Generasi muda menjadi tumpuan untuk perbaikan kualitas hidup dan lingkungan. Upaya membangun kesadaran bersama kalangan pemuda dan pelajar di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara telah dilakukan sejak tahun 2012 melalui Asian Students Environment Platform.
Sebanyak 80 mahasiswa perwakilan dari sepuluh negara berpartisipasi dalam Asian Students Environment Platform (ASEP) yang ke-8 di Kamboja pada 1-6 Agustus 2019. Acara tahunan yang diinisiasi AEON Environmental Foundation ini diikuti mahasiswa dari Kamboja, China, Indonesia, Jepang, Thailand, Vietnam, Malaysia, Korea Selatan, Myanmar, dan Filipina. Dari Indonesia diwakili delapan mahasiswa Universitas Indonesia.
–Sebanyak 80 mahasiswa perwakilan dari sepuluh negara berpartisipasi dalam Asian Students Environment Platform (ASEP) yang ke-8 di Kamboja pada 1-6 Agustus 2019. Acara tahunan yang diinisiasi AEON Environmental Foundation ini diikuti mahasiswa dari Kamboja, China, Indonesia, Jepang, Thailand, Vietnam, Malaysia, Korea Selatan, Myanmar, dan Filipina. Kompas/Ahmad Arif
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami ingin mendorong anak-anak muda menjadi bagian terdepan dalam menjaga lingkungan hidup dan sosial. Tahun ini temanya, sesuai sejarah Kamboja adalah perdamaian yang berkelanjutan. Kami percaya anak-anak muda bisa menjadi kunci bagi dunia yang lebih baik,” kata Yuriko Yamamoto, Sekjend AEON Environmental Foundation, dalam pembukaan acara ASEP, di Phnom Penh, Kamboja, Jumat (2/8/2019).
Keseimbangan ekosistem
Wakil Rektor Royal University of Phnom Penh, Oum Ravy mengatakan, anak muda merupakan kunci untuk perbaikan kualitas hidup di masa depan. “Selain bisa memperbaiki lingkungan melalui perubahan gaya hidup sendiri, mereka juga bisa mempengaruhi orang tua dan keluarga,” katanya.
Sementara biolog dari Royal University of Phnom Penh, Sophany Phauk, dalam paparannya, mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dan keragaman hayati yang saat ini tengah menghadapi tekanan akibat masifnya pembangunan. Dia mencontohkan perubahan ekosistem di Kamboja yang semula menjadi salah satu satu pusat keragaman hayati penting di kawasan Asia.
“Keragaman hayati ini menjadi sumber kehidupan manusia. Di Kamboja, kelompok etnis asli dan pedesaan terpencil sangat bergantung pada keanekaragaman hayati untuk kebutuhan dasar mereka seperti makanan, air, tempat tinggal, obat-obatan dan mata pencaharian,” katanya.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, pertumbuhan populasi yang tinggi dan peningkatan ekonomi telah mengonversi hutan alam menjadi pertanian, degradasi lahan dan polusi yang disebabkan oleh pertanian dan industri yang tidak berkelanjutan. Apalagi, belakangan banyak investasi dari luar, utamanya dari China untuk infrastruktur yang berdampak padakerusakan lingkungan. Fenomena sama disebut juga terjadi di banyak negara lain di Asia.
Selain terjadinya degradasi lingkungan, semua negara saat ini juga menghadapi perubahan iklim yang telah meningkatkan risiko bencana alam. “Pembangunan yang berkelanjutan harus dilakukan secara seimbang dengan pelestarian keragaman hayati,” kata Shopany.
Para peserta mendapatkan paparan tentang pentingnya keragaman hayati dari biolog dari Royal University of Phnom Penh, Sophany Phauk, Jumat (2/8). Kompas/Ahmad Arif
Dia menambahkan, beberapa kerusakan lingkumgan di kawasan Asia terjadi lintas negara, sehingga membutuhkan kerjasama untuk mengatasinya. Misalnya, rusaknya eksosistem dan migrasi ikan di Sungai Mekong akibat pembangunan banyak dam di sejumlah negara yang dilintasi sungai ini.
Selain paparan di kelas dari para akademisi dan praktisi, para peserta juga diajak ke lapangan yang dipusatkan di kawasan hutan dan candi Angkor Wat. Dalam studi lapangan ini, peserta akan dikenalkan dengan sejarah dan perubahan lingkungan, termasuk bagaimana teknologi penginderaan jauh bisa digunakan untuk menganalisis perubahan ini.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 3 Agustus 2019