
Perubahan menyeluruh amat dibutuhkan dalam upaya mitigasi bencana di Indonesia. Hal itu terkait dengan kebijakan, pengadaan dana mitigasi, dan kepatuhan pembangunan berbasis zonasi rawan bencana. Upaya mitigasi juga termasuk pada pendidikan rutin untuk pelatihan evakuasi bencana.
Peta zonasi
Untuk itu, pemerintah perlu membuat peta zonasi wilayah rawan bencana tiap daerah, terutama skala besar minimal 1:25.000. Kini belum semua wilayah di Indonesia punya peta zonasi bencana alam. Peta itu dipakai untuk penyusunan rencana tata ruang wilayah yang tepat.
Peta Rawan Bencana (Hazard Maps) di Indonesia
Peneliti Madya Bidang Geoteknik Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adrian Tohari, menambahkan, masyarakat terkesan abai akan besarnya bahaya bencana alam di Indonesia. Berbagai penelitian bencana menunjukkan kerentanan Indonesia terhadap bencana.
Salah satu kondisi yang juga perlu diwaspadai ialah risiko likuefaksi di Indonesia. Setidaknya tujuh kota besar di Indonesia rentan likuefaksi, yakni Banda Aceh (Aceh), Padang (Sumatera Barat), Bengkulu (Bengkulu), Bantul (Yogyakarta), Lombok (Nusa Tenggara Barat), Maumere (Nusa Tenggara Timur), dan Palu (Sulawesi Tengah).
Likuefaksi adalah hilangnya kekuatan lapisan tanah pasir lepas akibat kenaikan tekanan air tanah saat gempa kuat dengan durasi lama. Kondisi itu mengakibatkan lapisan tanah pasir menjadi seperti cairan sehingga bergerak mengalir atau tersembur lewat rekahan.
“Upaya paling mudah dilakukan dalam mitigasi likuefaksi adalah menghindari daerah yang rentan likuifaksi. Caranya dengan melihat peta yang tersedia atau langsung mempelajari kondisi geologi dan hidrologi lingkungan sekitar,” katanya.
Adapun metode lain dalam mitigasi likuefaksi yaitu memastikan konstruksi bangungan tahan terhadap likuefaksi. Bangunan perlu memiliki struktur yang fleksibel. Selain itu, untuk bangunan bertingkat perlu dipastikan memiliki pondasi yang dalam hingga berada di struktur tanah yang stabil.
“Cara lain bisa dengan perbaikan kualitas tanah dengan meningkatkan kepadatan dan kekuatannya dengan injeksi semen ataupun kompaksi. Namun, cara ini membutuhkan biaya yang cukup besar,” katanya.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 15 November 2018