Lapan Siapkan Misi Eksperimen di Luar Angkasa
Sejak krisis ekonomi melanda pada 1998, program pengiriman misi antariksa Indonesia, baik eksperimen maupun antariksawan, belum pulih. Keterbatasan anggaran masih menjadi persoalan utama meski kemampuan sumber daya manusia cukup memadai.
“Eksplorasi antariksa butuh biaya luar biasa dan teknologi tinggi,” kata Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin di sela-sela perayaan Pekan Antariksa Dunia di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (7/10).
Sejak 1980-an, Indonesia memiliki program pengiriman antariksawan ke luar angkasa sebagai spesialis muatan menggunakan pesawat ulang alik Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA). Pada 1985, Pratiwi Pujilestari Sudarmono terpilih sebagai calon antariksawan utama dan Taufik Akbar sebagai cadangan. Mereka direncanakan mengangkasa pada 1986.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, kecelakaan pesawat ulang alik Challenger pada Januari 1986 membuat sejumlah misi NASA ditunda, termasuk misi yang akan menerbangkan antariksawan Indonesia. Hingga krisis ekonomi terjadi, rencana penerbangan Pratiwi tidak terlaksana.
Saat ini, Lapan menyiapkan misi eksperimen di luar angkasa dalam kerangka kerja sama Forum Badan Antariksa Regional Asia Pasifik (APRSAF). Indonesia akan menyiapkan segala perangkat risetnya, tetapi riset dilaksanakan oleh antariksawan negara lain.
Tema riset yang sudah terpilih adalah pengendalian pematangan pisang dari Institut Teknologi Bandung. Riset ini untuk mengatur waktu matangnya pisang dan memperlambat pembusukan. Hasil riset tak hanya bisa dimanfaatkan masyarakat luas, tetapi juga untuk menyediakan makanan segar bagi antariksawan di luar angkasa.
“Keterbatasan anggaran membuat misi eksperimen itu juga belum bisa dilakukan,” katanya. Meski demikian, Thomas mengatakan, program yang sekadar mengirimkan antariksawan untuk merasakan penerbangan luar angkasa atau joy flight sebagai program mercusuar suatu negara tidak akan dilakukan.
Eksplorasi antariksa
Untuk tetap menjaga asa dan semangat mengeksplorasi antariksa, Lapan, akademisi, beserta penggiat dan komunitas astronomi di sejumlah daerah aktif mengampanyekan beberapa program eksplorasi antariksa dalam sejumlah kegiatan. Salah satunya dalam perayaan Pekan Antariksa Dunia (WSW) yang dilaksanakan secara internasional setiap tahun pada 4-10 Oktober.
Tanggal 4 Oktober adalah peluncuran satelit pertama buatan manusia, Sputnik 1, milik Uni Soviet pada 1957. Adapun 10 Oktober merupakan penandatanganan traktat mengenai prinsip-prinsip yang mengatur kegiatan negara-negara dalam eksplorasi dan penggunaan antariksa, termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya, pada 1967.
WSW tahun ini mengusung tema “Eksplorasi Dunia Baru di Antariksa” dengan titik berat pada eksplorasi manusia dan robot di dunia baru di luar angkasa. Lapan memperingatinya dengan menggelar Festival Sains Antariksa (FSA) 2017 dengan melibatkan sejumlah komunitas, seperti Langit Selatan, Imah Noong, dan Universe Awareness (Unawe) Indonesia.
Menurut Pratiwi yang hadir dalam seminar FSA 2017, pengiriman manusia ke luar angkasa hingga kini bukan perkara mudah. Tinggal di luar angkasa seminggu saja, dengan lingkungan yang terbatas dan berbeda dengan kondisi sehari-hari di Bumi, akan mengubah fisik dan mental manusia.
Lingkungan dengan gravitasi mikro di luar angkasa akan memengaruhi fungsi beberapa organ dan meningkatkan risiko sejumlah penyakit. Cara makan, minum, dan buang air pun berbeda dengan di Bumi. Suasana sunyi juga rentan memunculkan kesepian yang memengaruhi kesehatan mentalnya.
Pratiwi mengatakan, meski semua itu bisa diatasi dengan sains dan teknologi ataupun proses adaptasi, manusia adalah makhluk sosial.
Sementara itu, dosen astronomi ITB, Endang Soegiartini, mengatakan, membangun koloni baru manusia di planet lain memang mungkin dilakukan dengan perkembangan sains dan teknologi antariksa saat ini. Namun, semua butuh waktu panjang dan biaya besar.
Sebagai contoh, untuk menjadikan Mars yang tandus seperti sekarang menjadi planet hijau yang layak huni butuh hampir 500 tahun. Waktu selama itu diperlukan untuk membangun atmosfer, menciptakan air, menghangatkan suhu, menanam tumbuhan, dan membangun koloni di Mars. Semua kegiatan itu butuh biaya hampir 4 triliun dollar AS atau sekitar Rp 52.000 triliun.
Meski pengiriman misi ke luar angkasa masih terkendala, Lapan terus mengembangkan teknologi antariksa, khususnya satelit. Saat ini, Lapan telah meluncurkan tiga satelit mikro eksperimental dan diharapkan satelit keempat dan kelima akan meluncur pada 2019 dan 2022. Setelah itu, Lapan berharap bisa membuat satelit operasional sendiri pada 2023.
“Lapan menargetkan Indonesia mampu meluncurkan satelit mikro sendiri dengan menggunakan roket buatan sendiri pada 2040,” kata Thomas. (MZW)
Sumber: Kompas, 9 Oktober 2017