Indonesia kini memiliki 75 fakultas kedokteran. Jumlah itu dinilai berlebihan. Namun, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi akhir Maret lalu justru menyetujui pembukaan delapan fakultas kedokteran baru. Pertumbuhan fakultas yang tak terkendali itu mengancam mutu layanan kesehatan dan keselamatan pasien.
“Kembalikan jumlah fakultas kedokteran jadi 35 fakultas, tutup sebagian, jangan ada pembukaan izin baru,” kata Wakil Ketua II Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam Sarasehan Ke-11 KKI, di Jakarta, Rabu (27/4).
Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu mengatakan, jumlah 35 fakultas kedokteran (FK) tahun 2007 sudah memadai. Izin pendirian FK berlebihan malah memicu permainan uang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejumlah lembaga berlomba mendirikan FK demi meraup uang besar dari mahasiswa dengan mengabaikan kelayakan dan kepatutan. Sementara calon mahasiswa dan orangtua berani membayar mahal agar jadi dokter meski kemampuan dan karakter tak memadai.
Mantan Ketua KKI Menaldi Rasmin menilai 60 FK memenuhi kebutuhan tenaga dokter. Pembentukan FK perlu memperhatikan rasio penduduk, 1 fakultas bagi 4 juta warga, demi kecukupan kasus yang akan dipelajari calon dokter. “Pendidikan kedokteran tak massal karena lulusan bertanggung jawab pada jiwa raga manusia. Jadi yang masuk FK kompetitif,” ujarnya.
Terkait hal itu, menurut Ketua KKI Bambang Supriyatno, pemerintah seharusnya menghentikan pemberian izin pembentukan FK baru dan fokus membenahi mutu FK. Dari 75 fakultas kedokteran, 36 persen berakreditasi C, sedangkan tingkat kelulusan mahasiswa kedokteran dalam uji kompetensi mahasiswa program profesi dokter pada 2015 berkisar 20-97 persen. Artinya, kompetensi banyak lulusan FK kurang memadai.
Distribusi buruk
Jumlah dokter juga memenuhi rasio ideal: 1 dokter untuk 2.500 warga. Data KKI menyebut, hingga April ini, ada 110.773 dokter untuk 250 juta penduduk.
Namun, diakui, sejumlah daerah di luar Jawa kekurangan dokter. Sekitar 1.000 dari 9.705 puskesmas tak punya dokter. Itu disikapi lewat pembentukan FK baru. Padahal, masalahnya ialah buruknya manajemen distribusi dokter. “Warga butuh dokter, maka negara hanya perlu mengirim dokter, bukan membentuk fakultas kedokteran,” kata Satryo.
Pembentukan FK baru diharapkan membuat lulusannya mau bekerja di daerah itu. Nyatanya, mayoritas mahasiswa FK dari luar daerah yang kalah bersaing saat mendaftar FK di daerahnya. “Sebelum memberi izin FK baru, Kemristek dan Dikti seharusnya membina FK yang ada agar 80-90 persennya berakreditasi A dan B,” ucap Bambang.(MZW/ADH)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 April 2016, di halaman 14 dengan judul “Kendalikan Jumlah Fakultas Kedokteran”.