Didirikan dengan tujuan memberi masukan kebijakan bagi pemerin tah, Centre for Strategic and International Studies malah tak sekadar jadi pembisik. Di usianya yang pada Kamis (1/9) ini memasuki 45 tahun, lembaga itu sudah jadi rumah ”diaspora” bagi para pembuat kebijakan.
Di pengujung tahun 1970-an, politisi Partai Golkar, Akbar Tandjung (71), menjadi “tamu” tetap CSIS. Pada tahun 1978-1981, Akbar menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang berkantor di sebelah gedung CSIS di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
”Kadang-kadang kalau ada isu menarik dan saya butuh orang untuk diajak bertukar pikiran, saya mampir saja ke sebelah (CSIS). Diskusi selalu cair, santai, tarbuka, ” ujar Akbar, akhir pekan lalu, di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak jarang, sambil diskusi tersedia kudapan ringan. Biasanya, Akbar diterima para pendiri CSIS, Harry Tjan Silalahi dan Jusuf Wanandi, untuk berdiskusi bersama mengenai bermacam-macam isu. Namun,jika mereka sedang tak ada di kantor, selalu ada peneliti yang siap berdiskusi.
Akbar terkenang, ”tetangga” kantornya itu hampir setiap hari ramai dikunjungi tamu. Saat itu, Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani, dua petinggi militer, orang dekat Presiden Soeharto, sering terlihat lalu lalang di kantor CSIS. Mereka punya ruang kerja khusus di sana.
Ali Moertopo terbilang senang berdiskusi dengan peneliti-peneliti CSIS. Dalam buku Rahasia-rahasia Ali Moertopo (2014) terungkap, saking gemarnya Ali berdiskusi hingga larut malam, membuat banyak peneliti CSIS bersembunyi di perpustakaan kareha menghindari ”perdebatan”dengan Ali. Daoed Joesoef juga sampai mengunci ruang kerjanya dan mematikan lampu agar tidak ”diganggU” Ali.
”Faktor utama yang membuat CSIS dipercaya sejak dulu ialah pemikiran yang bebas dari pretensi dan bias politik. Mereka mengkaji demi pengambilan kebijakan yang akurat dan berguna untuk rakyat,” kata Akbar.
Semasa berdinas sebagai tentara, Presiden, ke-6 RI Susilo Bambang Ypdhoyono juga pengguna perpustakaan CSIS. Perpustakaan yang terbilang cukup lengkap itu sengaja dibuka untuk public. Ruang-ruang diskusi juga tersedia untuk memunculkan tukar-menukar wacana di antara tamu CSIS ataupun antara tamu dan peneliti CSIS.
Peneliti CSIS yang bergabung sejak tahun 1976, J Kristiadi, menuturkan, dalam salah satu acara, Yudhoyono bercerita bahwa ia kerap menyambangi CSIS sejak masih berpangkat letnan dua. ”Ia berbisik, Mas Kris, ini CSIS harus dirawat. Sejak letnan dua hingga jadi jenderal, ia selalu mencari bahan (kajian) dari sini,” kata J Kristiadi.
Peneliti-peneliti CSIS juga tak sedikit yang sempat berkiprah di lembaga pengambilan kebijakan publik. Daoed Joesoef pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978-1982. Mari Elka Pangestu, ekonom CSIS, menjadi Menteri Perdagangan serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia pada era Presiden Yudhoyono. Mantan Direktur Eksekutif CSIS Rizal Sukma kini menjadi Duta Besar RI untuk Inggris.
”Yang menjabat agar tidak dikira didikte, mereka dilepas dari CSIS. Setelah tidak menjabat lagi, ya boleh kembali ke sini,” ujar pendiri CSIS, Harry Tjan Silalahi.
Harry Tjan juga menuturkan, CSIS tidak segan mencarikan dana untuk memberi beasiswa doktoral ke luar negeri. Dia memperkirakan sudah sekitar 100 peneliti CSIS yang diberi beasiswa untuk meraih gelar doktoral. Sebagian sudah. tak lagi bekerja di CSIS.
”Mau kerja di mana, monggo (silakan). Sebab, pada dasarnya kita itu memberi kepintaran kepada orang yang bisa bermanfaat bagi masyarakat dan berlaku jujur serta berintegritas tinggi,” kata Harry Tjan.
Pasang surut
CSIS didlrikan pada 1 September 1971 oleh Jusuf Wanandi, Harry Tjan, Daoed Joes’oef, dan beberapa cendekiawan Indonesia. Mereka juga mengganadeng Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani.
Menurut Harry Tjan, gagasan mendirikan CSIS tidak terlepas dari keinginan untuk memberi sumbangsih pemikiran bagi pemerintah. CSIS dengan ”centre” dalam ejaan Inggris itu, katanya, tak berkaitan dengan CSIS dengan ”center” dalam ejaan Inggris Amerika Serikat yang sudah lebih dulu didirikan di Georgetown University, Amerika Serikat, pada awal 1960-an.
Hingga kini, CSIS masih dipandang sebagai lembaga pengkajian yang berkualitas, 2015 Global Go To Think Tank Index Report menempatkan CSIS sebagai lembaga think tank peringkat pertama di Asia Tenggara. Di dunia, CSIS berada di peringkat ke-70. Buku Benny Moerdani yang Belum Terungkap (2015) menuturkan Jusuf Wanandi rutin mengirim hasil analisis perkembangan situasi politik ke ruang kerja Soeharto melalui Ali dan Soedjono.
Jusuf Wanandi dalam Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998(2012) menuturkan, ia pernah menulis memo soal perlunya Soeharto sedikit menarik diri dan mulai memberi kesempatan para menterinya menjalankan urusan teknis kenegaraan. Dalam memonya, ia meminta Soeharto fokus memikirkan Visi Indonesia ke depan. ”Saya tidak menyadari dampak dari nasihat saya saat itu. Namun, sejak September 1987, saya mengirim memo, Soeharto tidak pernah lagi membalas memo-memo kami,” tulis Jusuf.
Menjelang pengujung Orde Baru, beberapa tokoh CSIS sempat dicurigai hendak menggulingkan Presiden Soeharto. Muncul pula tekanan agar CSIS bubar. Pada awal tahun 1998 beberapa tokoh CSIS diperiksa aparat keamanan. J Kristiadi dua kali menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya. Ia dan beberapa tokoh CSIS dikait-kaitkan dengan insiden bom meledak di Tanah Tinggi, Tanah Abang, Jakarta. ”Berminggu-minggu saya tidak enak makan. Dalam bayangan saya bakal ditahan dan istri saya datang membawakan rantang makanan,”ujarnya.
Harry Tjan Silalahi mengatakan,kondisi CSIS itu naik turun. Ia meyakini, Selama anak-anak muda aktif mandatangi CSIS dan ikut diskusi, ia masih punya harapan lembaga pengkajian berorientasi kebijakan itu terus bisa berkontribusi bagi pembangunan Indonesia?
Oleh ANTONY LEE AGNES THEODORA
Sumber: Kompas, 1 September 2016
———————–
45 Tahun CSIS, Komitmen Tanpa Henti untuk Indonesia
(advertorial di Kompas, 1 September 2016)
Tahun 2016 menandai perjalanan panjang CSIS selama 45 tahun. Pendirian CSIS pada 1 September 1971 diawali diskusi-diskusi dan aktivitas dua kelompok pemuda Indonesia pada tahun 1960-an. Kelompok pertama adalah mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang melanjutkan studi di beberapa negara Eropa Barat. Sementara itu, kelompok kedua adalah sekelompok aktivis mahasiswa di Indonesia.
Kedua kelompok ini meyakini bahwa saat itu isu strategis dan isu politik intemasional tidak mendapat perhatian di Indonesia. Mereka sepakat untuk mendirikan lembaga kajian (think tank) yang mendedikasikan diri mengkaji isu-isu strategis dan hubungan internasional.
Awal tahun 1970-an adalah masa monumental bagi Indonesia. Pemerintahan Soeharto yang baru terbentuk ketika itu memutuskan mengalihkan perhatian dari negara-negara yang berada di bawah pengaruh komunisme dan memulihkan hubungan dengan negara-negara non komunis di Asia, Eropa, Amerika, dan Australia. Prioritas kebijakan didefinisikan ulang dan menekankan pada pembangunan ekonomi dan menjadi lebih terbuka terhadap kerja sama investasi dan bantuan pembangunan dari negara-negara sahabat.
Dalam kaitan ini, CSIS, sejak pertengahan 1970-an mendorong kajian-kajian ekonomi yang relevan. Sejak itu, hingga hari ini, CSIS juga aktif berkolaborasi dengan lembaga-lembaga serupa dari berbagai negara di Asia Pasifik untuk mendorong kerja sama ekonomi yang terbuka terutama di kawasan Asia Timur. ‘
Dalam perkembangannya, CSIS memahami bahwa isu-isu dalam negeri akan memengaruhi pandangan mengenai isu di luar negeri. Sebaliknya, isu-isu di luar negeri sangat mungkin mempengaruhi isu-isu politik dan ekonomi di dalam negeri. Dengan latar belakang seperti ini, selama 45 tahun, CSIS menjalani peran sebagai lembaga kajian yang berusaha memahami dan memberikan konteks bagi para pengambil kebijakan di Indonesia.
Lingkup domestik dan internasional di mana CSIS menjalankan perannya sebagai lembaga kajian berorientasi kebijakan (policy-oriented research institute) senantiasa berubah. Indonesia telah menjalani perubahan dramatis, bertransformasi secara cepat menjadi negara yang jauh lebih demokratis. Kekuasaan yang semulai terpusat telah didelegasikan dari pemerintah pusat ke lebih dari 500 pemerintahan daerah di seluruh Indonesia. Sebagai konsekuensinya, jarak antara pemerintah (the ruler) dan yang diperintah (masyarakat ruled) menjadi semakin pendek sehingga masyarakat menjadi lebih kritis terhadap berbagai kebijakan dan pelayanan publik. Oleh karena itu, Indonesia semakin membutuhkan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policies) untuk mendistribusikan kemakmuran.
Dalam kaitan inilah peran think tank semakin diperlukan. Seiring dengan proses demokratisasi yang dijalani Indonesia sejak tahuh 1998, berbagai lembaga kajian didirikan dan meramaikan pasar pemikiran (market of ideas) bagi perumusan kebijakan di Indonesia. Kompetisi antar lembaga kajian dalam merumuskan pemikiran terbaik adalah hal yang sehat dalam demokrasi. Di sisi lain, bersama berbagai Iembaga-lembaga lain ini, CSIS berbagi dan berkolaborasi dalam banyak bidang kajian. Kompetisi dan kerja sama adalah dua sisi dari mata uang yang sama.
Ragam aktivitas
Peran lembaga-lembaga kajian di Indonesia semakin diakui dan semakin diperlukan. Peran mereka, termasuk CSIS, terutama merumuskan rekomendasi kebijakan kepada para pengambil keputusan. Rekomendasi kebijakan menjadi penting karena proses perumusannya berfungsi sebagai
“clearing house” untuk meluruskan opini yang beragam dan untuk menghilangkam hambatan komunikasi antar-aktor.
Patut dicatat bahwa karena kontribusI dan partisipasi aktif dalam perumusan kebijakan Indonesia, CSIS menjadi satu-satunya think tank Indonesia yang beberapa tahun terakhir masuk dalam 50 besar ranking think tank sedunia dalam berbagai kategori yang disusun University of Pennsylvania dalam Global Go Think Thank Index.
Salah satunya untuk kategori Asia Tenggara dan Pasifik masuk dalam 3 besar, Top Defense dan National Security, Top Foreign Policy dan International Affairs.
CSIS Juga memiliki dua jurnal ilmiah The Indonesian Quarterly adalah jurnal berbahasa Inggris yang terbit rutin sejak 1974. Analisa CSIS adalah jurnal berbahasa Indonesia yang terbit sejak 1971.
Konsultasi dengan para pemangku kepentingan juga merupakan kegiatan rutin yang dilakukan CSIS bersama lembaga eksekutif dan legislatif yang relevan, baik di tingkat pusat maupun daerah, partai politik, universitas, organisasi masyarakat sipil, dan media.
Semua kegiatan tersebut dijiwai landasan filosofis pendirian CSIS,“Nalar Ajar Terusan Budi” yang meruipakan kepercayaan di dalam organisasi CSIS bahwa “berpikir dan berbagi pengetahuan adalah konsekuensi natural dari pikiran yang tercerahkan.” Dengan landasan filosofi ini, generasi penerus CSIS akan terus memegang erat komitmen dan menjalankan perannya sebagai lembaga yang melakukan kajian, advokasi kebijakan, dan pendidikan publik untuk bertahun-tahun yang akan datang.