Meluruskan Niat Menulis

- Editor

Selasa, 26 September 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Membaca berita di harian Kompas edisi 20 September lalu tentang kasus dugaan pemalsuan ijazah rektor Universitas Negeri Manado, saya hanya bisa mengelus dada. Sebagai akademikus kampus, saya sangat marah, kecewa, dan prihatin jika tindakan malaadministrasi ijazah doktor itu benar-benar terbukti.

Apalagi ijazah “palsu”-nya itu pun ikut mengantarkan yang bersangkutan memperoleh jenjang profesor dan menikmati tunjangan “kehormatan”-nya.

Kasus semacam ini tidak lagi bisa dianggap sepele dan tidak bisa ditoleransi. Selain persoalan integritas pribadi, sejumlah salah tafsir atas kebijakan kementerian dan pemimpin perguruan tinggi juga dapat mendorong akademisi kampus mengejar peningkatan karier akademik dengan menjadi cendekiawan instan!

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Loncatan kebijakan
Saya berasumsi bahwa bagi sebagian (mungkin besar) dosen dan profesor di perguruan tinggi, Peraturan Menristek dan Dikti No 20/2017 adalah sebuah “loncatan kebijakan” yang dianggap terlalu jauh melonjak. Peraturan tersebut mengatur pemberian tunjangan profesi dosen dan tunjangan kehormatan profesor.

Tunjangan bagi seorang dosen dengan pangkat lektor kepala baru akan diberikan jika ia menghasilkan (Pasal 4): (a) paling sedikit 3 (tiga) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal nasional terakreditasi; atau (b) paling sedikit 1 (satu) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional, paten, atau karya seni monumental/desain monumental, dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun.

Adapun tunjangan bagi seorang profesor hanya akan diberikan jika ia menghasilkan (Pasal 8): (a) paling sedikit 3 (tiga) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional; atau (b) paling sedikit 1 (satu) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi, paten, atau karya seni monumental/desain monumental, dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun.

Kemristek dan Dikti membuat definisi bahwa yang dimaksud dengan jurnal internasional adalah publikasi yang terindeks oleh lembaga pemeringkat, semisal Scopus, baik dalam bentuk jurnal maupun prosiding.

Sanksi yang diberikan kepada dosen dan profesor yang tidak dapat memenuhi ketentuan publikasi di Scopus itu tidak tanggung-tanggung: pemberhentian tunjangan profesi atau tunjangan kehormatan sebesar 25 persen sampai ia mampu menghasilkan karya ilmiah dimaksud.

Siapkah dosen dan profesor mengejar target tersebut?

Mengejar Scopus
Tentu saja Peraturan Menristek dan Dikti No 20/2017 itu lahir dengan dilandasi niat baik untuk meningkatkan kinerja dosen dan profesor, terutama dalam bidang penelitian dan publikasi ilmiah. Angka-angka menunjukkan bahwa jumlah artikel ilmiah akademisi Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, bahkan di bawah Thailand (Research Performance of Indonesia, 2015).

Pasalnya, publikasi ilmiah yang baik tidak bisa lahir instan; ia niscaya merupakan produk dari sebuah aktivitas riset terukur yang dilakukan sesuai dengan standar ilmiah dan biasanya makan waktu cukup lama. Aktivitas riset yang baik juga tumbuh dari sebuah kultur akademik yang kondusif, infrastruktur yang memadai, serta bacaan literatur yang komprehensif.

Harus diakui bahwa belum semua kampus menyediakan iklim riset yang baik bagi para dosen dan profesornya. Padahal, kebijakan untuk menghasilkan publikasi ilmiah yang ideal tersebut sudah langsung diberlakukan di semua kampus, baik kampus- kampus di bawah naungan Kemristek dan Dikti sendiri maupun kampus-kampus di bawah koordinasi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) Kementerian Agama.

Maka, yang terjadi sekarang seolah-olah adalah “perlombaan” mengejar Scopus dan lembaga pemeringkat sejenisnya! Sejumlah pemimpin perguruan tinggi nekat mencanangkan target capaian penerbitan 300 hingga 2.000 artikel terindeks Scopus per tahun.

Bagi yang berat menembus jurnal bereputasi, puluhan juta anggaran riset pun dialokasikan untuk membayar fee lembaga pemeringkat yang bersedia menerbitkan prosiding hasil Seminar Terindeks. Akibatnya, dosen dan profesor pun giat bolak-balik mengikuti aneka lokakarya penulisan artikel terindeks Scopus.

Meluruskan niat
Saya tidak sedang menggugat lokakarya terindeks Scopus yang sedang tren itu. Saya juga tidak sedang mengatakan bahwa ukuran publikasi terindeks Scopus atau lainnya sebagai parameter akademik itu keliru. Toh,nyata kita memang belum memiliki lembaga pemeringkat sendiri yang mendapat pengakuan global. Jadi, ya, harus maklum untuk sementara.

Harus diakui bahwa Kemristek dan Dikti sudah jungkir balik menyiapkan perangkat kebijakan dan program-program menuju peningkatan kualitas dan kuantitas kinerja dosen, serta kemandirian akademik di masa depan. SINTA (Science and Technology Index) cukup menjanjikan sebagai “produk lokal” pemeringkat publikasi ilmiah di masa depan. Hanya perlu waktu saja.

Persoalan yang sedang saya bicarakan ini adalah soal niat menulis! Dalam setiap lokakarya yang saya hadiri, saya selalu menyampaikan bahwa bagi dosen, calon profesor, apalagi profesor, Scopus seyogianya bukanlah tujuan; ia hanya salah satu ukuran belaka. Niat menulis yang semata ditujukan agar terindeks Scopus cenderung menghalalkan segala cara.

Menulis karya ilmiah harus jadi bagian dari komitmen kita sebagai akademisi mengembangkan keilmuan di bidang yang kita tekuni. Parameter mutu yang menjadi acuan adalah memenuhi standar tertinggi scholarship sehingga memberikan kontribusi akademik yang tinggi. Terbit di jurnal terindeks internasional adalah konsekuensi belaka.

Menjadi cendekiawan sejati dan bereputasi memang tak bisa instan, perlu investasi jangka panjang menumbuhkan budaya riset. Pemimpin kementerian dan perguruan tinggi pun lebih baik fokus menyiapkan infrastruktur riset memadai, koleksi dan akses perpustakaan lengkap, ruang kerja dosen yang nyaman, dan peningkatan kapasitas akademik terukur, bukan instan.

Bagi saya, kasus dugaan pemalsuan karya ilmiah seperti yang diberitakan Kompas di atas adalah peringatan bahwa potensi “akademisi” yang mengambil jalan pintas dan menghalalkan segala cara menjadi cendekiawan instan nyata di hadapan kita. Tugas kita bersama mencegahnya.

OMAN FATHURAHMAN, GURU BESAR FILOLOGI FAH, PENELITI SENIOR PPIM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 September 2017, di halaman 7 dengan judul “Meluruskan Niat Menulis”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Menyusuri Jejak Kampus UGM Tjabang Magelang
67 Gelar Sarjana Berbagai Jurusan Kuliah di Indonesia, Titel Punya Kamu Ada?
Berita ini 9 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:11 WIB

Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB