Jakarta Architecture Triennale; Menggugat Kota yang Kaku

- Editor

Selasa, 1 Desember 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Di tengah suasana kota Jakarta yang semakin semrawut, sejumlah arsitek yang tergabung dalam Ikatan Arsitek Indonesia Cabang Jakarta menawarkan berbagai macam desain arsitektur yang unik dalam pameran Jakarta Architecture Triennale 2015. Pameran ini menjadi otokritik terhadap karya-karya seni bangunan yang cenderung kaku.

Jakarta Architecture Triennale (JAT) 2015 digelar mulai 15 November hingga 13 Desember 2015 dengan tema “This is Indonesia! Locality, Playful, Innovation”. JAT 2015 terdiri atas tiga program acara besar, yaitu pameran inovasi (Stasiun Jakarta Kota), Playful Urban Intervention berupa pemasangan instalasi kreatif di ruang-ruang publik (Taman Tebet, Taman Ayodya, Taman Fatahillah, Stasiun Palmerah, dan Stasiun Sudirman), dan rangkaian seminar (Thamrin Nine Ballroom, UOB Plaza).

“Pameran inovasi desain dan teknologi konstruksi dalam JAT 2015 lebih ke arah kritik terhadap karya arsitektur,” kata Ketua Komite JAT 2015 Theresia Purnomo di Jakarta, pekan lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Salah satu desain berjudul “Aling-aling Tenun Pelangi” karya Parametr Architecture, misalnya, menggarap koridor jembatan penyeberangan Stasiun Palmerah yang monoton dengan penumpang yang kurang disiplin membedakan arah jalur. Parametr Architecture menaruh pembatas untuk mendisiplinkan arah jalur masuk dan keluar pejalan kaki. Atap peneduh dan pagar jembatan penyeberangan didesain seperti anyaman tenun berwarna-warni sehingga lebih menyenangkan.

jakarta_architecture_triennale_2015-posterDi Stasiun Sudirman, Labo Architecture+Design dari Bandung menciptakan “Gasing”. Desainer membuat beberapa tempat duduk warna-warni berbentuk setengah lingkaran, mirip mainan tradisional gasing, ditambah sandaran kecil di atas. Dengan menata keseimbangan bersama, beberapa orang bisa duduk di “gasing” dari bahan anyaman rotan sintetis itu. Gasing itu diharapkan bisa menyelipkan hiburan, sarana bermain-main, sekaligus bernostalgia tentang mainan semasa kecil.

“Dengan tempat duduk ini, kita bisa duduk sejenak sambil bersenda gurau dengan teman- teman,” ucap Lia, salah seorang penumpang kereta di Stasiun Sudirman.

Selain mendobrak ruang-ruang publik yang masih kaku, JAT 2015 juga mempersoalkan karya- karya arsitektur Jakarta yang lebih mementingkan estetika, tetapi kurang substansial. (ABK)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Desember 2015, di halaman 11 dengan judul “Menggugat Kota yang Kaku”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Berita ini 9 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB