Hingga saat ini ilmu pengetahuan belum bisa meramalkan di mana dan seberapa kuat gempa serta tsunami berikutnya bakal terjadi. Namun, daerah-daerah berpotensi tsunami di Indonesia telah dipetakan. Kawasan selatan Jawa dan Selat Sunda termasuk yang dinilai punya potensi gempa dan tsunami besar.
Sesuai Peta Sumber dan Bahaya Gempa Bumi Nasional yang diluncurkan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada September 2017 lalu, potensi gempa dari zona megathrust atau patahan raksasa di selatan Jawa bisa mencapai kekuatan M 8,7. Selain dari zona megathrust ini, kawasan selatan Jawa bagian barat juga berisiko terdampak gempa dari Selat Sunda yang pada tahun 1903 dilanda gempa berkekuatan M 8,1.
Rahma Hanifa, peneliti geodesi kebumian dari Intsitut Teknologi Bandung (ITB) yang turut menyusun peta gempa ini mengatakan, dalam narasi di peta ini, jika segmen zona megathrust dari selatan Bengkulu runtuh bersamaan hingga ke selatan Jawa, potensi gempa yang dihasilkan bisa mencapai M 9,2.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berbekal Peta Sumber dan Bahaya Gempa Bumi Nasional 2017 ini, peneliti tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko kemudian melakukan pemodelan tsunami. Melalui pemodelan komputer ini, dia kemudian menghitung seberapa tinggi potensi gelombang tsunami dan seberapa cepat tiba di daratan.
Hasil kajian inilah yang kemudian dipresentasikan Widjo Kongko dalam seminar ilmiah di BMKG pada 3 April 2018 lalu. Widjo memberinya judul paparannya”Potensi Tsunami Jawa Barat”, yang kemudian disalahartikan oleh sejumlah media daring sebagai prediksi tsunami yang seolah-olah akan segera terjadi.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Pusat Gempa Nasional, Anggota staf Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) membaca simulasi potensi tsunami dengan perangkat Tsunami Gauge di ruangan Pusat Gempa Nasional di kompleks BMKG, Jakarta, Jumat (2/3). PGN memonitor tsunami melalui 142 perangkat “tide gauge tsunami monitoring”. KOMPAS/RIZA FATHONI
Dalam paparannya, Widjo menyebutkan membuat enam skenario tsunami jika ada gempa dari zona megathrust di selatan Bengkulu, Selat Sunda, dan selatan Jawa Barat. Tiga skenario pertama memodelkan jika tsunami dipicu tiap zona gempa terpisah. Skenario keempat dan kelima jadi kombinasi dua sumber gempa terjadi bersamaan.
Skenario keenam, jika zona megathrust ini mengalami gempa bersamaan dengan magnitudo di atas M 9 dan panjang runtuhan dasar laut 1.000 kilometer, ada satu lokasi di Pandeglang yang tinggi tsunami 57 meter. ”Itu skenario terburuk. Bukan prediksi, tetapi berdasar model bisa terjadi,” katanya.
Ahli gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Danny Hilman Natawidjaya, yang juga menjadi narasumber dalam seminar ini mengatakan, potensi gempa di selatan Jawa bahkan bisa lebih besar dari M 9.
“Kalau saya bahkan menghitung potensinya bisa mencapai M 9,5 kalau runtuh bersamaan. Saya sudah menyampaikan itu sejak tahun 2014 lalu dalam pertemuan di Sektretariat Negara dengan Rano Karno yang dulu menjadi Wakil Gubernur Banten,” kata Danny.
Jadi, potensi gempa besar di selatan Jawa, menurut Danny, bukan hal yang baru. “Dalam seminar kemaren juga saya singgung, kenapa yang diributkan media hanya tsunami 57 meter,” kata Danny.
Beberapa kajian yang terpisah yang dilakukan oleh ahli paleotsunami LIPI Eko Yulianto juga telah menemukan adanya jejak keberulangan tsunami besar di selatan Jawa, mulai dari Banten hingga Jawa Timur.
Menurut data Eko, setidaknya ada tiga kali tsunami besar di selatan Jawa yang diketahui penanggalannya dalam kurun 2.000 tahun, yaitu 1.800 tahun lalu, 1.000 tahun lalu, dan 300 tahun lalu. Ini tidak termasuk tsunami di Pangandaran pada 2006 dan tsunami yang melanda Banyuwangi pada 1994.
Lapisan tsunami dengan umur 1.800 tahunan ini, kata Eko, juga ditemukan di Pangandaran dan Cilacap. Deposit tsunami dengan umur 1.000 tahun ditemukan di Pangandaran. Adapun endapan tsunami yang berumur 300 tahun lalu ditemukan di Lebak, Pangandaran, dan Cilacap.
Perulangan tsunami di selatan Jawa berdasarkan jejak paleotsunami ini, menurut Eko, bersesuaian dengan kajian McCaffrey (2008) yang dalam papernya mengusulkan hipotesis baru mengenai potensi gempa besar (M? 9,0) yang berpotensi terjadi di semua zona subduksi di dunia, termasuk di selatan Jawa. Menurut penghitungan McCaffrey, periode perulangan gempa besar di selatan Jawa adalah per 675 tahun, sedangkan di Sumatera 512 tahun.
Jika bicara risiko bencana, sejarah juga mencatat bahwa pada tahun 1883 kawasan pesisir Banten, Jawa Barat hingga Lampung dilanda tsunami raksasa dari letusan Gunung Krakatau. Seperti disampaikan ahli tsunami dari Kementerian dan Kelautan (KKP) Abdul Muhari, ketinggian tsunami di Merak tercatat dalam sejumlah literatur mencapai 37 – 45 meter dan di Merak, Banten dan di Teluk Betong, Lampung mencapai 22 m. Jejak kedahsyatan tsunami Krakatau sampai saat ini masih terlihat dari batu karang sangat besar (boulder) dengan estimasi berat mencapai 600 ton yang terbawa tsunami sampai ke darat di kawasan pesisir Anyer.
“Jadi, kalau soal potensi tsunami hingga puluhan meter di Banten, itu juga sudah pernah terjadi di masa lalu. Belum terlalu lama malah dan itu pastinya akan berulang, cuman kita belum tahu kapan,” kata dia.
Kebenaran Ilmiah
Sekalipun para ahli telah menemukan jejak bencana geologi besar di selatan Jawa, namun demikian tak seorang pun bisa meramalkan kapan hal itu bakal terjadi, termasuk apakah akan sekuat sebelumnya atau bahkan lebih besar lagi. Bagaimanapun, kebenaran ilmiah bukanlah kepastian. A
Perekayasa teknologi kebencanaan BPPT Udrekh mengatakan, “Masih terlalu banyak hal yang tidak diketahui oleh para ilmuwan tentang kebumian kita. Namun, usaha para ilmuwan untuk sedikit demi sedikit menguak rahasia alam perlu kita berikan apresiasi,” kata dia.
Bahkan, negara seperti Jepang yang memiliki banyak ilmuwan dan riset tentang kebumian pun terbukti keliru memperhitungkan gempa Tohoku tahun 2011. “Jepang dengan data yang sangat lengkap dan beragam, masih dapat berbuat kasalahan yang cukup fatal. Besar dan tinggi tsunami yang terjadi pada tahun 2011 ternyata jauh lebih besar dari pada hasil kajian para ahli. Pertanyaannya, mana yang lebih baik, kita memahami potensi kejadian terburuk sehingga kita mempersiapkan segala sesuatu berdasarkan asumsi tersebut tapi tsunami yang datang lebih kecil, dibandingkan apa yang terjadi pada gempa Tohoku?” kata dia.
Kita tentu berharap akurasi dari hasil riset. Namun, kebenaran mutlak tentu hal mustahil diraih manusia. Maka, hal terbaik yang bisa kita lakukan saat ini adalah menerima kenyataan bahwa kita hidup di negara Cincin Api, yang memiliki risiko bencana. Namun, lebih penting lagi bagaimana mengelola risiko itu sehingga bisa selamat dari bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Untuk itu, kita butuh kajian mendalam dari para ilmuwan kebumian kita….–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 11 April 2018