Tingkat Kelulusan Mahasiswa Bervariasi
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi diminta membenahi mutu fakultas kedokteran yang ada daripada membuka program studi kedokteran, apalagi yang tak sesuai standar. Tantangan saat ini bukan memproduksi dokter, melainkan mencetak dokter bermutu dan mendistribusikan ke pelosok daerah.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Ilham Oetama Marsis mengatakan hal itu, Sabtu (2/4), di Jakarta. Pernyataan itu menanggapi pembukaan delapan program studi kedokteran baru oleh Menristek dan Dikti yang lima di antaranya tak direkomendasikan Tim Evaluasi Pengusulan Program Studi Kedokteran buatan Kemristek dan Dikti sendiri.
Marsis mengatakan, IDI sudah pernah mengingatkan Menristek dan Dikti bahwa produksi dokter tak lagi persoalan yang harus dipecahkan saat ini. Masalahnya justru pada distribusi dokter yang tak merata hingga pelosok daerah. Jumlah dokter yang ada dinilai sudah cukup melayani penduduk Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Rasio dokter-penduduk yang baik, yakni 40 dokter per 100.000 penduduk, sudah terlampaui sejak awal 2015, yakni 40,5 dokter per 100.000 penduduk. Namun, sebarannya bermasalah. Sekitar separuh dokter yang ada saat ini berada di Pulau Jawa dan Bali.
Maka dari itu, menurut Marsis, keputusan membuka delapan program studi kedokteran baru tidak menjawab persoalan yang ada. “IDI sudah berkirim surat kepada Menristek, menyampaikan ada konsekuensi yang ditanggung nantinya kalau membuka program studi kedokteran tak sesuai standar,” katanya.
Keselamatan pasien
Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Prof Bambang Supriyatno menyadari, Menristek dan Dikti berwenang memberikan izin pembukaan program studi kedokteran. Namun, sebelum memutuskan, Menristek seharusnya mempertimbangkan banyak faktor, terutama keselamatan warga. “Indonesia butuh dokter, tetapi tak berarti membangun sebanyak-banyaknya program studi kedokteran tanpa memperhatikan mutu,” ujarnya.
Saat ini, dari 75 fakultas kedokteran (FK) yang ada di Indonesia, hanya 21 persen yang menyandang akreditasi A. Sisanya masih akreditasi B (43 persen) dan C (36 persen).
Dari hasil kunjungan evaluasi pelaksanaan standar pendidikan kedokteran pada sejumlah FK di daerah beberapa tahun terakhir, ditemukan banyak proses belajar-mengajar yang tak berjalan lancar karena tenaga pengajar dan fasilitas yang minim.
Fakta lain, ujar Bambang, adalah tingkat kelulusan uji kompetensi profesi dokter secara nasional amat beragam, 20-97 persen dengan rata-rata kelulusan 70 persen. Artinya, banyak fakultas kedokteran dengan tingkat kelulusan mahasiswa rendah di bawah 70 persen. “Kalau angka kelulusan bervariasi, ini tidak bagus,” ujarnya.
Terkait hal itu, pemberian izin membuka program studi kedokteran pada perguruan tinggi yang tak sesuai standar dikhawatirkan akan berulang. Ini karena ada 36 perguruan tinggi mengusulkan pembukaan program studi kedokteran serta 20 usulan program dokter spesialis dan dokter gigi spesialis yang masih menunggu evaluasi.
Sekretaris Umum Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) Riyani Wikaningrum memaparkan, untuk menghasilkan dokter dengan kompetensi sesuai standar, sebagian fakultas kedokteran terkendala ketersediaan sumber daya pengajar yang kurang dan wahana belum memadai. Pihak AIPKI bersama IDI, KKI, dan pemangku kepentingan lain juga mempertanyakan pemberian izin membuka program studi kedokteran oleh Menristek.
Menristek dan Dikti Muhammad Nasir menyampaikan, untuk memastikan layanan kesehatan di setiap provinsi lebih terjamin, FK sebaiknya didirikan di semua provinsi. “Hendaknya di setiap provinsi minimal ada satu fakultas kedokteran,” ujarnya (Kompas, 2/4). (ADH)
————————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 April 2016, di halaman 13 dengan judul “Benahi Fakultas Kedokteran”.