Inpres Moratorium Ditandatangani Presiden

- Editor

Kamis, 8 Agustus 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar memastikan kebijakan penghentian pemberian izin di hutan alam primer dan gambut secara permanen ditandatangani Presiden Joko Widodo. Penghentian itu dilakukan setelah kebijakan tersebut diperpanjang setiap dua tahun sejak tahun 2011.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Sejumlah peserta jungle tracking pada kegiatan Jambore Nasional Konservasi Alam 2019 di Batam di Taman Wisata Alam Muka Kuning, Batam, Kepulauan Riau, Selasa (6/8/2019), berdiskusi bersama terkait kegiatan pengenalan ekosistem hutan tersebut.

“Sudah ditandatangani kemarin,” kata Siti Nurbaya Bakar, seusai meninjau stan pada Hari Konservasi Alam Nasional 2019 di Batam, Kepulauan Riau. Kini regulasi itu diproses penomoran dan perundangannya. Informasi itu setelah aktif mencari tahu draft kebijakan moratorium. Itu mengingat Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Hutan Gambut berakhir sejak 17 Juli 2019.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Siti Nurbaya menyebut penghentian permanen pemberian izin di hutan alam primer dan gambut itu merupakan pembaruan dari Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2017. Penghentian pemberian izin tersebut diputuskan setelah mengevaluasi pelaksanaan moratorium selama delapan tahun terakhir.

Ia menyebut areal penundaan pemberian izin itu digambarkan secara spasial dalam Peta Indikatif Penundaan Pemberian Ijin Baru (PIPPIB) yang diperbarui Kementerian Kehutanan (kini KLHK) tiap enam bulan sekali telah stabil. Areal PIPPIB sudah mempunyai luasan relatif stabil atau agak konstan atau tetap diangka sekitar 66 juta hektar.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Rabu (7/8/2019) di Taman Wisata Alam Muka Kuning, Batam, Kepulauan Riau, mengunjungi stan pada kegaitan Hari Konservasi Alam Nasional yang diperingati setiap 10 Agustus.

Dipertanyakan
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya mempertanyakan evaluasi tersebut. Sebab, tak ada penguatan dari substansi dan dasar hukum setelah 8 tahun pelaksanaan inprs moratorium. Kondisi di lapangan membutuhkan perlindungan hutan alam menyeluruh, peninjauan ulang perizinan, penegakan hukum dan pengawasan, serta penyelasaian konflik.

Berdasarkan draft terakhir Inpres, ia mengatakan kebijakan moratorium masih mengakomodasi pengecualian yang retntan melanggengkan penguasaan korporasi yang mengatasnamakan kepentingan objek vital nasional. Itu dievaluasi pemerintah dan menjadi penguatan dalam penyusunan kebijakan penghentian izin di hutan alam primer dan gambut.

Teguh Surya mengatakan, dalam penyusunan PIPPIB luasan berkurang seluas 3 juta ha. Ia menyayangkan penurunan luasan amat besar itu tak dijelaskan secara transparan penyebabnya oleh kementerian. “Tidak ada penjelasan di mana wilayah pengurangan tersebut dan untuk kepentingan apa/siapa serta mekanismenya tidak jelas serta tidak mumpuni bagi publik untuk berpartisipasi (proses tertutup),” ungkapnya.

Lebih lanjut, terkait angka 66 juta ha luas areal PIPPIB yang dikatakan KLHK telah stabil, ia mempertanyakan nasib hutan di luar luasan tersebut. Ia menunjukkan Status Hutan dan Kehutanan Indonesia yang disusun KLHK (2018) menunjukkan luas hutan alam Indonesia 89,4 juta ha yang 6,9 juta ha berstatus área penggunaan lain (APL). Artinya ada 23,4 juta ha hutan alam yang tak terlindungi dari sasaran lokasi pemberian izin.

Di sisi lain, Teguh Surya menunjukkan sejumlah angka dan kebijakan yang membutuhkan penjelasan pemerintah. Di antaranya, pada rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional akan mempertahankan tutupan hutan Indonesia seluas 94 juta hektar pada 2025. Dan pada rencana kehutanan tingkat nasional (RKTN) 2011-2030 mengagendakan ekspansi izin usaha pemanfaatan hasil hutan – hutan tanaman (IUPHH-HT atau Hutan Tanaman Industri/HTI) seluas 5 juta hektar.

“Apakah Inpres tersebut telah disinkronisasi RPJMN dan RKTN? Jika tidak situasi ini semakin membingungkan dan berpotensi menjadi loophole mendeforestasi dan mengancam keberhasilan pencapain komitmen Iklim.,” kata dia.–ICHWAN SUSANTO

Editor EVY RACHMAWATI

Sumber: Kompas, 8 Agustus 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB