Milenial Tumpuan Harapan Perlindungan Alam

- Editor

Selasa, 13 Agustus 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Arifin (17), siswa kelas XII SMA Negeri 21 di Batam, Kepulauan Riau, awalnya tak tahu kata ”konservasi”. Ia mengenalnya seusai mengikuti perkemahan Jambore Nasional Konservasi Alam 2019 di Taman Wisata Alam Muka Kuning, Batam, 5-8 Agustus 2019.

Pengakuannya agak mengejutkan mengingat Arifin merupakan Wakil Dewan Saka Kalpataru Gerakan Pramuka Batam. ”Soal konservasi baru tahu. Hal yang bisa disimpulkan, konservasi itu menjaga alam, termasuk satwa,” ujarnya, Rabu (7/8/2019).

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Taman Wisata Alam Muka KuningSebagai satu-satunya kawasan hutan konservasi di Pulau Batam, Kepulauan Riau, kawasan hutan Taman Wisata Alam (TWA) Muka Kuning Muka Kuning merupakan hutan yang memiliki fungsi pokok untuk kepentingan pariwisata alam dan rekreasi dengan tujuan membentuk karakter masyarakat yang mencintai alam dan lingkungan. Selain itu, TWA Muka Kuning juga berperan penting dalam menjaga tata air dan kualitas lingkungan hidup di Pulau Batam. Tampak Telaga Bidadari yang terdapat di dalam TWA Muka Kuning difoto pada 6 Agustus 2019 saat menjadi tuan rumah Hari Konservasi Alam Nasional.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ia bersama regunya yang berjumlah tujuh orang baru pertama kali mengikuti kemah konservasi. Kesempatan pertama itu dimanfaatkan dengan mengikuti kegiatan lapangan berupa jelajah hutan atau jungle tracking.

Kegiatan itu ialah mengikuti jalan setapak dari Desa Trembesi Bengkel menuju lokasi perkemahan dalam rangka peringatan Hari Konservasi Alam Nasional di TWA Muka Kuning. Jaraknya sekitar 5 kilometer apabila ditarik garis lurus tanpa memperhitungkan jarak naik-turun dan kelok-kelok perbukitan yang dilintasi.

Tak heran, jarak 5 kilometer itu ditempuh selama 2-2,5 jam oleh peserta, termasuk tim media yang mengikuti kegiatan itu. Sepanjang perjalanan, para peserta mendapat tugas untuk menginventarisasi tumbuhan ataupun satwa yang dijumpai.

Mereka diajari penggunaan fitur Google Lens, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk membaca algoritma visual tumbuhan sehingga mengenali nama dan jenis tanaman itu. Sayangnya, tugas itu tak bisa total dikerjakan Arifin karena telepon seluler pintarnya tak bisa lagi menerima aplikasi baru. ”Yang saya kenal ada tanaman putri malu dan tanaman kantong semar,” ucapnya.

Berbeda hanya dengan Retno Kumoro (16), siswi kelas X SMA Globe Nasional Plus Barat, yang mampu memanfaatkan kecerdasan buatan itu. Namun, saat ia dan timnya masuk kian dalam di belantara TWA Muka Kuning, kendala ketiadaan sinyal membuat aplikasi tak bisa mengenali obyek yang difoto.

Meskipun demikian, Retno mengatakan menikmati kegiatan itu. Apalagi, meski lahir dan besar di Batam, ia baru mengetahui Batam memiliki hutan seperti TWA Muka Kuning seluas 901,79 hektar yang hanya berjarak 2-3 kilometer dari pusat kota.

Hibatullah Nur M dari Saka Wanabakti yang menjadi pendamping dalam jelajah hutan itu mengungkapkan, inventarisasi bertujuan agar peserta mengenal jenis serta manfaat tumbuhan dan satwa yang dijumpai. ”Kalau tak mengenal, bagaimana bisa sayang,” kata Hibatullah yang duduk di kelas XII SMA Negeri 17 Batam itu.

Selain mengenal tumbuhan dan alam sekitar, peserta diajak untuk bersikap arif saat berinteraksi dengan alam. Setidaknya itu tampak dari penanaman tanggung jawab pribadi pada sampah yang dihasilkan saat berkegiatan di dalam hutan.
Selain tak membuang sampah di hutan, mereka dibekali kantong untuk memungut aneka sampah yang dijumpai di jalur tracking. Regu Arifin mendapat dua plastik besar sampah dari perjalanannya.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Sejumlah peserta jungle tracking pada kegiatan Jambore Nasional Konservasi Alam 2019 di Batam di Taman Wisata Alam Muka Kuning, Batam, Kepulauan Riau, Selasa (6/8/2019), berdiskusi bersama terkait kegiatan pengenalan ekosistem hutan tersebut.

Fungsi ekosistem
Hakim Syahreza Lubis (28), guru Geografi Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia Batam, menuturkan, kegiatan lapangan sangat penting untuk menggugah kesadaran para murid terhadap fungsi ekosistem bagi manusia. ”Mereka menghirup udara dari hutan. Karena itu, hutan harus dijaga. Mereka minum air dari hutan dan lingkungan sehat,” kata Hakim yang juga pembina santri pencinta alam ini.

Ia menyarankan agar kegiatan pengenalan konservasi seperti itu ditanamkan sejak pendidikan dasar melalui kurikulum terstruktur. Semakin dini, pengenalan akan alam dengan konteks yang sesuai merupakan investasi bagi pembentukan perilaku generasi mendatang.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno mengatakan, generasi milenial saat ini memiliki pengaruh besar dalam membantu perlindungan alam. Generasi yang amat dekat dengan gawai (gadget) serta berelasi di media sosial dinilai ampuh jadi pembawa pesan konservasi.

”Konservasi menjadi tanggung jawab masa kini di tengah kebutuhan kualitas hidup dan perkembangan teknologi yang cepat,” ujarnya.

Taman Wisata Alam Muka Kuning Sebagai satu-satunya kawasan hutan konservasi di Pulau Batam, Kepulauan Riau. Taman wisata itu ditunjuk pertama kali melalui surat keputusan menteri kehutanan Nomor 47/Kpts-II/1987 tanggal 24 Februari 1987, dari kelompok hutan Muka Kuning seluas 4.933 ha sebagai hutan wisata dengan kondisi sebagian kawasan tersebut terokupasi oleh pemukiman penduduk dan perkebunan/pertanian rakyat.

Keterlibatan aktif anak-anak milenial itu ditunjukkan Wiratno pada sejumlah kasus kejahatan kehutanan dan lingkungan hidup. Laporan kejahatan tumbuhan dan satwa liar, seperti perdagangan satwa dilindungi, perburuan fauna liar, dan perlakuan menyimpang dari kesejahteraan satwa, berulang kali didapatkannya dari generasi milenial yang menjelajah dunia maya.

Apabila anak-anak milenial tak dibekali dengan nilai dan pengetahuan konservasi, berbagai kasus tersebut bisa dianggap eksistensi atau aktivitas biasa. Padahal, data Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK menunjukkan, dari 536 operasi pengamanan atau penangkapan pelaku peredaran ilegal satwa liar, 113 kasus dilakukan secara daring.

Kaum milenial yang lekat dengan kehidupan daring dapat jadi agen-agen konservasi dengan melaporkan kejahatan kehutanan dan lingkungan di dunia itu kepada aparat. Untuk memaksimalkan potensi generasi milenial itu, Jambore Nasional Konservasi Alam yang diikuti 400 peserta digelar untuk memeriahkan Hari Konservasi Alam Nasional.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Batam yang lebih dikenal sebagai kota industri dan perdagangan, rupanya masih memiliki ruang terbuka hijau, berupa Taman Wisata Alam Muka Kuning seluas 2 juta hektar. Untuk menuju kawasan wisata alam ini, pengunjung akan melakukan tracking sejauh 5 kilometer dari Kampung Trembesi Bengkel.

Lokasi penyelenggaraan di TWA Muka Kuning ini bukan tanpa sebab. Sebagai satu-satunya hutan konservasi di Pulau Batam, areal itu memiliki fungsi penting sebagai pengelola tata air dan mutu lingkungan bagi pulau itu. Fungsi lain adalah menjadi sarana ekowisata dan edukasi terkait ekosistem hutan.

Tema ”Spirit Konservasi Alam Milenial” menggambarkan bahwa semangat konservasi alam jadi tanggung jawab semua pihak, termasuk generasi masa kini, di tengah kemajuan teknologi, pola hidup, pikiran terbuka, keterbatasan waktu, dan tuntutan mutu hidup yang meningkat. Hal-hal yang dibalut konservasi alam itu diharapkan menjadi kebanggaan dan kebutuhan bagi masyarakat, termasuk generasi milenial.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Taman Wisata Alam Muka Kuning

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Sejumlah tenda didirikan pengunjung di Taman Wisata Alam Muka Kuning

Oleh ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 13 Agustus 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB