Ketenagalistrikan; (Bukan) Misi Mustahil

- Editor

Rabu, 8 April 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dalam berbagai diskusi soal ketenagalistrikan, terutama program pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said kerap mendahului diskusi dengan pernyataan: Ini bukan soal sanggup atau tidak sanggup, tetapi soal keharusan. Dirinya juga menyadari apabila banyak kalangan yang sangsi bahwa program pembangunan itu bisa terealisasi tepat waktu.
jitet

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 di sektor energi, pemerintah mempunyai rencana yang terbilang ambisius, membangun pembangkit listrik berkapasitas 35.000 megawatt (MW). PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mendapat mandat sebesar 10.000 MW dan sektor swasta sebesar 25.000 MW. Megaproyek ini diperkirakan membutuhkan investasi senilai hampir Rp 1.000 triliun.

Sudirman Said sadar sepenuhnya bahwa mereka yang ragu program ini dapat terwujud adalah mereka yang berkaca pada pengalaman program percepatan pembangunan pembangkit listrik (FTP) tahap I dan II yang dimulai sejak 2004. FTP I dan II masing-masing “hanya” berkapasitas 10.000 MW. Hingga kini, FTP I baru rampung sekitar 75 persen dan jangan ditanya kemajuan FTP II, baru seuprit’, kata anak muda sekarang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bagaimana program 35.000 MW bisa tepat waktu jika yang 10.000 MW saja dalam 10 tahun tak bisa tuntas? Logis sekali pertanyaan itu karena pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW harus selesai pada 2019 alias butuh waktu lima tahun dari sekarang. Ini ibarat misi yang-hampir-mustahil.

Sudirman lantas mengidentifikasi berbagai kendala yang menyebabkan program ketenagalistrikan kerap tersendat. Salah satunya dan yang paling sering menjadi penyebab adalah pembebasan lahan. Dari pengalaman, perlu waktu bertahun-tahun untuk pembebasan lahan yang menjadi lokasi pembangkit atau tiang transmisi/distribusi.

Masalah lain, lanjut Sudirman, adalah persoalan perizinan yang berbelit-belit. Serupa dengan proses pembebasan lahan, mengurus perizinan dari pusat sampai di daerah juga butuh waktu bertahun-tahun. Yang lain adalah persoalan penunjukan dan pemilihan kontraktor, serta kinerja kontraktor banyak yang tidak bonafide.

Sejauh ini, pemerintah sudah mengambil sejumlah langkah strategis untuk memecah the bottle necking (kebuntuan) yang akan dihadapi di lapangan. Soal pembebasan lahan, pemerintah akan menerapkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Tim khusus juga dibentuk untuk melakukan uji tuntas bagi calon kontraktor. Urusan perizinan diringkas dari 52 izin menjadi 18 izin dengan model satu pintu di Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Sudirman mengingatkan, program pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW tersebut bukan semata-mata dipikul Kementerian ESDM dan PLN. Agar terwujud, perlu dukungan banyak pihak, mulai dari pusat sampai daerah, termasuk masyarakat, serta tentu saja peran swasta.

Pemerintah harus gencar berkampanye pentingnya penambahan kapasitas listrik untuk mengimbangi laju pertumbuhan ekonomi. Apalagi, pada 2019, rasio elektrifikasi yang mau dicapai sebesar 99 persen dari sekarang ini yang baru sekitar 85 persen.

Program ini memang bukan dongeng rakyat tentang Raden Bandung Bondowoso yang harus membangun 1.000 candi dalam semalam demi melamar Roro Jonggrang untuk dijadikan istri. Jika Bandung Bondowoso perlu bantuan pasukan dari “alam lain” untuk membangun candi dalam semalam, dibutuhkan keterlibatan dan dukungan penuh banyak pihak agar seluruh proses membangun listrik 35.000 MW bisa tuntas tepat waktu.

Berkaca dari yang sudah-sudah, tidak mudah membangun pembangkit listrik 35.000 MW dalam kurun waktu lima tahun. Namun, apabila tidak dimulai sekarang, sampai kapan Indonesia akan byarpet terus? (Aris Prasetyo)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 April 2015, di halaman 17 dengan judul “(Bukan) Misi Mustahil”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Mengalirkan Terang dari Gunung: Kisah Turbin Air dan Mikrohidro yang Menyalakan Indonesia
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 14 Juli 2025 - 16:21 WIB

Mengalirkan Terang dari Gunung: Kisah Turbin Air dan Mikrohidro yang Menyalakan Indonesia

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB