Ujaran yang berbunyi ”Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak” itu mewujud sebagai realitas di Riau dan Aceh. Hewan berbelalai panjang itu terabaikan. Gajah kemudian dikeluarkan dari diskursus ranah ekosistem dan keragaman hayati. Keberadaannya diposisikan sebagai ”musuh” masyarakat sekitar kawasan hutan.
Ancaman utama terhadap gajah sumatera (Elephas maximus) adalah hilangnya tutupan hutan di dataran rendah dan tanah kering, bukan di daerah gambut sedalam lebih dari 100 sentimeter. ”Habitat asli mamalia besar ini dataran rendah bervegetasi,” ujar Direktur Konservasi WWF-Indonesia Arnold Sitompul, beberapa waktu lalu.
Gajah tidak hidup di hutan lebat di pegunungan. Gajah butuh hutan dengan bukaan untuk sinar matahari masuk. Menurut pakar keanekaragaman hayati dari Departemen Biologi Universitas Indonesia, Jatna Supriatna, ”Gajah memakan vegetasi yang di bawah, bukan dari pohon-pohon bertajuk tinggi.”
Saat ini, menurut dia, adalah titik krusial. ”Berada di bibir jurang kepunahan,” katanya. Ironisnya, gajah tak pernah didata. Gajah sumatera merupakan salah satu gajah asia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Laporan penelitian WWF oleh Ajay A Desai dan Samsuardi, 2009, ”Status of Elephants in Riau Province”, kini tinggal sekitar 14 persen wilayah dataran rendah tersisa dari luas tahun 1982. Deforestasi lebih luas terjadi pada dataran kering yang sesuai habitat gajah, dibandingkan kawasan yang tak sesuai untuk habitat gajah. ”Kurang dari dua dekade, sekitar 80 persen habitat gajah hilang,” tulis laporan itu.
Sebaliknya, kata Arnold, kini sekitar 80 persen habitat gajah bersinggungan dengan kawasan dilindungi. ”Pemerintah daerah sering melupakan pentingnya konservasi gajah,” katanya. Pembangunan mewujud dalam perluasan permukiman, pertanian, untuk industri bubur kertas dan kertas, kelapa sawit, serta pertambangan yang menyebabkan habitat gajah kian tergerus.
”Akhirnya gajah diburu, gajah masuk ke wilayah pertanian atau perkebunan sehingga muncul konflik antara manusia dan gajah. Eksistensi gajah kian terancam,” kata Arnold.
Berita tentang gajah mati diracun, ditembak, atau kelebihan dosis anestesi menjadi berita langganan. Berita terakhir, pekan pertama September 2014, tiga gajah ditemukan mati di Aceh. Satu gajah di antaranya sedang hamil. Beberapa orang ditangkap untuk diperiksa. ”Penegakan hukum terhadap kasus pembunuhan gajah masih amat lemah,” ucapnya.
Kawasan hidup untuk kawanan gajah pun semakin terfragmentasi. Habitat gajah terpotong-potong daerah pertanian dan perkebunan.
Meski terus-menerus terancam kelangsungannya, rasa khawatir gajah akan punah rupanya belum ada. ”Hingga sekarang tak ada pendataan populasi gajah. Kini, bersama Lembaga Biologi Molekuler Eijkman sedang dilakukan penelitian dengan teknik identifikasi individu melalui DNA dari kotoran gajah di Tesso Nilo,” kata Sunarto dari WWF-Indonesia.
Pada Forum Gajah, Maret 2014, disampaikan, estimasi populasi gajah sumatera di alam liar ada 1.724 ekor. Di Riau ada sekitar 310 gajah. Estimasi, antara lain, didapatkan dari data pertemuan penduduk dengan gajah di sejumlah area.
Penelitian menghitung populasi gajah bukan hal mudah karena area jelajahnya sekitar 10.000 hektar. ”Itu minimal, agar bisa bertahan,” kata Arnold. Menurut Nyoman Iswarayoga, Direktur Komunikasi dan Advokasi WWF-Indonesia, seekor gajah dalam sehari bisa berjalan sejauh 12 kilometer.
Menghilang
Dalam penelitian WWF-Indonesia yang dilaporkan Juli 2010 dengan pemimpin tim penulis Yumiko Uryu, ”Sumatra’s Forests, Their Wildlife and the Climate, Windows in Time: 1985, 1990, 2000 and 2009”, dituliskan, di Sumatera pada 1985 terdapat 2.800-4.800 gajah di 43 area.
Pada 2008, gajah telah punah di 23 area—dari 43 area itu Di Riau, tinggal 210 gajah di sembilan area. Padahal, Riau punya populasi gajah terbanyak di Sumatera, lebih dari 1.600 ekor.
Saat ini, dua habitat gajah yang berpotensi untuk konservasi dalam jangka panjang adalah Taman Nasional Tesso Nilo dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Menurut Desai dan Samsuardi, di dua kluster tersebut, fragmentasi berhenti dan terjadi pembalikan. Sementara kawasan perbatasan dengan tanaman akasia berpotensi menjadi perluasan habitat gajah.
Keseimbangan
Selain gadingnya yang bernilai ekonomi tinggi, nilai penting gajah secara keseluruhan seakan tak terpikirkan secara umum.
Menurut Jatna, secara filosofis, perlu dipahami prinsip koeksistensi. Untuk hutan tropis, Indonesia harus berterima kasih kepada gajah yang bisa menyebarkan biji. Daya jelajah yang jauh turut menebar bibit-bibit vegetasi. Oleh karena tak memahami itu, kata Jatna, manusia yang menentukan mana yang boleh hidup dan tak boleh. Itu memperciut keanekaragaman.
Menurut penelitian, kata Arnold, bekas tapak gajah menjadi suatu ekosistem tersendiri bagi serangga kecil.
Sunarto menambahkan, perlakuan tak manusiawi manusia kepada gajah karena manusia ”asing” pada gajah. Ada penyangkalan bahwa gajah merupakan bagian dari ekosistem yang sehat. Bahwa manusia dan gajah seharusnya hidup berdampingan.
Akibatnya, manusia tidak menghiraukan kebutuhan gajah. Seharusnya, jalur migrasi gajah tidak boleh dipotong, rombongan gajah tidak boleh dipecah saat sedang berjalan. Dan, janganlah gajah dianggap hama.
Oleh: brigitta isworo laksmi
Sumber: Kompas, 30 September 2014