Kehati Rentan Diambil Asing

- Editor

Rabu, 22 Februari 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Waspadai Kerja Sama Riset dengan Peneliti Luar Negeri
Rendahnya pemahaman dan perhatian tentang nilai-nilai keanekaragaman hayati menyebabkan hasil kerja sama riset lebih banyak dikuasai pihak asing. Selain produk hasil riset yang dimiliki, sejumlah sumber daya hayati Indonesia diklaim oleh negara lain.

Kondisi itu berlangsung hingga kini. Lemahnya pengawasan setelah riset juga memberi peluang bagi pihak asing untuk menguasai hasil riset tentang keanekaragaman hayati (kehati) Indonesia mulai dari hulu sampai hilir.

Hal itu dipaparkan Rosichon Ubaidillah, Kepala Laboratorium Entomologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), pada temu media “Perkembangan Revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya” di Jakarta, Selasa (21/2).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Kita kurang peduli nilai-nilai kehati untuk berbagai keperluan, seperti pangan, obat, dan perbaikan lingkungan. Akibatnya, kita begitu mudah meloloskan hasil riset tentang kehati sehingga orang asing lebih menguasainya,” kata Rosichon yang juga anggota Majelis Profesor LIPI.

Selama ini, sejumlah produk obat di luar negeri dikembangkan dari sumber daya hayati Indonesia, misalnya vaksin flu burung dan produk obat lain dari keragaman hayati Indonesia yang diklaim pihak asing.

Contoh lain adalah bunga anggrek (Phalaenopsis) yang dikembangkan dan jadi penghasil devisa di Taiwan. “Anggrek di Taiwan itu asal genetikanya dari Indonesia,” kata Rosichon.

Sejak pemerintahan Orde Baru, banyak riset yang dihasilkan terkait sumber daya hayati. Namun, mayoritas hasil riset itu hanya jadi dokumen, tak ditindaklanjuti. “Orang asing lebih menguasai informasi keanekaragaman hayati Indonesia karena memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi terkait hal itu. Jadi, mereka lebih tahu pemanfaatan ke depan,” ujarnya.

Ancaman
Kondisi itu dapat jadi ancaman bagi ketahanan nasional. Apalagi jika masyarakat dan pemerintah tidak meningkatkan pengetahuan, kepedulian, dan komitmen menjaga sumber daya hayati serta memanfaatkannya bagi kepentingan bangsa Indonesia.

Selama ini, Rosichon mengungkapkan, tiap tahun ada sekitar 700 proposal untuk kerja sama riset dengan peneliti asing dengan melibatkan sekitar 5.000 periset asing. Menurut aturan penelitian, hal itu harus melalui prosedur yang melibatkan sejumlah kementerian atau lembaga terkait, diteruskan ke LIPI apakah diterima atau tidak.

Prinsipnya, harus ada mitra perguruan tinggi dari Indonesia, nota kesepahaman, dan perjanjian transfer bahan (MTA). Selama itu dipenuhi dan ada kepentingan bagi Indonesia, proposal akan diloloskan.

Akan tetapi, ada kerja sama riset dengan modus tertentu karena syarat tak terpenuhi. Contohnya, kerja sama pendidikan Indonesia dan Amerika Serikat yang dilakukan sebuah universitas di Bali mensyaratkan mengoleksi sumber daya hayati. Dalam kerja sama itu, penelitiannya dilakukan di laut. “Apa logis kalau peneliti mereka dilatih mengoleksi sumber daya hayati laut, tetapi cara koleksi itu pindah-pindah. Itu harus diwaspadai,” katanya.

Investasi jangka panjang
Ke depan, selain harus melakukan penelitian mandiri, pemerintah perlu memberi perhatian penuh dan menjadikan sumber daya hayati yang dimiliki Indonesia sebagai investasi jangka panjang. Karena itu, pemerintah harus memiliki peta jalan industri berbasis sumber daya hayati.

“Sumber daya hayati kita merupakan aset bangsa yang bisa menghasilkan devisa dan cadangan untuk pembangunan, selain pertambangan dan sumber daya alam lainnya. Itu belum digali sepenuhnya,” ujarnya.

Terkait dengan revisi UU No 5/1990, Rosichon berharap revisi itu memuat pokok-pokok perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan berkelanjutan dari genetika, spesies, dan ekosistem.

Andri Santosa, Koordinator Kelompok Kerja Konservasi dan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat, menambahkan, revisi UU No 5/1990 yang menjadi agenda Program Legislasi Nasional prioritas tahun 2017 hendaknya mengatur spesies dan ekosistem sumber daya genetik. Aturan perundang-undangan itu juga seharusnya memuat strategi konservasi baru, kawasan konservasi, dan kewenangan pengelolaan sumber daya hayati.

“Selain itu, harus diperhatikan soal pendanaan konservasi, partisipasi warga, termasuk masyarakat adat, sanksi, serta sengketa dan konflik,” ujar Andri. (SON)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Februari 2017, di halaman 14 dengan judul “Kehati Rentan Diambil Asing”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia
Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama
Jembatan antara Kecerdasan Buatan dan Kebijaksanaan Manusia dalam Al-Qur’an
AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah
Ancaman AI untuk Peradaban Manusia
Tingkatkan Produktivitas dengan Kecerdasan Artifisial
Menilik Pengaruh Teknologi Kecerdasan Buatan dalam Pendidikan
Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 16 Februari 2025 - 09:06 WIB

Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:57 WIB

Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:52 WIB

Jembatan antara Kecerdasan Buatan dan Kebijaksanaan Manusia dalam Al-Qur’an

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:48 WIB

AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:44 WIB

Ancaman AI untuk Peradaban Manusia

Berita Terbaru

Berita

Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama

Minggu, 16 Feb 2025 - 08:57 WIB

Berita

AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah

Minggu, 16 Feb 2025 - 08:48 WIB

Berita

Ancaman AI untuk Peradaban Manusia

Minggu, 16 Feb 2025 - 08:44 WIB