Sendai menjadi contoh kota yang relatif kokoh terkena guncangan gempa besar dan tsunami. Meski terdekat dengan pusat gempa berskala 9 skala Richter, tak ada satu pun gedung bertingkat di kota ini yang rusak parah apalagi runtuh. Kuncinya adalah penerapan peta Bahaya dan Standar Kekuatan Bangunan.
Kekokohan kota Sendai— ibu kota Prefektur Miyagi—yang berjarak 130 kilometer sebelah barat episentrum, teruji ketika menanggung guncangan dahsyat, Jumat (11/3). Gempa Miyagi merupakan yang terbesar sejak Jepang mulai merekam fenomena geologi sejak 140 tahun lalu. Gempa diikuti tsunami setinggi 10 meter, yang menerjang hingga 8 km dari garis pantai.
Kekuatan gedung di Sendai, kota yang memiliki kepadatan 1.300 orang per km persegi, memang menonjol. Tak ada gedung bertingkat yang dilaporkan roboh. Padahal, tiga gedung di Kurihara, kota lain di Prefektur Miyagi, runtuh. Banyak pula gedung bernasib sama di Fukushima dan di Chiba, ibu kota Narita.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Goyangan tanah yang menerjang Pulau Honshu itu muncul sebagai efek dari desakan Lempeng Pasifik terhadap Lempeng Eurasia yang menjadi tempat tumpuan pulau itu dan kota Sendai, yang dikenal dengan nama kota hutan (mori no miyako) karena banyaknya pepohonan. Kota ini luasnya 788.09 km persegi, membentang dari pesisir yang menghadap Samudra Pasifik hingga ke Pegunungan Ou.
Kunci kekuatan gedung di kota berpenduduk lebih dari 1 juta orang itu, salah satunya, berkat penerapan standar ketahanan gedung terhadap gempa.
Semula Sendai tergolong kota yang rapuh. Kota ini pernah hancur diguncang gempa berkekuatan 7,4 SR pada 12 Juni 1978. Gempa itu menyebabkan runtuhnya sekitar 4.400 bangunan dan 86.000 bangunan lain mengalami kerusakan parsial. Meski begitu, korban yang meninggal dan terluka relatif kecil, yaitu 1.016 orang.
Standar Kobe
Penguatan bangunan, terutama gedung bertingkat, di Sendai menggunakan standar kekuatan gedung terbitan tahun 1996, yaitu peraturan untuk seluruh Jepang yang diberlakukan setahun setelah gempa yang memorakporandakan kota Kobe.
Gempa tektonik Hanshin- Awaji pada 17 Januari 1995 itu berepisentrum di utara Pulau Awaji di bagian selatan Prefektur Hyogo. Gempa disebabkan tiga lempeng benua, yaitu Filipina, Pasifik, dan Eurasia. Gempa menimbulkan kerusakan pada Kobe yang berjarak sekitar 20 km dari pusat gempa.
Gempa menelan korban 6.433 orang, sebagian besar merupakan penduduk kota Kobe. Gempa ini merupakan gempa terburuk di Jepang setelah gempa besar Kanto pada 1 September 1923 yang menewaskan lebih dari 140.000 orang di Tokyo, kota kedua terpadat di dunia.
Pada gempa Kobe, 250.000 bangunan rumah rusak dan sekitar 460.000 keluarga kehilangan tempat tinggal. Bencana itu memukul ekonomi Jepang. Total kerugian akibat gempa Kobe 10 triliun yen atau 2,5 persen dari PDB Jepang saat itu.
Standar baru yang diberlakukan secara nasional lebih kuat dua kali lipat dibandingkan standar sebelum gempa Kobe. Penetapan standar mengacu pada evaluasi gedung-gedung yang hancur akibat gempa berepisentrum dangkal itu.
Pembangunan Sendai mengacu pada kota Riverside di California, Amerika Serikat, sebagai sister city. Kedua kota itu memiliki kesamaan ancaman gempa tektonik bersumber dari Lempeng Samudra Pasifik.
Standar bangunan
Standar bangunan untuk penguatan struktur bangunan bertingkat dua ke atas disusun dengan mengacu pada Peta Bahaya (hazard) percepatan pergerakan tanah di batuan dasar akibat energi gempa.
Tiap lokasi memiliki percepatan pergerakan tanah, tergantung struktur lapisan batuan, keberadaan patahan dan sesar mikro di daerah itu, serta jarak dan posisinya terhadap zona subduksi, kata Mulyo Harris Pradono, pakar bangunan tahan gempa, yang juga Kepala Teknik Program Teknologi Pengurangan Risiko Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Semua gedung bertingkat yang berada di daerah rawan gempa harus memiliki tiang pancang yang bertumpu hingga ke batuan dasar, agar kokoh bila terguncang gempa.
Perancangan kekuatan struktur gedung harus melihat sumber gempa dan masa gedung. Sisi bangunan yang berhadapan langsung dengan sumber gempa harus lebih kuat dibandingkan dengan sisi lain.
Pengamanan gedung dapat dilakukan dengan memasang isolator berupa bahan karet di bagian dasar gedung dan sistem peredam kejut, kata Mulyo, yang menamatkan doktor dari Kyoto University di bidang struktur tahan gempa.
Pemasangan sistem peredam guncangan diterapkan pada gedung maksimal 10 lantai dan bangunan yang melebar dimensinya. Di Jepang, sistem itu biasanya dipasang pada bangunan penting, seperti rumah sakit, pembangkit listrik dan bangunan bersejarah. [YUNI IKAWATI]
Sumber: Kompas, 23 Maret 2011