Koridor Ekosistem di Sumatera Tergerus

- Editor

Sabtu, 18 Februari 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Deforestasi dan kerusakan hutan mengancam hutan konservasi dan koridor-koridor ekosistem yang menghubungkan area-area lindung. Di Koridor Rimba, satu dari lima koridor ekosistem di Sumatera, kawasan yang masih berhutan tinggal tersisa 54,7 persen. Padahal, koridor ini menjadi jalur bagi satwa liar, seperti harimau dan gajah, untuk bermigrasi mengikuti lintasan jelajahnya antarkawasan konservasi.

Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera menyebutkan, terdapat lima koridor ekosistem di Sumatera, yakni Koridor Aceh-Sumatera Utara, Koridor Riau-Jambi-Sumatera Barat (Rimba), Koridor Jambi-Bengkulu-Sumatera Selatan, Koridor Jambi-Sumatera Selatan, dan Koridor Bengkulu-Sumatera Selatan-Lampung. Namun, dalam setahun terakhir, penyusunan tata kelola baru dilakukan di Koridor Rimba.

“Kami berharap nantinya Koridor Rimba menjadi model penting bagi koridor di tempat-tempat lain,” kata Tri Agung Rooswiadji, Project Team Leader Rimba Project WWF Indonesia, Senin (27/2), di Jakarta, seusai Dialog Nasional Pengembangan Kawasan Ekonomi Hijau Koridor Rimba.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Koridor ini mencakup kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling, Cagar Alam Batang Pangean I dan II, Taman Nasional Kerinci Seblat, Ekosistem Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Berbak, Cagar Alam Maninjau Utara, Cagar Alam Bukit Bungkuk, Cagar Alam Cempaka, Taman Wisata Alam Sungai Bengkal, dan Taman Hutan Raya Thaha Syaifuddin.

Analisis WWF Indonesia menunjukkan, dari total luas Koridor Rimba 3,8 juta hektar, pada tahun 2016 mengalami kehilangan tutupan hutan hingga 45,3 persen karena berbagai kegiatan yang menyebabkan deforestasi dan kerusakan hutan. Di koridor ini, dari luas rawa gambut 554.265 hektar, kini hanya tersisa 24,81 persen.

Koneksi terputus
Jika koridor ini terus tergerus, koneksi antarkawasan konservasi akan terputus. Risikonya, akan terjadi peningkatan perkawinan sedarah satwa liar yang menurunkan kualitas satwa dan menurunkan produktivitas perkawinan. Di samping itu, kualitas lingkungan untuk sumber air, penyerapan karbon, dan penahan bencana hidrologi juga hilang.

Data WWF Indonesia menunjukkan, jumlah populasi satwa liar yang dilindungi, seperti harimau sumatera, kini tersisa 371 ekor dari 400 ekor pada tahun lalu.

Tri Agung mengatakan, dari berbagai diskusi dengan tiga pemerintah provinsi yang dilalui koridor itu, kesatuan pengelolaan hutan, dan masyarakat desa, diakui penurunan tutupan hutan sebagian besar berkurang karena kebutuhan lahan budidaya dan permukiman. Tutupan hutan ini awalnya berupa kawasan hutan murni ataupun area penggunaan lain.

Dirjen Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Yuswenda A Tumenggung menambahkan, pengelolaan area koridor ini membutuhkan sinergi semua pihak agar kerusakan tidak terus terjadi.

Oleh sebab itu, Direktur Bina Ekosistem Esensial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Antung Deddy Radiansyah mengusulkan pada tingkat provinsi dibangun forum di bawah koordinasi gubernur. Kemudian, setiap forum di satu provinsi berkoordinasi dengan forum di provinsi lain atau membentuk sekretariat bersama.

“Kita harus bergerak. Jangan menunggu badan atau regulasi. Kalau forum, saya kira tidak sulit dan memudahkan koordinasi yang selama ini sulit,” katanya.

Ia juga mengingatkan agar dunia usaha dilibatkan dalam forum. Langkah ini diperlukan karena terdapat koridor yang telanjur dibebani konsesi di hutan produksi ataupun area penggunaan lain.

Menurut Antung, Kawasan Ekonomi Esensial, yang berisi sebaran satwa di Sumatera, mencapai 13 juta hektar, yang berada di kawasan hutan lindung, hutan produksi, dan area penggunaan lain. Dari jumlah ini, sebanyak 5,1 juta hektar menjadi habitat harimau sumatera, gajah sumatera, dan orangutan sumatera di Provinsi Riau, Sumatera Barat, dan Jambi. Karena di luar area lindung, fauna-fauna ikonik ini rentan diburu atau berkonflik dengan warga. (ICH)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Februari 2017, di halaman 14 dengan judul “Koridor Ekosistem di Sumatera Tergerus”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB