Kekuatan Pasar Ikut ”Mendikte” Bacaan
Industri penerbitan buku di Indonesia berubah drastis dengan kian terbuka dan beragam. Itu tecermin dari semakin banyak pilihan literasi cetak di pasaran. Namun, tak jarang kekuatan pasar ikut ”mendikte” tawaran jenis buku.
”Dunia penerbitan berubah drastis sejak tiga hingga empat tahun lalu. Sekarang ini mudah sekali bagi penulis untuk menerbitkan karyanya,” ujar novelis Bernard Batubara, yang dikenal dengan nama pena Benzbara, ketika dihubungi di Yogyakarta, Kamis (8/1).
Benzbara menuturkan pengalamannya berusaha menerbitkan buku pada 2007. Saat itu, industri penerbitan hanya memiliki sejumlah penerbit besar dan penerbit yang sudah memiliki reputasi. Penerbit-penerbit itu memiliki seleksi ketat berdasarkan standar tertentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di samping itu, jalur agar naskah bisa diterbitkan masih sedikit, antara lain dengan mengirim naskah ke penerbit, atau mengikuti lomba menulis yang diselenggarakan penerbit. ”Kemungkinan lolos seleksi atau memenangi lomba kecil karena banyak penulis yang bersaing, sementara penerbit memiliki kuota,” kata penulis yang sudah menerbitkan tujuh novel itu.
Bermula media sosial
Menurut Benzbara, keadaan berubah pada tahun 2011. Ia berpendapat, pada masa itu, penerbit mulai melirik keberadaan media sosial digital. Bahkan, Benzbara mendapat tawaran untuk mencetak karyanya setelah sebuah penerbit membaca blog milik dia. Sekarang, di pasaran, buku-buku yang berasal dari penulis yang besar di media sosial kian menjamur.
Hal senada diungkapkan sastrawan Eka Kurniawan. Penulisan buku kini ditargetkan kepada pembaca yang spesifik.
”Secara umum, buku apa pun, tentu baik untuk industri perbukuan. Kita membutuhkan industri buku yang sehat, dan industri yang sehat tentu mengasumsikan mereka menghasilkan produk yang dijual, tanpa mengorbankan kualitas,” ujarnya.
Kekuatan pasar
Meskipun industri penerbitan berkembang, hal tersebut juga memiliki dampak negatif. Banyaknya jumlah judul baru membuat waktu pajang buku-buku di toko semakin berkurang. Asisten Manajer Toko Buku Gramedia Cabang Matraman Dewi Ratnasari mengatakan, dalam satu bulan ada 1.000 hingga 2.000 judul baru yang masuk.
Target penjualan setiap judul berbeda-beda, tergantung jumlah eksemplar yang ada. Ketika buku baru tidak mengenai target penjualan dalam satu bulan, buku tersebut dipindahkan ke rak belakang.
Penulis buku umum yang juga Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali menjelaskan, situasi itu tidak menguntungkan bagi penulis. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk menunjukkan karya kepada para calon pembaca. Padahal, tidak semua penerbit ataupun toko buku mau mempromosikan buku tersebut.
”Perlu kerja sama dan pengertian dari penerbit dan toko buku. Mereka idealnya membaca dan memahami gagasan yang disampaikan buku tersebut. Apabila sesuai dengan selera pasar atau memiliki pesan penting kepada masyarakat, tentu harus dibantu dengan promosi,” ujar Rhenald.
Oleh karena itu, campur tangan penerbit dan toko tetap krusial karena mereka memiliki jangkauan luas di masyarakat. Di samping itu, masyarakat juga perlu semakin menyadari pilihan literasi yang tersedia untuk mereka. (DNE)
Sumber: Kompas, 9 Januari 2015