Sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah rawan bencana, terutama gempa bumi dan tsunami. Berbagai studi dan penelitian telah membuktikan ancaman bencana tersebut. Untuk itu, kesadaran dan kewaspadaan masyarakat akan bahaya bencana diharapkan bisa semakin ditingkatkan.
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto menyampaikan, Indonesia merupakan pertemuan dari empat lempeng tektonik, yaitu Lempeng Benua Asia, Lempeng Benua Australia, Lempeng Samudera Hindia, dan Lempeng Samudera Pasifik. Geseran yang terjadi di antara lempeng ini bisa memicu terjadinya gempa. Selain itu, Indonesia juga berada di sabuk vulkanik atau cincin api yang memanjang dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi.
KOMPAS/EDDY HASBY–Kota Palu, ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah dibelah oleh sesar Palu Koro, Rabu(8/8/2012). Tak heran bila kota ini sering terjadi gempa dan juga pernah dilanda tsunami.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Fakta ini seharusnya bisa meyakinkan masyarakat untuk selalu siap menghadapi bencana yang bisa terjadi kapan pun,” ujarnya dalam kegiatan arahan media bertajuk “Analisis LIPI untuk Gempa dan Tsunami di Indonesia” di Kantor Pusat LIPI di Jakarta, Selasa (2/10/2018).
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto.
Mitigasi bencana menjadi kunci kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Sayangnya, tambah Eko, mitigasi bencana di Indonesia sangat rendah. Ditengah anggaran yang minim, berbagai alternatif penyuluhan mitigasi bisa dilakukan.
Misalnya, kerja sama antara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ataupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dengan lembaga pendidikan. Slogan dan ajakan mitigasi bencana bisa ditampilkan di wilayah sekolah agar siswa lebih terpapar ajakan tersebut. Upaya penyuluhan mitigasi bencana dinilai akan lebih efektif jika dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran.
“Kisruh soal anggaran ini sebenarnya bisa terjadi karena belum dimanfaatkan secara efisien. Pelu pemetaan secara konkret apa yang harus dilakukan untuk mitigasi bencana,” katanya.
Peneliti gempa LIPI Mudrik Rahmawan Daryono menambahkan, gempa bisa terjadi kapan pun dan hingga saat ini belum ada teknologi yang bisa tepat memprediksi secara tepat mengenai kapan, di mana, serta seberapa besar kuat gempa yang akan terjadi. Namun, melihat peta potensi gempa di Indonesia sudah cukup untuk menyadarkan masyarakat akan ancaman bencana yang bisa terjadi.
Gempa dan tsunami Sulawesi Tengah
Terkait bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018) lalu, peneliti geologi kegempaan LIPI Danny Hilman Natawidaja menyampaikan, Palu terletak di atas sesar atau patahan Palu-Koro. Patahan ini membelah Pulau Sulawesi dari Teluk Palu ke Teluk Bone. Pergerakannya pun sangat aktif apabila dibandingkan dengan pergeseran patahan Sumatera. Patahan Palu-Koro memiliki pergeseran rata-rata 41-45 milimeter per tahun, sementara Patahan Sumatera rata-rata 10 milimeter per tahun.
“Jadi mitigasi bencana harus diprioritaskan di wilayah yang dilalui jalur patahan. Perlu diperhatikan, bangunan penting, seperti rumah sakit, tempat ibadah, kantor pemerintahan, dan sekolah jangan dibangun di sekitar patahan,” kata Danny.
Peneliti bidang geofisika kelautan dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Nugroho Dwi Hananto menyatakan, tsunami yang terjadi pada gempa Palu-Donggala bisa dipacu oleh deformasi atau perubahan bentuk vertikal di dasar laut di Patahan Palu-Koro. Kawasan Teluk Palu hingga Donggala juga berbentuk mirip seperti kanal tertutup dengan dasar laut yang curam. Akibatnya, jika ada massa air laut datang, gelombang lebih tinggi dan kecepatan semakin besar.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Staf Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal) berdiri di depan peta elektronik di ruang kontrol Indonesia Marine Geospatial Information Centre (IMaGIC) dan Indonesia Marine Spatial Data Infrastructure (MSDI) Pushidrosal Ancol, Jakarta Utara, Senin (1/10/2018). IMaGIC dan MSDI merupakan bagian dari komponen nasional berupa data informasi hidro-oseanografi berupa peta laut yang termutahir yang dibutuhkan bagi jalur pelayaran. Pushidrosal memetakan ulang bentang alam permukaan dasar laut pascagempa yang juga mengubah peta jalur pelayaran.
Ia menyampaikan, sumber gempa di sepanjang Patahan Palu-Koro hanya sepertiga berada di darat, sementara dua pertiga berada di laut. Namun, data terkait fakta ini masih minim. Data terkait morfologi bawah laut ini sebenarnya secara lengkap dimiliki oleh perusahaan minyak, tetapi akses untuk mendapatkannya cukup rumit dan lama.
“Gempa dan tsunami Palu menjadi pelajaran penting perlunya data geo-sains yang lebih lengkap untuk mengkaji potensi terjadinya gempa yang sumbernya berada di bawah laut. Saat ini, penelitian baru dilakukan di Barat Pulau Sumatera,” katanya.
Menurut rencana, pemetaan dan survei bawah laut di Sulawesi akan dilakukan melalui kegiatan Operasi Bakti Teknologi Sulawesi Tengah. Kegiatan ini akan berlangsung selama 20 hari mulai Selasa malam. Pemetaan dan survei bawah laut ini bertujuan untuk mengumpulkan data pascabencana yang berguna untuk mengurangi risiko bencana gempa dan tsunami di masa depan.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 3 Oktober 2018