Kepulauan Wallacea, Zona Pembauran Genetika Manusia

- Editor

Rabu, 28 Desember 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Analisis genetik manusia kuno yang ditemukan di delapan situs arkeologi di Sulawesi, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur menunjukkan, Kepulauan Wallacea menjadi ”melting pot” manusia sejak ribuan tahun lalu.

Kepulauan Wallacea terbukti menjadi tempat pembauran nenek moyang manusia modern atau Homo sapiens sejak ribuan tahun lalu. Temuan ini didapatkan dari penelitian terhadap genetika manusia kuno yang ditemukan di delapan situs arkeologi di Sulawesi, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.

Laporan penelitian ini dipublikasikan di jurnal Nature Ecology and Evolution pada Kamis (9/6/2022), oleh tim peneliti dari Indonesia dan sejumlah negara lain. Sandra Oliveira dari Department of Evolutionary Genetics, Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology, Jerman, menjadi penulis pertama kajian ini. Beberapa arkeolog senior seperti Sue O’Connor dan Peter Bellwood dari Australian National University, juga terlibat dalam paper ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sementara peneliti Indonesia yang terlibat dalam penulisan, antara lain Toetik Koesbardiati, Delta Bayu Murti, dan Rizky Sugianto Putri dari Departemen Antropologi Universitas Airlangga, Adhi Agus Oktaviana dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional-Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Mahirta dari Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada.

Kepulauan Wallacea, selama ini selalu dipisahkan dari Asia dan Oseania oleh perairan laut dalam. Namun, pulau-pulau tropis ini diketahui merupakan koridor bagi manusia modern yang bermigrasi ke daratan Australia-New Guinea Pleistosen (Sahul) dan menjadi rumah bagi kelompok manusia modern selama 47.000 tahun lalu.

AHMAD ARIF–Peta yang menunjukkan lokasi individu purba yang diambil sampelnya untuk dianalisis genetikanya. Individu purba (ditunjukkan dengan kontur hitam) diproyeksikan dan warna isiannya cocok dengan warna individu masa kini dari wilayah geografis yang sama. Informasi negara dan bahasa ditampilkan sebagai bilah warna di sebelah kiri komponen leluhur. Sumber: Sandra Oliveira dkk. (Nature Ecology and Evolution, 2022).

Catatan arkeologi membuktikan transisi budaya utama di Wallacea yang dimulai sekitar 3.500 tahun lalu dan dikaitkan dengan perluasan petani berbahasa Austronesia, yang bercampur dengan kelompok pemburu-peramu lokal. Namun, studi genetik sebelumnya dari penduduk modern menghasilkan tanggal yang bertentangan untuk pencampuran ini, yaitu baru mulai dari 1.100 hingga hampir 5.000 tahun yang lalu.

Untuk menjelaskan rincian ekspansi ini dan interaksi manusia yang dihasilkan, tim peneliti internasional ini menganalisis DNA (deoxyribonucleic acid) dari 16 fosil individu purba dari berbagai pulau di delapan situs arkeologi di Sulawesi, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.

”Kami menemukan perbedaan mencolok antara wilayah di Wallacea dan yang mengejutkan, nenek moyang individu purba dari pulau-pulau selatan (Nusa Tenggara) tidak dapat dijelaskan begitu saja dengan campuran antara kelompok yang terkait dengan Austronesia dan Papua,” kata Sandra Oliveira, dalam keterangan tertulis.

Adhi Agus Oktaviana, yang dihubungi Jumat (10/6/2022) mengatakan, kajian ini semakin memperkuat peran penting Kepulauan Wallacea sebagai jalur migrasi manusia di masa lalu. Dalam kajian ini, Agus berkontribusi mengumpulkan sampel dari situs Arumanara di Morotai yang berumur sekitar 2.300 tahun. ”Di situs ini fragmen tulangnya banyak sekali, lebih dari 5.000 fragmen,” katanya.

Nenek Moyang Awal
Dari analisis genetik tim peneliti berhasil mengidentifikasi adanya bauran genetika populasi dari Asia Tenggara Daratan, memiliki kedekatan dengan penutur Austroasiatik saat ini, dengan Papua di Kepulauan Walllacea. Hal ini ditemukan di Kepulauan Wallacea bagian selatan, sekitar Nusa Tenggara. Pencampuran ini terjadi lebih awal sebelum adanya bauran kelompok Austronesia.

”Komponen Asia Tenggara Daratan itu adalah misteri besar bagi saya. Saya menduga bahwa kita mungkin melihat kelompok-kelompok kecil, mungkin petani awal, yang melakukan perjalanan jauh, tidak meninggalkan jejak arkeologi atau linguistik di sepanjang jalan, tetapi yang meningkatkan populasi mereka,” kata Peter Bellwood.

Sebelumnya, dalam berbagai publikasinya tentang populasi Asia Tenggara, Bellwood lebih menekankan keberadaan Austronesia di Wallacea. Hal ini karena, sejauh ini belum ditemukan jejak arkeologi keberadaan penutur Austroasiatik di wilayah ini.

Penemuan genetik nenek moyang Asia Tenggara Daratan dan kemungkinan purbakalanya di pulau-pulau Wallacea selatan memiliki implikasi besar bagi pemahaman tentang penyebaran budaya Neolitik ke Kepulauan Asia Tenggara.

”Temuan ini sangat penting bagi para arkeolog,” kata Toetik Koesbardiati. Dia menambahkan, ”Kami pasti akan mengintensifkan upaya kami untuk mempelajari migrasi ini dengan bukti lain.”

Pembauran di Wallacea
Penelitian ini juga mengungkapkan adanya hubungan yang lebih dekat antara leluhur individu purba yang terkait dengan Austronesia di Wallacea utara dan Pasifik, dibandingkan dengan mereka yang berasal dari Wallacea selatan. Pola ini sesuai dengan bukti linguistik.

”Penelitian sebelumnya berdasarkan populasi masa kini telah melaporkan perkiraan yang sangat berbeda, beberapa di antaranya mendahului bukti arkeologis untuk ekspansi Austronesia, sementara yang lain jauh lebih baru,” jelas Mark Stoneking, ahli genetika populasi dari Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology.

”Karena kita sekarang memiliki individu purba dari periode waktu yang berbeda, kita dapat langsung menunjukkan campuran itu memang terjadi dalam beberapa kali atau terus-menerus sejak setidaknya 3.000 tahun yang lalu di seluruh Wallacea,” tuturnya.

Sebelumnya, kajian terpisah yang dilakukan ahli genetika populasi Herawati Sudoyo dan tim di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Journal of Human Genetics, 2013) berdasar sampel genetika manusia saat ini, menemukan adanya pembauran Austronesia dan Papua yang intensif di zona Wallacea.

Temuan tersebut didasarkan pada analisis DNA 2.740 individu dari 12 pulau, enam dari Indonesia barat dan selebihnya dari NTT (Sumba, Flores, Lembata, Alor, Pantar, dan Timor).

Oleh AHMAD ARIF

Editor: EVY RACHMAWATI

SUmber: Kompas, 11 Juni 2022

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 15 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB