Meski ekonomi Indonesia terus tumbuh dan menguat, banyak tantangan global yang harus diwaspadai. Tantangan itu hanya bisa dijawab jika anak bangsa mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara mandiri, dan kondisi itu membutuhkan ilmuwan muda.
“Indonesia akan maju jika ditopang peneliti-peneliti muda,” kata Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Sartono di sela-sela acara Malam Penganugerahan Pameran Sains Indonesia (Indonesia Science Expo) 2017 di Jakarta, Rabu (25/10) malam.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI–Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memberikan penganugerahan pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja dan National Young Inventors Award dalam ajang Indonesia Science Expo 2017 di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (25/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk mendorong proses regenerasi peneliti dan memupuk lahirnya peneliti muda, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) rutin menggelar Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) dan National Young Inventors Award (NYIA). Tahun ini, LKIR memasuki tahun penyelenggaraan ke-49 dan NYIA tahun ke-10.
Dari kedua lomba tersebut, ada lebih dari 4.000 penelitian siswa dari berbagai jenjang pendidikan yang diajukan. Pesertanya pun tersebar dari seluruh wilayah Indonesia.
“Banyaknya penelitian yang masuk harusnya mampu menumbuhkan optimisme bahwa Indonesia bisa maju dan berdaya saing,” kata Pelaksana Tugas Kepala LIPI Bambang Subiyanto.
Kebutuhan untuk terus menumbuhkan minat meneliti itu makin penting mengingat kurang diminatinya profesi sebagai peneliti. Profesi peneliti sering dianggap sulit, kurang menjanjikan, dan bergaji rendah.
Di sisi lain, regenerasi peneliti mutlak diperlukan. Moratorium pengangkatan pegawai negeri, termasuk peneliti, membuat hampir semua lembaga penelitian dan pengembangan milik pemerintah didominasi peneliti dan staf pendukung yang sebentar lagi memasuki masa pensiun.
Kondisi itu semakin mengkhawatirkan di tengah kecilnya jumlah peneliti di Indonesia. Saat ini, baru ada 80 peneliti per 1 juta penduduk. Padahal, Rencana Induk Riset Nasional menargetkan ada 8.000 peneliti per 1 juta penduduk atau 100 kali lipat pada tahun 2045.
“Jumlah peneliti Indonesia pada 2045 itu mengacu pada jumlah peneliti di Korea Selatan saat ini,” kata Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi LIPI Trina Fizzanty.
Mengejar kemajuan
Dengan jumlah peneliti sebesar itu, Indonesia diharapkan mampu mengejar kemajuan seperti yang dialami negara-negara maju saat ini. Korea Selatan banyak dijadikan acuan negara-negara lain karena negara itu mampu mengembangkan ekonominya berbasis riset dan inovasi. Mereka juga memiliki jumlah periset dan dana penelitian yang besar.
Meski target jumlah peneliti Indonesia pada 2045 dinilai sejumlah negara sebagai target yang ambisius, LIPI tetap akan mendorong agar target itu terpenuhi. Selain mendorong munculnya peneliti dalam negeri, Bambang juga berharap mahasiswa, peneliti, dosen, atau warga Indonesia di luar negeri mau kembali ke Indonesia untuk mengembangkan riset dan inovasi di Indonesia.
“Langkah ini juga sudah dilakukan Tiongkok sejak beberapa tahun lalu,” katanya.
Selain itu, optimisme lahirnya peneliti-peneliti muda Indonesia di Tanah Air juga muncul dari tersebarnya pemenang LKIR dan NYIA serta berbagai lomba penelitian yang diselenggarakan LIPI ataupun lembaga lain.
Pemenang LKIR dan NYIA kali ini berasal dari beberapa sekolah, baik di Jawa maupun luar Jawa. Asal pemenang pun tak melulu dari ibu kota provinsi atau kota besar saja, tetapi juga dari kabupaten-kabupaten kecil. Kondisi itu menunjukkan semangat dan kemampuan meneliti mulai tersebar.
Untuk menjaga peneliti muda itu tetap bersemangat meneliti, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir dalam pembukaan Pameran Sains Indonesia 2017, Senin (23/10), sudah menjanjikan beasiswa kepada pemenang untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi hingga tuntas.(MZW)
Sumber: Kompas, 26 Oktober 2017