Saat pulang kuliah, Widyasrini kerap mampir ke Food Production and Training Center, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. Di tempat itu, mahasiswa semester IV Fakultas Hukum tersebut selalu membeli dua atau tiga bungkus kacang tanah sebagai camilan kala belajar di rumah kosnya.
Widyasrini mengaku sudah bertahun-tahun tak pernah makan kacang. “Karena banyak lemaknya,” ujarnya. Ia kembali berani makan kacang setelah salah seorang temannya memberi tahu ada kacang tanpa lemak yang dijual dalam bentuk makanan ringan. Kacang yang dibeli dan dimakan Widyasrini adalah kacang press free lipida. Ini adalah kacang tanah (Arachis hypogeae L.) olahan yang bebas lemak, antikolesterol, mengandung antioksidan.
Disebut bebas lemak karena kacang ini mengandung nol persen kadar lemak, dan disebut antikolesterol karena kacang ini mengandung asam lemak tak jenuh. Kacang ini antioksidan karena mengandung katekin, yang didapat dari ekstrak teh hijau.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kacang press free lipida ini merupakan hasil penelitian Aprodhyta Putri, mahasiswi semester VIII Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya. Putri meneliti kacang tanah untuk tugas akhir program strata satu. “Karena untuk skripsi, penelitian ini sangat spesifik, yakni pada kacang,” kata Wahono Hadi Susanto, dosen yang menjadi pembimbing Putri.
Dimulai pada Januari 2011, dengan mengambil judul Pengolahan Kacang Tanah Menggunakan Teh Hijau Segar, Putri tergerak meneliti karena selama ini kacang tanah kurang populer sebagai makanan ringan. Ini karena kandungan lemaknya sangat tinggi. “Banyak orang enggan mengkonsumsi kacang karena (akan) timbul jerawat,” kata dia, Jumat pekan lalu.
Tujuan lain riset Putri adalah untuk meningkatkan nilai ekonomis kacang. Maklum, dengan diolah menjadi kacang bebas lemak, harganya jadi lebih tinggi dan bakal merangsang petani menanam kacang. “Petani selama ini menanam kacang hanya berdasarkan pesanan,” ujarnya.
Padahal, selain kaya akan lemak, kacang tanah mengandung protein yang tinggi, zat besi, vitamin E dan kalsium, vitamin B kompleks dan Fosforus, vitamin A dan K, lesitin, kolin, serta kalsium. Kandungan protein dalam kacang tanah jauh lebih tinggi dibanding daging, telur, dan kacang soya.
Dalam penelitiannya, Putri memilih teh hijau karena hanya teh ini yang mengandung katekin. “Teh hijau diproses tanpa fermentasi sehingga katekinnya tidak rusak,” tuturnya. Ini berbeda dengan teh hitam, yang diproses dengan cara fermentasi.
Katekin yang biasanya ada pada teh hijau disebut juga dengan polifenol atau antioksidan. Itu pun hanya ada di daun teh yang berada di bagian pucuk pohon teh. Sedangkan daun teh yang berada di bagian bawah pohon teh atau daun yang sudah tua tak mengandung katekin.
Cara pengolahan diawali dengan mengupas kacang tanah dan menjemurnya di bawah panas matahari selama satu hari. Setelah diperoleh tingkat kekeringan tertentu, kacang ditekan dengan menggunakan hydraulic press.
Pemilihan press ini ada alasannya. Menurut Putri, bahan biji-bijian yang kadar lemaknya lebih dari 20 persen akan lebih efektif jika ditekan. Ini berbeda dengan biji-bijian yang kandungan lemaknya kurang dari 20 persen, seperti biji kapuk, jagung, padi, yang akan lebih efektif jika diekstrak dengan bahan kimia.
Saat ditekan, bentuk kacang akan menjadi pipih atau rusak. Namun tak perlu khawatir, karena bentuk kacang akan kembali seperti semula saat direndam dalam air katekin. Putri menyebutnya sebagai peristiwa rehidrasi, yakni masuknya air katekin ke tubuh kacang.
Setelah ditekan, kacang direndam dengan air teh hijau selama satu jam. Agar terasa gurih ketika dimakan, larutan air teh diberi bumbu penyedap, yang terdiri atas bawang dan garam. Saat basah itulah, kacang digoreng hingga kering dengan menggunakan minyak lemak kacang. Setelah dingin, kacang pun siap dikonsumsi.
Dalam 1 kilogram kacang, terdapat kandungan minyak lemak sebesar 40 persen atau 40 ons. Saat ditekan itulah, minyak lemak akan keluar. Minyak lemak ini tidak dibuang, tapi dipakai lagi untuk menggoreng kacang.
Saat menggoreng, minyak lemak tak akan masuk lagi ke tubuh kacang. Ini lantaran tubuh kacang yang basah sudah ditempati oleh katekin. Jumlah minyak lemak juga tak akan berkurang sama sekali meskipun dipakai menggoreng berkali-kali. Ini berbeda dengan minyak biasa, yang pasti habis jika dipakai untuk menggoreng.
Dengan menggunakan minyak yang keluar dari kacang, Putri tak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membeli minyak. Apalagi minyak ini juga masih bisa dipakai lagi atau dijual dengan harga Rp 15 ribu per kilogram. Jauh lebih mahal dibanding harga minyak biasa, yang mencapai Rp 10 ribu per kilogram.
Untuk mendapatkan katekin, engine pada teh hijau harus dinonaktifkan dengan cara merendam teh ke dalam air. Larutan air kemudian dipanaskan atau di-blenching. “Saat di-blenching inilah sel katekin akan keluar,” ujarnya. Putri memilih blenching karena jika di-blender, sel katekin akan rusak.
Air untuk merendam teh hijau harus bebas dari kandungan unsur senyawa kimia, seperti kaporit. Putri memilih air sumur daripada menggunakan air PDAM.
Jumlah teh hijau yang dipakai tak perlu banyak. Untuk perendaman dengan menggunakan 4 liter air, daun teh hijau yang dibutuhkan hanya 7-10 lembar. Jika daun teh terlalu banyak atau air terlalu sedikit, rasa kacang akan menjadi pahit atau sepet. Ini karena, makin tinggi kadar katekin, makin tinggi pula rasa pahit dan sepetnya. “Katekin berpengaruh pada rasa,” tutur Putri, yang yakin cara pengolahan ini tak mengakibatkan kandungan protein kacang hilang.
Putri memperkirakan masa awet kacang ini bisa bertahan hingga enam bulan. Ini karena dia tidak menambahkan bahan kimia apa pun, termasuk perenyah, pengawet, atau pemutih dalam produknya. “Ini termasuk produk herbal sehingga tak boleh diberi campuran kimiawi apa pun,” kata Wahono. BIBIN BINTARIADI
Bernilai Ekonomis
Kacang free lipida itu laris manis. Dijual di outlet Laboratorium Food Production and Training Center, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang, kacang itu bisa laku sekitar 25 bungkus dalam sehari. “Banyak yang menggemari,” kata Manajer Marketing FPTC Yoga Pranata, Kamis pekan lalu.
Bekerja sama dengan CV M Agro Medica, selain dijual di kampus, kacang ini sudah dipasarkan di sejumlah supermarket di Surabaya, Gresik, Malang, dan Sidoarjo. Menurut Yoga, sudah ada perusahaan makanan yang tertarik memproduksi dalam skala besar.
Kacang dikemas dalam ukuran 80 gram dengan harga Rp 4.000. Dalam sehari, produksi kacang sudah mencapai 300 kilogram. Dosen pembimbing Putri yang juga menjadi kepala laboratorium, Wahono Hadi Susanto, mengatakan produk ini memiliki peluang bisnis yang sangat cerah. “Ini layak dikembangkan.”
Wahono menghitung, harga 1 kilogram kacang tanah Rp 20 ribu. Setelah diolah, harga menjadi Rp 40 ribu per kilogram. Target utama pembuatan makanan sehat di laboratorium, kata Wahono, sebenarnya bukan untuk komersial, melainkan untuk melatih mahasiswa dan dosen berwirausaha.
Selain kacang free lipida, laboratorium memang menjual berbagai macam produk hasil olahan mahasiswa dan dosen. Salah satunya, sirop Tamarilo, yang bermanfaat untuk kesehatan. Dalam waktu dekat, akan dilakukan sebuah penelitian tentang tempe antioksidan.
“Laboratorium ini adalah training center untuk mahasiswa dan dosen yang mempunyai inovasi,” kata Wahono. Selama ini banyak karya mahasiswa dan dosen Fakultas Teknologi Pertanian yang layak diaplikasikan untuk masyarakat tapi tak dimanfaatkan dengan baik. “Hanya ditumpuk di perpustakaan.”
Aprodhyta Putri mengaku senang karena pihak kampus bersedia memproduksi hasil karyanya untuk dijual. “Saya merasa dihargai,” ujarnya. Ia berencana akan mematenkan haknya ini agar tak diambil begitu saja oleh para produsen makanan kelas besar. BIBIN BINTARIADI
Sumber: Koran Tempo, 25 Mei 2011