Deforestasi dan kerusakan hutan mengancam hutan konservasi dan koridor-koridor ekosistem yang menghubungkan area-area lindung. Di Koridor Rimba, satu dari lima koridor ekosistem di Sumatera, kawasan yang masih berhutan tinggal tersisa 54,7 persen. Padahal, koridor ini menjadi jalur bagi satwa liar, seperti harimau dan gajah, untuk bermigrasi mengikuti lintasan jelajahnya antarkawasan konservasi.
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera menyebutkan, terdapat lima koridor ekosistem di Sumatera, yakni Koridor Aceh-Sumatera Utara, Koridor Riau-Jambi-Sumatera Barat (Rimba), Koridor Jambi-Bengkulu-Sumatera Selatan, Koridor Jambi-Sumatera Selatan, dan Koridor Bengkulu-Sumatera Selatan-Lampung. Namun, dalam setahun terakhir, penyusunan tata kelola baru dilakukan di Koridor Rimba.
“Kami berharap nantinya Koridor Rimba menjadi model penting bagi koridor di tempat-tempat lain,” kata Tri Agung Rooswiadji, Project Team Leader Rimba Project WWF Indonesia, Senin (27/2), di Jakarta, seusai Dialog Nasional Pengembangan Kawasan Ekonomi Hijau Koridor Rimba.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Koridor ini mencakup kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling, Cagar Alam Batang Pangean I dan II, Taman Nasional Kerinci Seblat, Ekosistem Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Berbak, Cagar Alam Maninjau Utara, Cagar Alam Bukit Bungkuk, Cagar Alam Cempaka, Taman Wisata Alam Sungai Bengkal, dan Taman Hutan Raya Thaha Syaifuddin.
Analisis WWF Indonesia menunjukkan, dari total luas Koridor Rimba 3,8 juta hektar, pada tahun 2016 mengalami kehilangan tutupan hutan hingga 45,3 persen karena berbagai kegiatan yang menyebabkan deforestasi dan kerusakan hutan. Di koridor ini, dari luas rawa gambut 554.265 hektar, kini hanya tersisa 24,81 persen.
Koneksi terputus
Jika koridor ini terus tergerus, koneksi antarkawasan konservasi akan terputus. Risikonya, akan terjadi peningkatan perkawinan sedarah satwa liar yang menurunkan kualitas satwa dan menurunkan produktivitas perkawinan. Di samping itu, kualitas lingkungan untuk sumber air, penyerapan karbon, dan penahan bencana hidrologi juga hilang.
Data WWF Indonesia menunjukkan, jumlah populasi satwa liar yang dilindungi, seperti harimau sumatera, kini tersisa 371 ekor dari 400 ekor pada tahun lalu.
Tri Agung mengatakan, dari berbagai diskusi dengan tiga pemerintah provinsi yang dilalui koridor itu, kesatuan pengelolaan hutan, dan masyarakat desa, diakui penurunan tutupan hutan sebagian besar berkurang karena kebutuhan lahan budidaya dan permukiman. Tutupan hutan ini awalnya berupa kawasan hutan murni ataupun area penggunaan lain.
Dirjen Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Yuswenda A Tumenggung menambahkan, pengelolaan area koridor ini membutuhkan sinergi semua pihak agar kerusakan tidak terus terjadi.
Oleh sebab itu, Direktur Bina Ekosistem Esensial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Antung Deddy Radiansyah mengusulkan pada tingkat provinsi dibangun forum di bawah koordinasi gubernur. Kemudian, setiap forum di satu provinsi berkoordinasi dengan forum di provinsi lain atau membentuk sekretariat bersama.
“Kita harus bergerak. Jangan menunggu badan atau regulasi. Kalau forum, saya kira tidak sulit dan memudahkan koordinasi yang selama ini sulit,” katanya.
Ia juga mengingatkan agar dunia usaha dilibatkan dalam forum. Langkah ini diperlukan karena terdapat koridor yang telanjur dibebani konsesi di hutan produksi ataupun area penggunaan lain.
Menurut Antung, Kawasan Ekonomi Esensial, yang berisi sebaran satwa di Sumatera, mencapai 13 juta hektar, yang berada di kawasan hutan lindung, hutan produksi, dan area penggunaan lain. Dari jumlah ini, sebanyak 5,1 juta hektar menjadi habitat harimau sumatera, gajah sumatera, dan orangutan sumatera di Provinsi Riau, Sumatera Barat, dan Jambi. Karena di luar area lindung, fauna-fauna ikonik ini rentan diburu atau berkonflik dengan warga. (ICH)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2017, di halaman 14 dengan judul “Koridor Ekosistem di Sumatera Tergerus”.