Mengamati Bumi Bernapas

- Editor

Senin, 27 Mei 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Manusia mestinya menjadi semakin bersikap baik dan bertanggung jawab. Sebab, perbuatan dan perkataan kita meninggalkan jejak digital yang mudah ditelusuri. Dalam konteks perusakan dan penghancuran planet, kita sulit menutupi jejak kita-manusia. Selain pengukur yang ada di permukaan bumi, di luar angkasa pun melayang-layang berbagai instrumen yang mencatat dan mengamati pergerakan emisi gas karbondioksida penyebab pemanasan global pemicu perubahan iklim.

NASA/JPL – CALTECH–Instrumen Orbiting Carbon Observatory 3 (OCO-3) untuk memetakan konsentrasi gas rumah kaca (gas karbon) di permukaan bumi dan laut yang diluncurkan Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA), Sabtu (4/5/2019).

Awal bulan ini, Sabtu (4/5/2019), Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) meluncurkan instrumen Orbiting Carbon Observatory 3 (OCO-3) untuk memetakan konsentrasi gas rumah kaca (gas karbon) di permukaan bumi dan laut. Alat yang kemudian dipasang di Stasiun Ruang Angkasa Internasional (ISS) tersebut akan merekam emisi gas karbon dari matahari terbit hingga terbenam. Hasil pendataan tersebut dapat digunakan untuk mengetahui siklus gas karbondioksida (CO2) di atmosfer bumi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Gerak OCO-3 sesuai dengan ISS karena alat ini terpasang di sana. Cara pengamatan OCO-3 ini berbeda dengna OCO-2 yang diluncurkan lima tahun lalu. Instrumen OCO-2 tidak dipasang di ISS karena alat itu sendiri berupa satelit yang lintasan orbitnya sama dengan orbit sesuai sumbu matahari. Dengan posisi tersebut OCO-2 merekam titik yang sama pada waktu yang sama, setiap hari.

Insinyur pengatur sistem OCO-3 Matt Bennet dari Jet Propulsion Laboratory NASA di Pasadena, California menjelaskan, “Periode OCO-3 dalam memantau dan mengamati gas karbondioksida akan bervariasi setiap hari.” Stasiun ISS melewati orbit bumi setiap 90 menit, maka OCO-3 setiap hari akan melintas 16 kali sehari.

Pada prinsipnya, yang diamati tetap sama namun lokasi dan frekuensi pengamatan antara OCO-2 dan OCO-3 berbeda. Instrumen OCO-3 menjadi pelengkap pada pengamatan oleh OCO-2 yang saat ini masih beroperasi. Selama ini OCO-2 digunakan untuk mengamati distribusi gas karbondioksida dan mendeteksi titik-titik panas emisi karbon dan gunung api.

Mendeteksi sebaran
Cakupan wilayah yang dideteksi OCO-3 sesuai dengan lintasan ISS yaitu di antara 52 derajat Lintang Utara dan 52 derajat Lintang Selatan. Aktivitas manusia tertinggi ada di antara kedua lintang itu. Dari data yang didapat bisa diketahui bagaimana perilaku bumi terhadap konsentrasi gas karbon yang terus bertambah, bagaimana siklus gas karbon, serta untuk mengetahui titik lokasi emisi dan lokasi penyerapan gas karbon.

Data yang didapat berupa data resolusi tinggi dalam jumlah besar. Data-data tersebut berupa gambar-gambar yang lebih besar, cakupan tertentu, lebih jelas, dan lebih komplet karena lintasan ISS memungkinkan untuk mendapatkan data-data dari waktu yang berbeda-beda.

Dengan menggabungkan data-data satelit tersebut dengan data-data dari permukaan, diharapkan para ilmuwan dapat memahami peran siklus gas CO2, proses-proses di atmosfer, dan dampaknya terhadap iklim.

Secara alamiah, siklus gas CO2 antara emisi ke atmosfer dan penyerapan dari atmosfer melalui tanaman dan hewan, lautan, dan daratan berlangsung seimbang dalam waktu yang amat lama sebelum terjadi Revolusi Industri.

Konsentrasi gas CO2 meningkat secara dramatis setelah era industri, dari 280 bagian per juta (ppm-parts per million) pada sekitar tahun 1850, menjadi 400 ppm di tahun 2013. Angka langsung melampaui 410 ppm pada 2017, dan bulan ini, Mei 2019, telah melampaui 415 ppm. Jika dihitung secara cepat, dari zaman Revolusi Industri ke tahun 2013, telah terjadi peningkatan konsentrasi rata-rata sekitar 0,75 ppm per tahun. Dan, dari 2013 hingga 2019 rata-rata meningkat 2,5 ppm per tahun!

Emisi CO2 berasal dari pembakaran bahan bakar fosil-sumber energi di era industri. Gas CO2 memiliki efek rumah kaca yaitu bersifat memerangkap energi panas matahari di atmosfer yang menyebabkan pemanasan global. Saat ini rujukan pengukuran CO2 ada di stasiun pengukur atmosfer di Mauna Loa, Hawai, AS. Di seluruh dunia ada lebih dari 30 stasiun sejenis.

Di sisi lain, terjadi penyerapan gas CO2 dari atmosfer oleh lautan, tumbuhan, permukaan tanah, dan beberapa ekosistem lainnya. Itu semua disebut sinks atau rosot (bagian dari biosfer yang mengurangi konsentrasi karbon dioksida). Masalahnya, distribusi tempat-tempat penyerapan dan ekosistem ini masih belum jelas. Sementara efektivitas dan efisiensi rosot berubah sesuai waktu karena perubahan ekosistem dan lanskap.

Menurut Edvin Aldrian, anggota dewan Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), “Sejak tahun 1953 yang menjadi dasar pengetahuan mengenai emisi CO2 masih data dari stasiun di Mauna Loa dan lainnya. Belum disandingkan dengan data satelit,” ujarnya, Sabtu (25/5/2019). Data pendukung yang digunakan yaitu proksi rekam jejak sejarah antara lain dari fosil-fosil tumbuhan, lapisan es, terumbu karang, dan dari sedimen batuan.

Data satelit, tambahnya, amat jelas menggambarkan naik turunnya emisi CO2 secara spasial. Ibaratnya, data satelit menggambarkan bagaimana bumi bernapas. Semoga meja perundingan tak berlama-lama mencari solusi. Jangan sampai kita masih berdebat sementara bumi tanpa kita tahu telah berhenti bernapas…

Oleh BRIGITTA ISWORO LAKSMI

Sumber: Kompas, 26 Mei 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB