Jalan Tol Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa, Bali, sepanjang 12,7 kilometer diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (23/9). Jalan tol yang dibangun dalam waktu setahun ini bertujuan mengatasi kemacetan di jalan by pass Ngurah Rai.
Meski nantinya dapat mengurangi kepadatan arus lalu lintas di darat, keberadaan konstruksi jalan di pesisir Benoa Bali itu harus memperhatikan keselarasan dengan lingkungan kelautan. Sebab, kelestarian lingkungan merupakan aset terpenting bagi pulau wisata dunia itu.
Untuk tujuan itu, pembangunan pilar-pilar penopang jalan yang berdiameter sekitar 60 cm dilakukan dengan ponton. Adapun penancapan 4.000 tiang pancang menggunakan vibro hammer untuk meminimalkan kerusakan terumbu karang di daerah laguna yang kaya ikan itu.
Penetapan setiap lokasi tiang pancang dan alur jalan tol ini, kata Ari Setiadi Moerwanto, Ketua Tim Pemodelan Numerik Proyek Bali Tol, dilakukan melalui pemodelan dinamis tiga dimensi. Untuk itu diperlukan lokasi dengan tingkat sedimen yang paling minimal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Banyaknya pilar penyangga semula dikhawatirkan akan mengganggu pergerakan arus yang membawa material pasir masuk ke laguna dan kembali ke laut sehingga menyisakan sedimen di kawasan mangrove dan laguna yang menjadi rumah ikan. Namun, dalam pemodelan tidak terjadi sedimentasi yang berarti,” kata Ari yang juga doktor pemodelan numerik dari Universitas Delf, Belanda.
Selain itu, untuk keamanan konstruksi jalan tol tersebut dirancang struktur yang tahan gempa tektonik skala besar yang masa perulangannya lebih dari 100 tahun. Faktor korosi pada struktur yang dibangun di laut juga diantisipasi. Dasar pilar jalan ditancapkan di dasar laut hingga kedalaman 30 meter.
Aspek keselamatan pengguna jalan sangat diperhatikan. Agar badan jalan aman dari empasan gelombang, ketinggiannya dibuat hampir 10 meter dari permukaan laut. Hal ini memperhitungkan tinggi gelombang pada pasang tertinggi. Kecepatan angin juga diperhitungkan. Menurut Ari, kecepatan angin di kawasan laguna relatif rendah sehingga risiko angin di jalan tol tersebut minimal.
Meski demikian, untuk menjaga keselamatan pengguna jalan, terutama pengendara sepeda motor, jalan tol dilengkapi dengan pengukur kecepatan angin. ”Jalan tol akan ditutup sementara jika kecepatan angin laut mencapai 40 km per jam atau lebih agar tidak membahayakan pengendara,” kata Direktur Utama PT Jasamarga Bali Tol Akhmad Tito Karim.
Untuk melintas di jalan tol yang berada di pesisir itu, kecepatan untuk kendaraan roda empat dibatasi minimal 60 km per jam dan maksimal 80 km per jam. Adapun sepeda motor kecepatan maksimal yang diperbolehkan 40 km per jam. Jalur untuk mobil dan sepeda motor dipisahkan seperti di Jembatan Suramadu, Jawa Timur.
Kelebihan pembangunan jalan tol Bali adalah pada aspek kemandirian nasional, kata Ari yang juga Direktur Bina Penatagunaan Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum. Selain dikerjakan kontraktor nasional yang tergabung dalam konsorsium, tiang pancang dibuat industri dalam negeri, yaitu PT Wijaya Karya.
Menurut Sekretaris Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Arief Wicaksono, jalan tol tersebut telah melewati uji kelaikan selama 1,5 bulan. ”Setelah itu, jalan tol Bali akan diinspeksi setiap enam bulan agar tetap memenuhi standar pelayanan. Setiap semester hasilnya akan kami serahkan kepada badan usaha,” ujar Arief menjelaskan.
Waspadai reklamasi
Jalan tol Bali, demikian Ari, dibangun dalam waktu singkat. Targetnya selesai sebelum KTT APEC di Bali berlangsung pada awal Oktober. Karena ingin mempercepat proyek pembangunan, penancapan beberapa tiang pacang dilakukan dengan didahului penimbunan pasir untuk memudahkan pengerjaan. ”Timbunan pasir ini setelah selesai diangkut agar tidak merusak bakau,” kata Ari.
Keberadaan jalan tol Bali, menurut Ari, akan mendorong reklamasi pantai di sekitarnya. Jika memang akan direklamasi, harus dilakukan dengan studi kelayakan yang benar.
Staf Ahli Menteri Riset dan Teknologi Idwan Suhardi, yang juga ahli teknik pantai lulusan Universitas Portsmouth, Inggris, mengingatkan agar tidak gegabah mereklamasi pantai. Sebab, hal tersebut dapat mengubah pola arus laut di kawasan pantai hingga menyebabkan perubahan garis pantai yang telah terbentuk secara alami.
Idwan mengingatkan tentang abrasi hebat yang pernah terjadi di Pantai Kuta akibat pembangunan konstruksi yang tidak ramah lingkungan. Karena itu, sebelum memutuskan mereklamasi pantai, harus dilakukan pemodelan dengan seri data dalam kurun waktu hingga 100 tahun.
”Jika akan dilakukan perubahan yang masif, harus dibuat dulu proyek percontohan skala kecil,” kata Idwan.
Ari menyarankan reklamasi di Pelabuhan Rotterdam, Belanda, dijadikan sebagai contoh. Sebelum perluasan kawasan pantai, harus didahului dengan pembuatan pulau-pulau kecil yang akan menyeimbangkan pola arus dengan bentuk pantai yang baru.
Oleh: Yuni Ikawati
——————-
Kelayakan Jalan Tol Perlu Diaudit
Jalan bebas hambatan yang dilalui kendaraan berkecepatan tinggi menuntut kelayakan prasarana, baik badan jalan maupun median dan pagar pemisah. Untuk menekan kasus kecelakaan, perlu peninjauan kelayakan prasarana jalan tol tersebut.
Hal ini dikatakan Guru Besar Transportasi dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia Sigit P Hadiwardoyo, Minggu (22/9), terkait banyaknya kecelakaan yang terjadi di Jalan Tol Jagorawi dan Cipularang belakangan ini.
Selama ini tidak ada lembaga yang memperhatikan faktor keselamatan atau kelayakan jalan tol yang bersifat preventif. Lembaga yang ada, seperti Komisi Nasional Keselamatan Transportasi, hanya bertugas setelah terjadi kecelakaan.
”Sudah saatnya kelayakan jalan tol diaudit. Seharusnya audit atau pemeriksaan dilakukan secara rutin setiap tiga bulan. Dalam hal ini, jalan tol di bawah pengawasan Kementerian Pekerjaan Umum,” ujarnya.
Selama ini pihak pengelola hanya fokus pada pengaturan tarif. Seharusnya kualitas jalan juga jadi parameter untuk penentuan tarif. Menurut Sigit, pengelola atau pemerintah harus memperbaiki kondisi jalan dulu apabila ingin menaikkan tarif tol.
Syarat kelayakan
Di jalan tol seharusnya tidak boleh ada jalan berlubang, bahkan kerataan jalan ada persyaratan tertentu. Namun, yang terjadi, lubang 3 cm dibiarkan hingga membesar. Setelah terjadi kecelakaan baru diperbaiki. ”Jika ada pengawasan, jalan dengan kondisi seperti itu tidak akan berlanjut hingga memburuk. Kerusakan jalan terjadi karena tidak ada kontrol,” kata Sigit.
Selain itu, median jalan dan pagar pemisah harus dipastikan kelayakannya. Idealnya, median jalan tol selebar 9 meter. Rinciannya, ada masing-masing 3 meter untuk permukaan miring di sisi kanan dan kiri. Di bagian tengah berupa parit selebar 3 meter untuk drainase.
Parit juga berfungsi untuk mencegah mobil menyeberang ke jalur arah berlawanan. Sebab, jika melenceng ke median jalan, kendaraan terkait akan terperosok ke parit.
Namun, jika luas lahan median jalan tak memadai, bagian pemisah harus diberi pagar yang disebut guard rail. Pagar pemisah ini terbuat dari besi atau kabel dengan spesifikasi dan bentuk profil tertentu, sehingga ketika tertabrak akan melentur, tetapi tidak memungkinkan kendaraan masuk ke jalur berlawanan. Sambungan antar-guard rail dan patoknya yang terbuat dari pelat baja harus mampu meredam benturan. Guard rail melentur 75 cm pada lebar median 1,5 meter.
Jika kondisi jalan tidak memungkinkan ada median selebar 1,5 meter, harus dipasang pemisah jalan terbuat dari beton dengan ketinggian sekitar 1 meter. Pagar beton itu berbentuk miring di kaki beton pemisah. Dengan demikian, roda kendaraan yang menabrak akan terdorong kembali jalan.
Konstruksi pemisah jalan yang dirancang selama ini dapat berfungsi untuk menahan benturan kendaraan hingga kecepatan 100 km per jam. Jika kecepatan kendaraan lebih dari itu, ada potensi terjadi insiden kecelakaan.
Di median selebar 1,5 meter idealnya ditanami tanaman perdu atau pelat pelindung. Tujuannya untuk mencegah sorotan lampu yang menyilaukan bagi pengemudi kendaraan pada arah berlawanan.
Di beberapa ruas jalan tol di kawasan Jabodetabek dan Cipularang tidak terdapat pelindung tersebut. Akibatnya, pada malam hari, lampu kendaraan menyilaukan pengemudi pada arah yang berlawanan. (YUN)
Sumber: Kompas, 24 September 2013