Perguruan tinggi tidak cukup sekadar mencetak lulusan bergelar sarjana, master, dan doktor. Sesuai Nawacita, perguruan tinggi Indonesia dituntut untuk meningkatkan daya saing bangsa dengan menghasilkan lulusan yang berkompetensi tinggi sehingga terserap dunia kerja dan menghasilkan inovasi bermutu.
Staf Ahli Bidang Akademik, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Paulina Panen dalam diskusi pendidikan tinggi bersama media yang digelar Sampoerna University di Jakarta, Rabu (25/10), mengatakan, tenaga kerja lulusan perguruan tinggi di Indonesia sekitar 11 persen. Bandingkan dengan Malaysia yang 20 persen. Daya saing tenaga kerja Indonesia dinilai belum memuaskan karena produktivitas rendah, tetapi bayaran dianggap mahal.
Jika mengacu pada negara maju, tenaga kerja berpendidikan menengah dan tinggi mendominasi. Sebaliknya, di Indonesia komposisi terbesarnya berpendidikan rendah sekitar 60 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, perguruan tinggi tidak boleh senang hanya karena mampu menghasilkan banyak lulusan. “Sebab, lulusan harus bisa terserap di dunia kerja sesuai dengan kompetensi yang disiapkan,” kata Paulina.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk kecerdasan buatan, kata Paulina, menyebabkan perubahan dalam dunia industri semakin canggih. Lulusan perguruan tinggi harus mengisi pekerjaan yang sebelumnya tidak ada. “Juga harus bersaing dengan robot karena banyak pekerjaan yang sudah bisa dilakukan robot,” kata Paulina.
Berdasarkan Indeks Daya Saing Global yang dirilis Forum Ekonomi Dunia tahun 2017 dari aspek indikator pendidikan tinggi dan pelatihan, Indonesia di urutan ke-64 dari 137 negara. Adapun dari ukuran pasar yang berarti Indonesia menjadi konsumen barang jasa dan inovasi dari negara lain ada di urutan ke-9.
Paulina mengatakan, pembelajaran di perguruan tinggi tak bisa hanya di ruang kelas, harus sejalan dengan penelitian dan perkembangan industri.
Rektor Sampoerna University Wahdi Salasi April Yudhi mengatakan, perguruan tinggi ditantang menghasilkan inovasi, menyiapkan tenaga kerja dan wirausaha yang sesuai perkembangan dunia usaha, serta mampu mendapatkan penghasilan dari sumber lain sesuai potensi perguruan tinggi.
Pemimpin Akademi Sampoerna School System Marshall E Schott mengatakan, pendidikan generasi muda Indonesia harus dikembangkan dengan mengikuti standar internasional. “Ukurannya bukan hanya karena belajarnya berbahasa Inggris, melainkan pendidikan mengacu pada praktik baik yang dilakukan institusi pendidikan secara internasional,” ujar Marshall.
Lintas bidang
Menurut Marshall, Indonesia harus menyiapkan generasi muda yang mampu hidup dalam dunia global yang kompleks. Kompetensi abad ke-21 yakni kreativitas, komunikasi, berpikir kritis, dan kolaborasi, menjadi penting dikuasai.
“Komunitas akademik dan industri di Indonesia harus terhubung dengan baik dan berkolaborasi. Lulusan perguruan tinggi harus disiapkan untuk mampu bekerja lintas ilmu. Mahasiswa diberi kesempatan memperkaya wawasan dengan bidang ilmu lain,” ujar Marshall.
Dalam pengukuran perguruan tinggi di tingkat internasional, reputasi akademik secara keseluruhan dan reputasi kualitas tenaga pendidik termasuk unsur penting. (ELN)
Sumber: Kompas, 26 Oktober 2017