Instruksi Presiden Joko Widodo di sektor ketenagalistrikan perlu mendapat apresiasi dalam meningkatkan penyediaan listrik mencapai 35.000 megawatt dalam lima tahun mendatang.
Artinya, perlu ada tambahan suplai listrik 7.000 MW setiap tahun. Pemerintahan saat ini menargetkan rasio elektrifikasi 100 persen pada 2019 dari yang sebelumnya pada 2024 dengan rasio elektrifikasi 99 persen. Lalu, menjadi hal yang menarik, bagaimana Kabinet Kerja merealisasikan instruksi Presiden Joko Widodo?
Realistiskah target itu disematkan mengingat program percepatan 10.000 MW tahap I mundur dari waktu yang direncanakan (2007-2013). Sementara program percepatan 10.000 MW tahap II (2013-2018) pun, yang lebih memprioritaskan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), tampaknya sulit direalisasikan. Mahalnya biaya investasi dan penguasaan teknologi yang terbatas sering menjadi kendala. Selain itu, permasalahan perizinan yang rumit dan birokrasi yang berbelit kian membuat pengembangan PLTP di Indonesia sulit berkembang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pengembangan sektor ketenagalistrikan di Indonesia masih berbasis pada permintaan. Hal ini mengindikasikan penyediaan listrik akan selalu lebih lambat daripada kebutuhan. Maka, tidak heran jika ancaman krisis listrik sudah mulai terasa di beberapa provinsi di Sumatera, Kalimantan, dan Indonesia bagian timur. Hal ini pun senada dengan kondisi riil yang terjadi di lapangan.
Kajian Tim Kompetitif Ketenagalistrikan–LIPI pun menunjukkan paradoks terkait dengan penyediaan ketenagalistrikan di Indonesia. Suatu wilayah yang dekat dengan pembangkit listrik justru memiliki tingkat rasio elektrifikasi yang lebih rendah. Selain itu, ironisnya, di beberapa daerah penelitian yang dekat pembangkit justru tidak mendapatkan akses listrik, dengan alasan tidak ekonomis karena sedikitnya permintaan.
Pada serangkaian diskusi pun beberapa narasumber mengemukakan bahwa penyediaan listrik harus diawali dari permintaan, kemudian baru mulai ada penyediaan listrik. Artinya, kelompok masyarakat atau badan usaha yang mampu saja akan mendapatkan suplai listrik. Itu karena ini menyangkut investasi jaringan listrik.
Secara tidak langsung dapat kita pahami, hanya kota-kota besar yang akan mendapat suplai listrik. Wilayah pedesaan dan perbatasan akan jadi prioritas terakhir. Kalau demikian, tidak heran apabila krisis listrik di wilayah pedesaan dan perbatasan tidak akan pernah teratasi.
Permasalahan sektor ketenagalistrikan tidak hanya berkaitan dengan pembangunan pembangkit listrik, juga terkait dengan distribusi (jaringan listrik). Kontur beberapa wilayah di Indonesia yang berbukit dan jarak antarrumah yang berjauhan selalu jadi alasan tidak ekonomisnya penyediaan ketenagalistrikan.
Hal ini merupakan jawaban mengapa rasio elektrifikasi Indonesia baru 78 persen (2012). Kondisi ini bahkan di bawah Vietnam, Laos, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei. Melihat kondisi yang ada saat ini, tantangan besar harus dihadapi Kabinet Kerja Presiden Jokowi untuk merealisasikan rasio elektrifikasi 100 persen di tahun 2019.
Beberapa rekomendasi
Menjawab tantangan itu, pemerintahan saat ini perlu melakukan lompatan-lompatan besar dalam penyediaan sektor ketenagalistrikan. Tim Kompetitif Ketenagalistrikan-LIPI pun menghasilkan beberapa rekomendasi dalam pengembangan dan pembangunan sektor ketenagalistrikan.
Pertama, pengembangan sektor ketenagalistrikan harus dilakukan dengan skema jaringan (on grid) dan non-jaringan (off grid). Artinya, megaproyek 35.000 MW harus dikombinasikan dengan model non-jaringan.
Apabila tetap dipaksakan dengan skema jaringan, dapat hampir dipastikan target rasio elektrifikasi 100 persen pada 2019 akan gagal. Sebab, permasalahan mendasar wilayah pedesaan dan perbatasan ialah tingkat keekonomian. Mahalnya biaya jaringan listrik, baik jaringan eksternal maupun jaringan internal (meteran listrik rumah) selalu menjadi kendala yang mendasar dalam menyuplai wilayah pedesaan dan perbatasan.
Kedua, reformasi kelembagaan pembangunan dan penyediaan ketenagalistrikan di Indonesia. Hasil studi Tim Kompetitif Ketenagalistrikan-LIPI menunjukkan, penyediaan ketenagalistrikan saat ini sangat berbelit, tumpang tindih regulasi, serta koordinasi antar-kementerian, PLN, dan swasta tidak berjalan dengan baik. Beragam program ketenagalistrikan pemerintah sering tumpang tindih, terutama dalam penyediaan listrik non-jaringan. Adapun proyek pembangkit yang dikerjakan PLN sering mengalami keterlambatan dari waktu yang direncanakan. Di pihak lain, sektor swasta mengalami kesulitan terlibat dalam penyediaan sektor ketenagalistrikan.
Ketiga, pemerintah perlu menyinergikan program-program pembangunan untuk sektor ketenagalistrikan. Penyediaan sektor ketenagalistrikan tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Dalam hal ini, pemerintah perlu menyinergikan peran pemerintah, BUMN, dan swasta, terlebih dalam kaitan dengan rencana besar penyediaan listrik 35.000 MW dalam lima tahun mendatang. Peran ketiga lembaga ini sangat penting untuk mempercepat penyediaan sektor ketenagalistrikan di lapangan.
Keempat, mengombinasikan pembangunan pembangkit listrik berbasis fosil dan energi terbarukan. Kita tidak bisa bergantung pada pembangkit berbasis fosil meski secara keekonomian masih lebih ekonomis saat ini. Jadi, alternatif energi baru dan terbarukan harus tetap menjadi agenda dalam program listrik 35.000 MW kendati pada 10.000 MW tahap II pembangunan PLTP telah menjadi prioritas. Hal ini penting diagendakan agar kita sedikit demi sedikit dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil.
Megaproyek 35.000 MW merupakan harapan besar masyarakat Indonesia untuk mengurangi krisis listrik yang sudah mulai dirasakan. Namun, tantangan dan permasalahan yang ada saat ini tidaklah mudah. Pemerintah perlu menyadari hal ini sehingga harapan untuk mencapai 100 persen rasio elektrifikasi pada tahun 2019 dapat terealisasi dan bukan sekadar fatamorgana.
Felix Wisnu Handoyo
Ekonom dan Peneliti LIPI
Sumber: Kompas, 8 Desember 2014