Menjaga Bumi melalui Ajaran Agama

- Editor

Kamis, 16 Mei 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Konsumsi penduduk dunia telah melebihi kecepatan bumi untuk menghasilkan sumber daya alam. Kondisi bumi semakin kritis. Ajakan untuk sadar menjaga bumi melalui ajaran agama dapat menjadi solusi efektif.

Mengutip data Global Footprint Network, penduduk dunia telah menggunakan seluruh sumber daya alam dari yang bisa disediakan pada 1 Agustus 2018. Artinya, penduduk dunia telah menggunakan alam 1,7 kali lebih cepat dari sumber daya yang dapat dihasilkan oleh bumi pada 2018.

KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA–Suasana diskusi ”Pertumbuhan Hijau dan Keberlanjutan: Implementasi untuk Kota Indonesia yang Berketahanan” di Jakarta, Rabu (15/5/2019).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Soeryo Adiwibowo, di Jakarta, Rabu (15/5/2019), mengatakan, mayoritas negara di dunia masih menggunakan model ekonomi klasik. Negara-negara memacu pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan konsumsi masyarakatnya.

”Fokus pembangunan masih tertuju pada kesejahteraan material, bukan kebahagiaan penduduk. Akibatnya, konsumsi tidak dapat dikendalikan,” kata Soeryo seusai diskusi ”Pertumbuhan Hijau dan Keberlanjutan: Implementasi untuk Kota Indonesia yang Berketahanan” di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, hingga saat ini, ekonom-ekonom dunia belum menemukan formula praktik ekonomi yang dapat mengurangi konsumsi berlebihan sekaligus mendorong pertumbuhan. Namun, konsumsi masyarakat perlu mulai dikendalikan.

KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA–Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Soeryo Adiwibowo

Soeryo berpendapat, ajakan untuk menjaga lingkungan berdasarkan ajaran agama dapat menjadi cara yang efektif untuk mengendalikan konsumsi. Agama dapat mengingatkan masyarakat bahwa menjaga bumi merupakan bagian dari ibadah.

Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hayu Prabowo menyampaikan, potensi keagamaan untuk mengajak masyarakat menjaga lingkungan sangat besar. Nilai spiritual membentuk 80 persen perilaku individu yang diterapkan sebagai nilai budaya, sosial, politik, dan ekonomi.

Sisi tekstual
Kesadaran untuk menjaga lingkungan, ujarnya, dapat dilakukan dengan memberdayakan organisasi dan pemimpin agama untuk melakukan dakwah. Untuk itu, penting agar pemimpin agama memahami sisi tekstual ajaran agama yang digabungkan dengan sisi kontekstual dari masalah lingkungan yang dihadapi.

”Kami menggunakan bahasa agama untuk mengatasi krisis lingkungan. Namun, memang harus diakui masih sedikit pemimpin agama yang memasukkan masalah lingkungan dalam dakwah,” tutur Hayu.

Sejak 2011, MUI membentuk komunitas ecoMasjid. Komunitas tersebut mengajak umat untuk hidup dengan memperhatikan lingkungan. Sebagai contoh, umat harus menjaga air untuk wudu dengan menanam pohon, membuat sumur resapan, dan menampung air hujan.

Hingga kini, sebanyak 23 ecoMasjid tersebar di seluruh Indonesia. Pengembangan ecoMasjid berjalan lambat karena keterbatasan dana dan pemahaman masyarakat. MUI akan bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memperluas pengembangan ecoMasjid, salah satunya DKI Jakarta.

Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Oswar Muadzin Mungkasa menyampaikan, pemerintah DKI Jakarta akan bekerja sama dengan berbagai institusi keagamaan untuk mengarusutamakan kesadaran menerapkan gaya hidup yang berkelanjutan.

”Kami ingin menjadikan tokoh agama sebagai pendakwah ekoliterasi,” ujar Oswar.

Oleh ELSA EMIRIA LEBA

Sumber: Kompas, 15 Mei 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB