Gerhana Bulan Total; Bulan Memerah di Ufuk Timur

- Editor

Selasa, 7 April 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gerhana Bulan Total (GBT) akan kembali terjadi di seluruh Indonesia, Sabtu (4/4) malam. Jika tidak mendung, apalagi hujan, semua wilayah Indonesia akan menyaksikan berubahnya warna Bulan dari kuning cerah seperti biasanya menjadi merah gelap.

Wilayah terbaik untuk mengamati gerhana ini adalah di Indonesia bagian timur karena bisa menyaksikan keseluruhan proses gerhana yang berlangsung selama hampir enam jam. Sementara di Indonesia bagian barat, saat Bulan terbit, gerhana sudah terjadi.

Gerhana Bulan terjadi karena cahaya sinar Matahari yang menuju Bulan terhalang Bumi. Walau demikian, sebagian sinar Matahari masih bisa lolos hingga mampu menjangkau permukaan Bulan. Namun, karena sinar yang mencapai permukaan Bulan adalah cahaya merah, Bulan menjadi merah gelap.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tingkat kegelapan warna merah itu sangat bergantung pada jarak Bumi-Bulan dan kondisi atmosfer Bumi. Makin dekat jarak Bumi-Bulan dan makin kotor atmosfer kita, warna merah yang terjadi akan makin gelap. Posisi Bulan saat gerhana yang masih di dekat ufuk juga akan membuatnya makin gelap akibat efek pembiasan cahaya Bulan oleh atmosfer Bumi.

6d4b86d27f3b4ef5a4d7e06d0345f77aGerhana Bulan kali ini merupakan gerhana ketiga dari empat GBT yang terjadi secara berurutan atau disebut gerhana Bulan tetrad. Keempat rangkaian GBT itu terjadi pada 15 April 2014, 8 Oktober 2014, 4 April 2015, dan 28 September 2015.

Karena gerhana terjadi saat Bulan baru terbit, posisi Bulan masih cukup rendah. Untuk itu, bagi Anda yang ingin menyaksikan perubahan warna Bulan itu, carilah lokasi pengamatan yang memiliki medan pandang di arah timur luas dan tak terhalang pohon atau gedung. (MZW)

——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 April 2015, di halaman 14 dengan judul “Gerhana Bulan Total”.
—————–
Pengamatan Gerhana Bulan Total Digelar di Sejumlah Kota

Menyambut gerhana bulan total, Sabtu (4/4) malam, sejumlah lembaga pendidikan dan kelompok astronom amatir mengadakan pengamatan bersama gerhana. Kegiatan yang diselenggarakan di sejumlah kota itu terbuka untuk publik dan sebagian besar di antaranya bisa diakses masyarakat secara percuma.

65e3e8225e104e8081a1a8671e6782fdSalah satu lokasi pengamatan gerhana tersebut di Jakarta adalah di Planetarium dan Observatorium Jakarta yang terletak di Kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pengamatan yang diselenggarakan oleh pengelola planetarium bersama Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ) itu akan berlangsung mulai sekitar pukul 17.00.

“Disediakan enam teleskop bagi masyarakat umum untuk mengamati gerhana bulan,” kata salah satu pengurus HAAJ, Muhammad Rayhan.

Di wilayah Indonesia barat, rangkaian peristiwa gerhana bulan sudah terjadi sejak pukul 16.00. Namun, tahap awal gerhana itu tidak bisa dilihat karena Bulan belum terbit. Alhasil, saat Bulan terbit di wilayah Indonesia barat, Bulan sudah mengalami gerhana. Seluruh tahapan gerhana hanya bisa diamati di wilayah timur Indonesia.

Bagi masyarakat Bandung, Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama Himpunan Mahasiswa Astronomi ITB akan menggelar pengamatan bersama gerhana di Alun-alun Kota Bandung. Pengamatan juga bisa dilakukan di Imah Noong yang terletak di Kampung Eduwisata Areng, Lembang, Bandung Utara, serta di Puspa Iptek Sundial di Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Bandung Barat.

Di Yogyakarta, pengamatan akan dilakukan di Alun-alun Utara Yogyakarta oleh Jogja Astronomy Club (JAC) Eclipse Tracker Team. Sementara di Alun-alun Selatan Yogyakarta, pengamatan akan diselenggarakan oleh kelompok Kafe Astronomi.

Menurut astronom amatir senior di JAC, Muh Ma’rufin Sudibyo, selain pengamatan untuk publik, sejumlah astronom amatir juga akan melakukan pengamatan secara terpisah yang tujuannya untuk penelitian.

Ma’rufin akan memfokuskan penelitiannya untuk membuktikan terjadi atau tidaknya gerhana bulan total (GBT) mengingat waktu total GBT kali ini sangat singkat, yaitu 4-5 menit. Selain itu, ia juga ingin membuktikan keberadaan semburat ozon saat terjadi perubahan warna Bulan sebelum menuju GBT.

24239b6f9b6b4079adba70ed40970d91Berikut adalah sejumlah lokasi pengamatan gerhana bulan yang dihimpun dari duniaastronomi.com: Planetarium dan Observatorium Jakarta, Kompleks Taman Ismail Marzuki, pukul 17.30-22.00; Pusat Peragaan Iptek, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, pukul 17.00-20.00; Alun-alun Kota Bandung, pukul 18.00-20.00; Puspa Iptek Sundial, Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Bandung Barat, pukul 17.00-21.00, harga tiket Rp 15.000; Imah Noong, Kampung Eduwisata Areng, Lembang, Bandung Barat; Alun-alun Utara Kota Yogyakarta, pukul 18.00-21.00; Alun-alun Selatan Kota Yogyakarta, pukul 17.00-21.00; Kenjeran Park, Surabaya, pukul 17.00-22.00; Gedung G Lantai 4, Institut Teknologi 10 Nopember, Surabaya, pukul 16.00-selesai; Planetarium Jagad Raya, Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, pukul 17.30-selesai.

M Zaid Wahyudi

Sumber: Kompas Siang | 4 April 2015
————————
Pengamatan Terhalang Mendung

ddc6666e44414f8f9f51061968cf39eaGerhana Bulan total yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia, Sabtu (4/4), tidak bisa diamati secara penuh akibat mendung. Bahkan, di sejumlah daerah, masyarakat tidak dapat menyaksikan gerhana sama sekali akibat hujan.

Sekitar 500 pengunjung Planetarium dan Observatorium Jakarta ataupu di Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, baru bisa menyaksikan gerhana sekitar pukul 19.30. Itu berarti fase gerhana total yang terjadi pada pukul 18.58-19.02 telah berlalu.

Saat itu, Bulan terlihat seperti sabit yang makin lama sabitnya makin besar sehingga terlihat bulat penuh pada akhir gerhana. Warna kuning sabit Bulan pun makin lama kian cerah.

“Gerhana Bulan sebagian yang terlihat pada paruh akhir gerhana teramati karena mendung makin tipis dan sabit Bulan kian besar,” kata mantan Ketua Umum Himpunan Astronomi Amatir Jakarta Muhammad Rayhan.

Kondisi serupa juga terjadi di Yogyakarta. Pengamatan di Yogyakarta dipusatkan di Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan yang dilakukan sejumlah kelompok pegiat astronomi. Meski fase gerhana total tidak bisa diamati, masyarakat masih dapat melihat fase Bulan sabit sebelum dan sesudah gerhana total walau hanya beberapa menit.

Namun, kondisi itu tidak merata di seluruh wilayah di Yogyakarta. Sejumlah anak di Perumahan Minomartani yang menantikan gerhana sejak petang kecewa karena Bulan tak terlihat sama sekali hingga menjelang akhir masa gerhana.

Saat awan tebal menghilang sekitar pukul 20.30, masyarakat sudah menyaksikan Bulan bulat penuh seperti saat Bulan purnama seperti biasa. Meski saat itu sebenarnya masih tahap akhir gerhana Bulan umbra (Bulan masih ada di daerah bayang-bayang inti Bumi), perbedaan warna yang terjadi sulit dibedakan.

Kuning kemerahan
Fase total gerhana Bulan kali ini dilaporkan terlihat di Sofifi, Maluku Utara, meski sedikit awan menutupi permukaan Bulan. “Bulan tampak berwarna kuning kemerahan,” kata komunikator astronomi dan pengelola situs astronomi populer langitselatan.com, Avivah Yamani.

Sementara itu, masyarakat di Bandung tidak bisa menyaksikan gerhana Bulan. Sejak siang hingga fase gerhana umbra berakhir, gerimis dan hujan terus mendera. “Hujan hampir merata di seluruh wilayah di Jawa Barat,” kata prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Bandung, Rohimat.

Awan tebal yang menutupi langit membuat pengamatan yang dilakukan pengelola Observatorium Bosscha ITB bersama Himpunan Mahasiswa Astronomi ITB di Alun-alun Kota Bandung tak membuahkan hasil. Padahal, delapan teleskop yang bisa digunakan warga untuk pengamatan disiapkan. “Kami tak bisa berbuat apa-apa karena langit berawan,” kata peneliti Observatorium Bosscha, Evan Irawan Akbar.

Awan menjadi kendala terbesar pengamatan astronomi. “Teleskop tak bisa menembus awan. Artinya, awan yang menghalangi Bulan amat tebal,” kata karyawan Subdivisi Program Pendidikan PP Iptek TMII Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Sri Wahyu Cahya Ningsih.

Teleskop membantu memperjelas perbedaan warna Bulan saat gerhana yang sulit dibedakan jika diamati dengan mata telanjang. Meski demikian, tingkat kecerahan citra Bulan yang terlihat di teleskop dipengaruhi tingkat polusi atau mutu udara di sekitar.

Jika tak terhalang awan, seluruh tahapan gerhana kali ini hanya bisa diamati di Indonesia bagian timur. Sementara di Indonesia barat, gerhana hanya bisa diamati menjelang fase gerhana total karena tahap awal gerhana terjadi saat Bulan belum terbit.

Fase gerhana sebenarnya masih berlangsung hingga pukul 22.00, yakni gerhana Bulan penumbra (Bulan ada di bayang-bayang luar Bumi). Namun, perubahan warna yang terjadi lebih sulit diamati.

Meski demikian, tak semua masyarakat menyadari terjadi gerhana Bulan. Meski fase gerhana total terlihat di Singosari, Malang, Jawa Timur, tak banyak warga yang menyaksikan.

Hal serupa terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Walau informasi terjadi gerhana tersebar di media, masyarakat beraktivitas seperti biasa. Suasana malam Minggu dan libur panjang membuat sedikit warga tahu kemarin malam terjadi gerhana Bulan.(HRS/TOP/NIT/WER/ODY/ETA/B05/B11/MZW)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 April 2015, di halaman 9 dengan judul “Pengamatan Terhalang Mendung”.
————–
Menanti Sang Bulan yang Memerah

Puluhan pasang mata memandang ke arah langit, berharap bisa menyaksikan gerhana Bulan total, Sabtu (4/4) malam, di Pusat Peragaan Iptek Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Namun, awan kelabu membuat Bulan yang memerah tak tampak.

Pada fase awal gerhana dimulai, saat Bulan memasuki bagian luar bayang-bayang Bumi dan memasuki bayang-bayang inti Bumi, Bulan belum tampak meski hujan reda. “Gerhana Bulan total terjadi, tetapi awan mendung menghalangi pengamatan,” ujar Muhammad Rayhan, mantan Ketua Umum Himpunan Astronomi Amatir Jakarta.

Namun, pengunjung bersemangat menyaksikan gerhana Bulan parsial pukul 19.24. “Gerhana Bulan parsial terlihat karena awan mendung menipis dan Bulan membesar,” kata Rayhan.

Sambil menunggu hujan reda, pengelola PP Iptek memutar film dokumenter berjudul Moon. Film itu mengungkap gejala sosial yang pernah muncul di dunia terkait gerhana Bulan.

Di Duisburg, Jerman, gerhana Bulan dilihat sebagai momentum puncak dari banyak kejahatan. Di Amerika dan India, gerhana Bulan dipahami sebagai pertanda bencana alam. Gerhana Bulan menjadi pertanda sang naga, representasi bentuk kekuatan, menelan Bulan pertanda buruk bagi kehidupan.

Terlepas dari beragam kepercayaan terkait gerhana Bulan, fenomena alam tersebut menyedot perhatian banyak orang di Tanah Air malam itu. Sayangnya, saat bayang inti Bumi (umbra) menelan Bulan dalam kegelapan, hujan terus mengguyur.

“Aduh, hujan lagi, gerhana Bulan total tak mungkin terlihat,” keluh Iqbal (26), pengunjung di PP Iptek, Jakarta. Sekitar pukul 19.30, Bulan kuning kemerahan mulai tampak sebagian, tanda gerhana Bulan total telah berlalu, tinggal gerhana Bulan parsial.

Para pengunjung pun antre untuk melihat Bulan melalui teleskop. Sebagian pengunjung mengabadikan diri dengan latar Bulan sabit kuning kemerahan. “Takjub, meski hanya lihat sebagian,” ujar Sukma (46), yang datang bersama tiga anaknya.

Antusiasme warga melihat gerhana Bulan juga tampak di Planetarium Jakarta. Gedung itu disesaki lebih dari 500 orang, hampir dua kali dari jumlah pengunjung pada hari biasa. Di tempat itu, enam teleskop telah disediakan.

Anto (35), warga Bekasi, mengajak keluarganya menyaksikan gerhana Bulan meski hujan mengguyur Jakarta sejak siang dan harus menanti dua jam lebih. “Anak-anak bersemangat, ingin melihat gerhana Bulan yang jarang terjadi,” ujarnya.(B11/B05)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 April 2015, di halaman 14 dengan judul “Menanti Sang Bulan yang Memerah”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB