Komitmen Bersama Menjaga Habitat Gajah Kalimantan

- Editor

Selasa, 9 April 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Perlindungan dan pelestarian gajah kerdil atau gajah kalimantan membutuhkan upaya kolektif dari lintas sektor. Pertambahan populasi gajah dan ancaman kerusakan habitat dapat berpotensi meningkatkan intensitas konflik di masa depan. Untuk itu, dukungan kebijakan rencana tata ruang wilayah mutlak agar pengelolaan habitat dapat dilakukan secara efektif serta peningkatan daya dukung lingkungan bisa terwujud.

Sejauh ini, keberadaan gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis) relatif aman. Belum ditemukan adanya kematian gajah yang menyebabkan penurunan populasi. Dari survei terakhir pada 2012, populasi gajah ini berkisar 30-80 individu. Meski begitu, tingkat kerusakan habitat telah terjadi. Dari hasil penarikan garis batas (delineasi) habitat gajah kalimantan pada 2007 yang mencapai 93.800 hektar, 16 persen di antaranya kini sudah mengalami kerusakan.

DOKUMENTASI WWF INDONESIA–Gajah kalimantan atau Elephas maximus borneensis merupakan gajah endemik Pulau Kalimantan. Di Indonesia, gajah ini hanya ditemukan di Kecamatan Tulin Onsoi, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pada Senin (8/4/2019) pagi, tim survei konservasi gajah kalimantan kembali melakukan perjalanan ke wilayah Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, yang diprediksi menjadi habitat salah satu hewan yang terancam punah itu. Survei kali ini memasuki tahap keenam yang sudah berlangsung sejak Februari 2018. Sebanyak 40 orang dari empat tim terlibat dalam kegiatan tersebut. Mereka melintasi jalur sungai dan darat selama seminggu untuk mengidentifikasi habitat serta populasi gajah kalimantan.

“Survei keenam ini akan fokus di daerah Sungai Sibuda dan Sungai Agison yang diprediksi menjadi lokasi dengan populasi gajah terbanyak. Diharapkan hasil survei ini bisa memperbarui data dan informasi terkait sebaran habitat gajah kalimantan, termasuk kawasan hutan, populasi terkini, serta ancaman yang dihadapi di habitatnya,” ujar Agus Suyitno, Species Specialist Staff Kayan Lanscape World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia untuk Mitigasi Konflik Gajah-Manusia.

DOKUMENTASI WWF-INDONESIA–Dua orang tim lapangan yang terlibat dalam proses survei populasi dan habitat gajah kalimantan mengukur panjang bekas tapak kaki gajah. Pendataan populasi dan habitat gajah kalimantan bisa diidentifikasi dari jejak kaki, tempat makan, kubangan bekas gajah, kotoran, serta bekas gesekan pada batang ataupun dahan pohon.

Proses survei melibatkan berbagai pihak dari lintas sektor, antara lain Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nunukan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur, akademisi, TNI, lembaga swadaya masyarakat, satgas konflik gajah, serta masyarakat setempat. Pihak swasta pun ikut terlibat untuk mendukung proses itu.

Unik
Menurut Agus, survei pendataan terkait konservasi gajah kalimantan ini diperlukan mengingat keberadaan hewan ini yang sudah terancam punah. Gajah yang berada di ”jantung” Kalimantan ini memiliki keunikan yang tidak dimiliki jenis gajah lain. Gajah ini merupakan gajah terkecil dengan tinggi maksimal 2,5 meter. Daun telinga lebih lebar, ekornya panjang sampai menyentuh tanah, serta gading lebih lurus dibanding gajah pada umumnya.

Forest Governance Coordinator WWF Indonesia Arman Anang menambahkan, survei gajah kalimantan merupakan salah satu program rutin yang telah diatur dalam Strategi Rencana Aksi Konservasi Gajah Kalimantan (SRAK-GK) 2018-2028. Pendataan populasi gajah dinilai sangat penting karena habitatnya berada di luar kawasan konservasi. Dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No 718/2014 menunjukkan, sekitar 74 persen habitat gajah berada pada kawasan hutan produksi (HP), 16 persen berada pada kawasan Alokasi Penggunaan Lain (APL), dan 10 persen pada kawasan hutan lindung (HL).

“Itu sebabnya kerja advokasi tata ruang menjadi prioritas dalam upaya konservasi gajah kalimantan. Kita harus pastikan status kawasan tidak berubah fungsi sehingga habitat gajah tetap terjaga,” ujarnya.

Selain di Kalimantan Utara, gajah ini juga ditemukan di wilayah Sabah, Malaysia. Populasi gajah di Sabah lebih besar daripada populasi di Kalimantan, yakni diperkirakan mencapai 1.500-2.000 ekor.

Konversi hutan
Food, Commodities, and Green Infrastructure Officer WWF Indonesia Antonius yang juga turut dalam proses survei lapangan berpendapat, penyebab utama kerusakan habitat gajah di Kalimantan adalah adanya konversi hutan untuk kegiatan pengembangan perkebunan kelapa sawit, baik dari perusahaan maupun masyarakat. Walaupun terjadi perubahan bentang alam yang dulunya hutan menjadi perkebunan, jalur pergerakan gajah tidak berubah. Akibatnya, kelapa sawit milik perusahaan dan masyarakat kerap dimakan oleh gajah.

“Beruntungnya, konflik antara manusia dan gajah di Kalimantan jarang terdengar. Hal itu karena masih ada kepercayaan, gajah adalah nenek moyang mereka. Jadi, kalau sampai mengganggu gajah akan mendapatkan karma,” katanya.

Secara terpisah, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indra Exploitasia menuturkan, upaya konservasi bisa menjadi bukti bahwa gajah kalimantan belum punah dan Indonesia masih menjadi negara yang kaya dengan jenis keragaman hayati.

Berbagai upaya telah dilakukan bersama mitra kerja seperti forum konservasi gajah Indonesia (FKGI) dan WWF sejak 2016. Kerjasama ini terutama untuk monitoring populasi gajah kalimantan. Hasil dari monitoring nantinya untuk memastikan habitat penting bagi gajah kalimantan yang akan digunakan pemeritnah daerah dalam pengelolaan tata ruang.

Indra berharap, koordinasi lintas sektor bisa semakin ditingkatkan, termasuk bersama sektor swasta. “(Pihak swasta) belum sepenuhnya (terlibat) karena pembangunan dan pemanfaatan ruang belum mempertimbangkan habitat gajah kalimantan. Ini bisa jadi ancaman terhadap pembagian habitat,” ujarnya.–DEONISIA ARLINTA

Editor HAMZIRWAN HAM

Sumber: Kompas, 9 April 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya
Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Berita ini 22 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 17 Juli 2025 - 21:26 WIB

Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Berita Terbaru

fiksi

Cerpen: Taman di Dalam Taman

Jumat, 18 Jul 2025 - 21:45 WIB

Artikel

Surat Panjang dari Pinggir Tata Surya

Kamis, 17 Jul 2025 - 21:26 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Kota di Bawah Masker

Kamis, 17 Jul 2025 - 20:53 WIB

fiksi

Cerpen: Simfoni Sel

Rabu, 16 Jul 2025 - 22:11 WIB