Indonesia mendukung pengelolaan lebih ketat terkait penggunaan bahan tambang asbes dalam perdagangan dan produksi. Karena itu, dalam pertemuan para pihak terkait Konvensi Rotterdam di Geneva, Swiss, perwakilan Indonesia berada pada posisi bersama negara-negara yang menginginkan bahan beracun berbahaya itu dibatasi penggunaannya.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia diminta mewaspadai dampak kesehatan akibat paparan asbes yang diprediksi muncul sejak lima tahun terakhir.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Bahan Beracun Berbahaya, dan Limbah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rosa Vivien Ratnawati, Jumat (18/5/2018) di Jakarta, mengatakan dalam Konferensi Para Pihak (COP) ke-8 Konvensi Rotterdam, tanggal 24 April – 5 Mei 2017 di Geneva, Swiss, Pemerintah Indonesia mendukung perubahan status asbestos. Itu bersamaan dengan penyelenggaraan Konvensi Basel, Rotterdam, dan Stockholm.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“ Saat pembahasan mengenai chrysotile asbestos dalam COP tersebut Pemerintah Indonesia menyatakan dukungan penuh untuk memasukkan asbes dalam Annex III Konvensi Rotterdam, dengan syarat keputusan disetujui semua negara pihak yang hadir dalam COP,” kata dia.
Pemerintah Indonesia menyatakan dukungan penuh untuk memasukkan asbes dalam Annex III Konvensi Rotterdam, dengan syarat keputusan disetujui semua negara pihak yang hadir dalam COP.
CHATHAM HOUSE THE ROYAL INSTITUTE OF INTERNATIONAL AFFAIRS–Rusia menjadi eksportir material asbes, termasuk ke Indonesia.
Terkait kepentingan nasional, ia mengatakan hal itu sudah dipertimbangkan. Bahkan sebelum berangkat menuju COP, KLHK sebagai national focal point mengajak kementerian sektor untuk membicarakan isu ini dan merumuskan sikap Indonesia.
Namun, proses negosiasi pembahasan untuk memasukkan asbes dalam Annex III Konvensi Rotterdam tidak berjalan lancar. Ada beberapa Negara Pihak yang menolak usulan tersebut. Karena itu, hingga kini posisi chrysotile asbestos dalam Konvensi Rotterdam masih seperti sebelumnya. Jika masuk dalam Annex III Konvensi Rotterdam, sistem pertukaran data/informasi ekspor dan impor material B3 tersebut diberlakukan.
CHATHAM HOUSE THE ROYAL INSTITUTE OF INTERNATIONAL AFFAIRS–Tabel perdagangan asbes
Sementara terkait perubahan kategori chrysotile asbestos di Indonesia, dari kategori “B3 dapat dipergunakan” dalam PP 74/2001 menjadi “B3 terbatas dimanfaatkan”, kata Vivien, tak dapat serta merta dilakukan. Pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan secara matang kondisi di dalam negeri, disamping melakukan kajian mendalam mengenai karakteristik dan kelas bahaya bahan tersebut, serta berkoordinasi lebih lanjut dengan sektor terkait mengenai perubahan kategori bahan ini.
Dalam International Journal of Environmental Research and Public Health, 16 Mei 2018 berjudul “Global Asbestos Disaster”, disebutkan, ada 255.000 kematian global per tahun akibat asbes. Kajian ilmiah itu merekomendasikan untuk menghentikan penggunaan asbes baru dan mengontrol ketat bangunan yang telanjur menggunakan material berbahan asbes.
Saat dihubungi secara terpisah, Yuyun Ismawati Penasihat Senior Balifokus Foundation mengatakan setiap negara, termasuk Indonesia, memiliki kebebasan (kedaulatan/soverignity) untuk memutuskan pelarangan suatu B3 diproduksi, diimpor, dijadikan material manufaktur, dan diperdagangkan. Ini bergantung pada kepentingan dan prioritas masing-masing negara.
Namun, dengan adanya Perjanjian Internasional, setiap negara peserta akan punya justifikasi kuat untuk melarang B3. Alasannya kalau tidak mengadopsi larangan itu, negara bisa jadi tempat sampah atau buangan produk-produk B3 yang sudah dilarang di negara lain.
Panen dampak
Kasus-kasus penyakit terkait asbes atau asbestos related diseases (ARD) baru terlihat setelah terpapar 20-40 tahun dan jarang ada kasus ARD yang muncul dalam jangka waktu pendek. Belajar dari negara lain dan sejarah asbes mulai Berjaya di Indonesia, ia memprediksi 5 tahun terakhir hingga 10-15 tahun mendatang Indonesia pada periode “memanen” penyakit-penyakit terkait asbes.
“Sayangnya karena keterbatasan dan hambatan terkait diagnosa dan vonis penyakit, tidak pernah ada temuan kasus-kasus korban penyakit akibat asbes,” kata dia.
Hingga tahun lalu, terdapat 21 orang terduga ARD diadvokasi Ina-BAN (Balifokus Foundation anggota Ina-BAN). Karyawan dan mantan karyawan industry asbes yang bekerja lebih dari 15 tahun itu dirontgen dan dianalisa hasilnya di Seoul. Terbukti ada gejala awal asbestosis.
Permintaan opini kedua dokter dari Korea ini dilakukan karena pembuktian atau kesimpulan medis terkait ARD tergantung pada fasilitas laboratorium, alat rontgen dengan kekuatan pencahayaan tertentu dan keterampilan dokter menginterpretasikan hasil rontgen.
Ia berharap pemerintah Indonesia mewaspadai “panen” penyakit ARD ini karena bisa berdampak pada pembengkakan biaya Jaminan Kesehatan Nasional dalam BPJS. “Semoga Pemerintah Indonesia bisa dan bersedia memulai menyusun strategi dan kebijakan yang berpihak pada rakyat, terutama yang jadi korban industri dan pembangunan (bermaterial asbes),” ungkapnya.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 19 Mei 2018