Dilema Lingkungan dan Pembangunan

- Editor

Selasa, 6 Agustus 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Perubahan iklim dan penurunan keragaman hayati akibat ulah manusia telah menjadi tantangan global dan upaya untuk mengatasinya menuntut tanggungjawab semua bangsa. Namun demikian, negara berkembang menghadapi dilema antara mempertahankan lingkungan dengan tuntutan pertumbuhan ekonomi.

KOMPAS/AHMAD ARIF–Sebanyak 80 mahasiswa dari 10 negara Asia yang mengikuti Peserta Asian Students Environment Platform (ASEP) ke-9 diajak menanam pohon di kompleks candi Angkor Wat di Siem Reap, Kamboja pada Minggu (4/8). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya menjaga lingkungan yang kini menghadapi tekanan akibat pembangunan. Kompas/Ahmad Arif

Upaya untuk menanamkan kesadaran tentang pentingnya menjaga lingkungan terhadap peserta Asian Students Environment Platform (ASEP) ke-9 yang didukung AEON Environmental Fondation ini dilakukan dengan mendiskusikan penurunan keragaman hayati dan persoalan lingkungan di Asia, khususnya Kamboja. Selain itu, sebanyak 80 mahasiswa dari 10 negara Asia yang mengikuti kegiatan ini juga diajak menanam pohon di kompleks candi Angkor Wat di Siem Reap, Kamboja, Minggu (4/8/2019).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Upaya pelestarian kompleks candi dari abad ke-9 hingga ke-15 dan telah ditetapkan sebagai salah satu Pusaka Dunia (World Heritage) ini menghadapi dilema dengan banyaknya penduduk yang tinggal di dalamnya. Hutan seluas 162 hektar yang mengelilingi kompleks candi ditebang untuk diambil kayunya maupun untuk lahan pertanian.

“Sejak beberapa tahun terakhir kami memiliki gerakan untuk untuk menanam kembali hutan di sekitar Angkor Wat,” kata Yit Chandaroat, Deputy Director General of Apsara National Authority, Kamboja yang bertanggungjawab untuk melindungi Angkor Wat.

Menurut Chandaroat, upaya untuk mereboisasi hutan ini selain melibatkan penduduk lokal, kalangan swasta, juga mengajak para wisatawan dan pelajar berbagai negara yang mengunjungi Angkor Wat. “Angkor Wat bukan hanya warisan untuk masyarakat Kamboja, tetapi juga untuk dunia.

Karena itu, kami selalu mengajak para pengunjung dari berbagai negara untuk ikut melestarikan hutan dan lingkungan di sini. Kami senang mahasiswa dari berbagai negara di Asia turut serta menanam pohon di sini,” katanya.

Sebanyak 500 pohon jenis kro nhoung (Dalbergia cochinchinensis) dan chheu teal (Dipterocarpus alatus) telah ditanam para mahasiswa internasional di area hutan yang sebelumnya ditebang masyarakat lokal untuk lahan sawah. “Ini dua jenis tanaman. Kita tidak bisa menanam jenis lain dari luar karena bentang alam di sini juga dilindungi kelestariannya,” kata Chandaroat.

KOMPAS/AHMAD ARIF–Kondisi candi Angkor Wat di Seam Reap, Kamboja, Sabtu (3/8). Upaya pelestarian lingkungan di kompleks candi yang dibangun pada abad ke-9 hingga ke-15 dan memiliki luasan 162 hektar menghadapi tantangan dengan banyaknya penduduk yang hidup di dalamnya. Kompas/Ahmad Arif

Ekonomi politik
Angkor Wat menjadi contoh antara pelestarian lingkungan dan warisan budaya dengan tuntutan pembangunan, khususnya masyarakat pedesaan yang masih diliputi kemiskinan. Menurut biolog dari Royal University of Phnom Penh, Sophany Phauk, tekanan terhadap lingkungan juga dipicu investasi dari negara-negara lain di Asia, dalam kasus di Kamboja akhir-akhir ini terutama oleh pesatnya pembangunan infrastruktur dibiayai perusahaan multinasional, khususnya dari China.

Fenomena serupa terjadi di Indonesia, seiring maraknya pembangunan infratruktur dan industri ekstraktif yang mengorbankan lingkungan. Sejarah penebangan hutan di Kalimantan pada tahun 1965-1980-an, juga melibatkan perusahaan multinasional dari Jepang selain Korea Selatan dan kayunya diekspor ke negara-negara tersebut.

“Dalam diskusi kelompok, beberapa rekan mencoba mengangkat mengenai ekonomi politik dan lingkungan. Misalnya, rekan dari Filipina mempersoalkan kenapa negara berkembang diminta menjaga lingkungan, padahal masyarakatnya masih miskin,” kata Alya Triska Sutrisno, mahasiswa Universitas Indonesia, yang turut dalam ASEP kali ini.

Selain mendiskusikan terkait masalah lingkungan dan kemudian ke lapangan untuk menanam pohon, para mahasiswa juga dikenalkan dengan kemajuan teknologi untuk mengatasi persoalan lingkungan. Masatoshi Kamei dari Remote Sensing Technology Center of Japan memaparkan pemakaian penginderaan jauh untuk memantau berbagai masalah lingkungan, mulai dari tren meningkatnya gas rumah kaca, suhu, hingga pembalakan hutan di berbagai negara.

“Dengan penginderaan jauh memakai satelit, kita bisa mengetahui proses pembalakan hutan terjadi di Amazon. Informasi itu lalu disampaikan ke aparat keamanan di Brazil dan berhasil menekan pembalakan hutan yang tengah berlangsung. Saat ini Jepang memberikan layanan yang sama kepada negara-negara di Asia Tenggara terkait pembalakan yang berlangsung. Informasi ini bebas diakses,” ujarnya.

Muhamad Asvial, dosen Teknik Elektro Universitas Indonesia, yang menjadi pendamping dalam ASEP kali ini mengatakan, kegiatan yang mempertemukan mahasiswa berbagai negara dengan perbedaan latar belakang keilmuwan ini, menjadi momen terbaik bagi mereka untuk belajar. “Lingkungan merupakan masalah bersama, sehingga penting bagi mahasiswa lintas disiplin untuk memahaminya dan besama-sama mencari solusi,” katanya.

Oleh AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 5 Agustus 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB