Ratusan Rumah Rusak akibat Gempa Alor
Ratusan bangunan rusak dan empat orang luka berat akibat gempa berkekuatan 6,4 skala Richter di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, Rabu (4/11). Mayoritas bangunan rusak itu adalah rumah tembok. Gempa yang berulang terjadi itu mesti menjadi pelajaran untuk penerapan standar bangunan tahan gempa.
“Kerusakan terparah di Kecamatan Alor Timur, yang jadi pusat gempa. Kebanyakan bangunan rusak adalah rumah tembok atau setengah tembok. Rumah tradisional dari kayu kebanyakan masih berdiri, hanya bergeser,” kata Bupati Alor Among Djobo, saat dihubungi dari Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (6/11).
“Hingga kini gempa susulan masih terjadi. Warga di tenda pengungsian karena takut rumah yang sudah rusak bisa roboh,” ujarnya. Total rumah rusak ringan di Kabupaten Alor 666 unit, rusak sedang 174 unit, dan 284 rumah rusak berat. Sementara empat korban luka berat akibat tertimpa bangunan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Banyak gereja dan sekolah rusak. Empat jembatan rusak parah. Untungnya gempa terjadi siang saat orang banyak beraktivitas di luar ruang,” ujarnya.
Menurut pendataan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 10 unit bangunan kesehatan di Kecamatan Alor Timur rusak berat. Sementara rumah ibadah yang rusak berat di Alor 19 unit dan di Alor Timur Laut 1 unit. Bangunan sekolah yang rusak berat 10 unit, juga di Alor Timur. Kantor Bupati Alor dilaporkan rusak dan sebagian atap runtuh.
Bangunan tahan gempa
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono menyatakan, menurut analisis terbaru, kekuatan gempa Alor pada Rabu lalu berkekuatan 6,4 skala Richter (SR). Sebelumnya, kekuatannya diidentifikasi 6,2 SR.
“Gempa di darat dengan kekuatan sebesar itu dan pusat gempa hanya memiliki kedalaman 10 kilometer dari permukaan tanah, termasuk gempa yang kuat dan merusak,” ujarnya.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Rumah adat Wehali di Desa Laran, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, dibangun dengan material kayu, atap dari daun yang ringan, dan sistem konstruksi dengan fondasi umpak, seperti tampak pada Selasa (3/11). Rumah-rumah tradisional itu cenderung lebih tahan gempa.
Menurut data BMKG, skala intensitas gempa bumi di Alor IV-V MMI, dan di Atambua mencapai IV modified mercalli intensity (MMI). “Namun, dengan skala gempa ini, bangunan tembok yang didesain sesuai dengan standar seharusnya tidak roboh,” kata Daryono.
“Konstruksi bangunan tembok tahan gempa mungkin lebih mahal sehingga memberatkan masyarakat. Jadi, bagi masyarakat kebanyakan, solusi praktisnya sebenarnya adalah penggunaan bangunan kayu dan bambu,” ujarnya.
Ahli konstruksi bangunan tahan gempa dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Sarwidi, menambahkan, buruknya kualitas bangunan yang menjadikan gempa jadi bencana. Gempa seharusnya tak menjadi bencana jika kita bisa memitigasinya dengan konstruksi tahan gempa.
Maka dari itu, penggunaan standar bangunan tahan gempa seharusnya wajib diterapkan di Indonesia. Penerapan itu terutama diperlukan di daerah-derah rawan gempa, seperti Pulau Alor.
Sarwidi telah mengembangkan sistem bangunan rumah tahan gempa yang dinamainya, Barrataga (bangunan rumah rakyat tahan gempa). Teknik bangunan itu menggunakan bantalan pasir di bawah fondasi dan telah teruji tahan saat gempa menghancurkan banyak rumah di Yogyakarta pada 2006. Namun, temuan itu belum tersosialisasikan secara luas di masyarakat.
Menurut Daryono, Pulau Alor merupakan daerah paling rawan gempa bumi di NTT. Data kegempaan BMKG, Alor, tercatat pernah dilanda gempa cukup besar pada 18 April 1896. Intensitas gempa bumi itu di Alor mencapai VII-VIII MMI, sebanyak 250 orang dilaporkan meninggal akibat gempa tersebut.
Pada 4 Juli 1991, wilayah Alor juga diguncang gempa bumi berkekuatan M 6,2. Kerusakan parah melanda pusat kota Kalabahi. Bangunan-bangunan pemerintah, rumah dinas, gedung sekolah, rumah sakit, banyak masjid dan gereja rusak berat, bahkan beberapa di antaranya roboh.
Saat itu, korban jiwa yang meninggal akibat gempa bumi itu dilaporkan 28 orang. Tercatat 191 orang terluka dan 1.300 bangunan rumah mengalami kerusakan.
Terakhir, pada 11 November 2004, wilayah Alor kembali diguncang gempa bumi M 7,5. Guncangan di kota Kalabahi mencapai skala intensitas VII-VIII MMI. Akibat gempa bumi tersebut, 31 korban meninggal dan 400 orang terluka.(AIK)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 November 2015, di halaman 13 dengan judul “Prioritaskan Bangunan Tahan Gempa”.