Gempa Kobe pada tahun 1995 bukan yang terkuat dalam sejarah Jepang. Namun, gempa besar pertama yang melanda metropolitan di Jepang itu jadi titik balik dalam merespons gempa bumi. Selain merevisi standar konstruksi bangunan, mereka juga memperbaiki manajemen tanggap darurat dan pendidikan bencana.
Sabtu (17/1) dini hari, hujan yang mengguyur semalaman baru mereda. Taman Higashi Yuenchi di Kobe, Prefektur Hyogo, Jepang, dipenuhi warga. Tepat pukul 05.46, bersamaan detik terjadinya gempa dahsyat yang menghancurkan Kobe, 1.000 batang bambu yang telah diberi sumbu satu per satu dinyalakan.
Orang tua hingga anak balita turut dalam peringatan gempa yang dikenal sebagai Hanshin- Awaji Daishinsai. Tahun ini, peringatan menjadi istimewa karena tepat dua dekade. Lebih dari 10.000 warga menghadiri. Bahkan, siang harinya, Kaisar Hirohito datang ke Kobe, meletakkan karangan bunga dan berdoa bagi para korban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam peringatan kali ini, anak-anak muda berusia 20 tahun lebih banyak dilibatkan. Mereka juga diminta berpidato dalam upacara peringatan. ”Sangat sulit mempertahankan ingatan pada bencana. Orang mudah lupa. Karena itu, tiap tahun, kami membuat simulasi gempa, khususnya melibatkan anak-anak,” kata Tomoyoshi Hirose, Kepala Manajemen Krisis Kota Kobe.
[media-credit id=1 align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]
Dalam peringatan kali ini, Kota Kobe menggelar simulasi gempa yang diikuti 350.000 orang secara serentak. ”Apa yang kami pelajari dari gempa yang lalu adalah sebagian besar warga selamat karena menolong dirinya sendiri. Maka, yang kami ajarkan sekarang adalah pertama-tama warga harus tahu risiko gempa dan selalu siap. Baru kemudian diajarkan untuk saling membantu,” kata Hirose.
Praktik menyelamatkan diri dan kemudian menyelamatkan orang lain amat ditekankan di Jepang. Bahkan, sejak masih di taman kanak-kanak, mereka sudah dikenalkan dengan risiko bencana. Begitu masuk sekolah dasar, salah satu perlengkapan yang wajib dibawa siswa adalah bantal pelindung kepala.
Sekolah juga didesain sebagai lokasi paling aman dan dipersiapkan sebagai titik kumpul begitu terjadi bencana. Logistik berupa selimut, air, dan makanan kemasan yang tahan hingga lima tahun distok dan rutin diganti jika kedaluwarsa.
Kantor pemadam kebakaran di tiap kota biasanya berfungsi sebagai pusat pendidikan bencana bagi segala usia. Masyarakat juga bisa menjajal kekuatan gempa dengan alat simulasi, diajarkan apa yang harus dilakukan, termasuk bagaimana membangun rumah-mengatur perabotan agar aman saat gempa.
Komitmen Jepang untuk pencegahan bencana telah dimulai sebelum gempa Kobe. Sejak 1960, setiap 1 September, mereka memperingati Hari Pencegahan Bencana Nasional. Tanggal itu bertepatan terjadinya gempa besar pada tahun 1923 yang melanda Kanto (Tokyo dan sekitarnya) dan menewaskan 140.000 orang.
Dari segi jumlah korban, gempa Kanto merupakan yang terbesar dalam sejarah Jepang. Namun, gempa Kobe merupakan titik balik untuk lebih mengoperasionalkan strategi pengurangan risiko bencana itu.
Sebelum gempa
Kobe sebelum 1995 adalah salah satu wujud optimisme Jepang menyambut datangnya bonanza ekonomi. Kota itu dipenuhi permukiman yang berimpit, jalan layang, dan jaringan rel kereta api. Kobe yang memiliki luas 546 kilometer persegi adalah kota keenam terbesar di Jepang dengan populasi 1,6 juta jiwa (1993).
Adapun Pelabuhan Kobe saat itu menempati peringkat enam terbesar di dunia dan terhubung dengan 500 pelabuhan di 135 negara lain. Sebanyak 12 persen ekspor Jepang dikapalkan dari pelabuhan itu. Pada 1993, berat kontainer yang ditangani pelabuhan itu sekitar 400 juta ton.
Sebelum gempa, Jepang tak mengira gempa bumi besar melanda Kobe. Perhatian Pemerintah Jepang saat itu lebih banyak pada kawasan Kanto terhadap gempa dari zona subduksi dari Samudra Pasifik. Sementara kawasan Kansai (Osaka, Kobe, dan Kyoto) dianggap zona aman.
Hingga pada Selasa, 17 Januari 1995 dini hari, di puncak musim dingin, gempa dangkal berkekuatan 7,2 skala Richter mengguncang Kansai. Pusat gempa adalah patahan Nojima, sekitar 20 km dari Kobe, dengan kedalaman 16 km.
Gempa itu pertama kali terjadi di Jepang modern yang memukul kawasan padat penduduk. Sekitar 100.000 rumah dan bangunan hancur total, dan 140.000 rumah rusak. Sebanyak 6.434 orang tewas dan 40.000 orang terluka. Kehancuran diperparah dengan kebakaran hebat yang melanda setelah gempa. Setidaknya 100 kebakaran dilaporkan terjadi di Kobe, membakar habis 7.000 rumah. Nilai total kerugian akibat gempa itu diperkirakan mencapai 200 miliar dollar AS.
Pelajaran dari Kobe
”Sebelum gempa 1995, bangunan di Kobe banyak dari batu bata, selain kayu tua. Setelah gempa, tak ada lagi yang memakai batu bata. Kebanyakan beton atau kayu, tetapi dengan fondasi diberi peredam atau konstruksi silang. Kami kini lebih siap menghadapi gempa,” kata Koichi Yunoki (69), warga Kobe, yang jadi relawan di gedung Disaster Reduction and Human Renovation Institution.
Setelah gempa Kobe, Jepang merevisi total standar bangunannya. Belajar dari gempa Kobe, pada Oktober 1995, Undang-Undang Rehabilitasi Seismik untuk Bangunan-bangunan yang Ada dibuat, dan pemerintah mulai aktif mempromosikan penguatan rumah tua terhadap gempa. Beberapa pemerintah lokal menginisiasi bantuan keuangan bagi warga yang akan menguatkan rumah mereka.
Maka, pada 27 Februari 1995, Kementerian Konstruksi mengenalkan aturan konstruksi baru, terutama menekankan penguatan struktur bangunan dan infrastruktur dasar yang dibangun sebelum 1980-an. Tiga tahun kemudian, 30.000 jembatan telah diperkuat konstruksinya.
Tak hanya perubahan fisik, Jepang juga mengubah strategi mitigasi bencana. Pada 1997, mereka menerbitkan Basic Disaster Prevention Plan, meliputi strategi pengurangan bencana, tanggap darurat, pemberian bantuan dan rekonstruksi, serta upaya mengatasi tsunami dan gempa berskala besar. Riset tentang bencana khususnya gempa bumi dan tsunami digalakkan, terutama survei terhadap 98 patahan aktif di Jepang. Sebanyak 3.000 seismoter baru dipasang di 1.800 lokasi.
Sama seperti Jepang, sejumlah kota di Indonesia telah dilanda gempa besar bersumber dari patahan di dekat pusat kota, seperti yang melanda Yogyakarta pada 2006 dan Padang pada 2009. Namun, perubahan signifikan menghadapi gempa bumi, terutama pembangunan rumah dan infrastruktur tahan gempa, belum jadi arus utama.
Oleh: AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 21 Januari 2015