Kekayaan keanekaragaman hayati serta kondisi geografis Indonesia menarik perhatian peneliti berbagai penjuru dunia. Hal itu terkait dengan potensi manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta ekonomi. Salah satu negara yang tertarik ialah Tiongkok. Dalam lima tahun terakhir, jumlah kerja sama riset Tiongkok dengan peneliti di Indonesia meningkat pesat.
Sepuluh tahun lalu, Tiongkok belum termasuk 10 besar negara pengirim peneliti terbanyak ke Indonesia. “Sekarang, Tiongkok sudah masuk 10 besar,” kata Kepala Seksi Administrasi Perizinan Penelitian Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) Sri Wahyono saat dihubungi, Selasa (19/1), di Jakarta.
Wahyono mengatakan, riset peneliti Tiongkok di Indonesia terutama pada bidang oseanografi. Tiongkok banyak bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Data Kemenristek Dikti, Tiongkok menempati urutan keenam pada 2014 dalam hal negara asal peneliti asing terbanyak. “Negeri Tirai Bambu” menyumbang 6 persen dari total peneliti asing tahun 2014.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perkembangan pesat itu menunjukkan, Tiongkok benar-benar mengejar kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi. Belanja penelitian dan pengembangan Tiongkok sudah mencapai 2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), jauh di atas Indonesia yang masih pada kisaran 0,09 persen terhadap PDB. Padahal, PDB Indonesia jauh lebih kecil, yakni 868,3 miliar dollar AS pada 2013, sedangkan PDB Tiongkok 9,24 triliun dollar AS tahun 2013.
KOMPAS/AHMAD ARIF–Para peneliti di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, menganalisis sampel DNA yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia, Rabu (9/12/2015). Kekayaan keanekaragaman hayati serta kondisi geografis Indonesia menarik perhatian para peneliti dari berbagai penjuru dunia. Dalam lima tahun terakhir, jumlah kerja sama riset Tiongkok dengan peneliti di Indonesia meningkat pesat.
Data sejak 2010 pun menunjukkan, Tiongkok langganan 10 besar negara asal peneliti asing di Indonesia. Pada 2010, jumlah peneliti Tiongkok 3 persen terhadap total peneliti asing yang melakukan riset di Indonesia. Di tahun 2011, jumlahnya menjadi 4 persen, tahun 2012 sejumlah 6 persen, dan tahun 2013 menjadi 8 persen.
Diperlukan
Menurut Direktur Pengelolaan Kekayaan Intelektual, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristek Dikti Sadjuga, walaupun harus terus dikawal agar peneliti asing tidak membawa manfaat besar bagi negara asal mereka, sedangkan rakyat Indonesia tidak mendapatkan manfaat, kehadiran mereka dibutuhkan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Tanah Air. Negara asal peneliti asing memiliki sumber dana riset yang bisa membantu keterbatasan dana riset Indonesia.
“Kehadiran peneliti asing membuka mata bahwa kita memiliki potensi sumber daya yang terabaikan dari penelitian selama ini,” ujar Sadjuga. Apalagi, negara asing banyak bekerja sama di bidang riset dasar. Riset semacam itu penting karena menjadi landasan informasi bagi riset-riset selanjutnya guna memberikan manfaat kesejahteraan.
Riset dasar bisa berlangsung bertahun-tahun dan tidak langsung berdampak. Namun, tanpa riset dasar, riset terapan yang hasilnya bisa dirasakan langsung tidak akan dapat berjalan. Sementara itu, kebijakan Indonesia cenderung lebih mengunggulkan riset terapan yang inovatif, sedangkan porsi perhatian bagi riset dasar kecil.
Belanja riset dasar perguruan tinggi negeri Indonesia pada 2010 hanya 23,02 persen, sedangkan riset terapan 56,62 persen. Jumlah proposal riset dasar yang didanai pemerintah juga turun, dari tidak lebih dari 150 judul pada 2007 menjadi tidak lebih dari 50 judul tahun 2012 (Kompas, 23/4/2015).
Jumlah izin penelitian yang melibatkan peneliti asing terus naik dari tahun ke tahun selama kurun 2000-2014. Pada 2000, jumlah izin penelitian yang dikeluarkan sebanyak 116 izin. Tahun 2006 mencapai 309 izin, kemudian sempat mencapai 547 izin di 2010. Tahun 2014, jumlahnya menjadi 512 izin.
Pada 2014, negara asal peneliti terbanyak ialah Amerika Serikat dengan jumlah peneliti 23 persen. Jepang pada urutan kedua dengan menyumbang 19 persen peneliti asing, diikuti Perancis (14 persen), Jerman (13 persen), dan Australia (8 persen).
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Enny Sudarmonowati menuturkan, semua sudah tahu bahwa sumber daya hayati Indonesia begitu kaya. Untuk itu, semua peneliti Indonesia di tingkat pusat hingga daerah harus memiliki kesamaan persepsi bahwa rambu-rambu kerja sama dengan pihak asing wajib kuat. “Kita butuh dana tambahan dengan kerja sama, tetapi bukan menjual keanekaragaman hayati kita,” ujarnya.
J GALUH BIMANTARA
Sumber: Kompas Siang | 19 Januari 2016