Penelitian terbaru menemukan, tingkat stres gajah bisa diukur dengan cek darah dengan melihat rasio heterofil dan limfosit.
Gajah Asia adalah satwa liar yang kesejahteraannya cukup mengkhawatirkan karena stres. Selama ini ilmuwan mengukur tingkat stres gajah dengan mengukur kadar zat glukortikoid di tinja gajah. Penelitian terbaru menemukan, tingkat stres gajah bisa diukur dengan cek darah.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN–Kawanan gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) melintasi semak belukar di Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi, Jumat (14/2/2020). Kawanan gajah itu kian terdesak oleh berbagai aktivitas manusia dalam hutan. Upaya konservasi mendesak dilakukan demi menghindari kepunahan satwa dilindungi tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penelitian itu berjudul ”Metabolit Glukokortikoid Tinja dan Rasio Heterofil/Limfosit adalah Penanda Stres pada Gajah Kayu Asia”. Penelitian dimuat dalam jurnal Animals yang juga dimuat Science Daily 1 April 2020. Penelitian dilakukan tim ilmuwan Universitas Turku Finlandia, seperti Martin W. Seltmann, Susanna Ukonaho, serta rekan-rekan peneliti dari Finlandia dan Myanmar.
Bebas dari stres adalah wujud kesejahteraan hewan. Menilai kesejahteraan hewan sangat penting karena tanggung jawab etis manusia terhadap hewan, baik satwa liar maupun hewan di kebun binatang.
Dalam jurnal disebutkan, gajah yang diteliti adalah 124 gajah Myanmar (Elephas maximus), yang terdiri dari 75 betina dan 49 jantan. Pada siang hari, gajah dipekerjakan di industri kayu Myanmar untuk mengangkut kayu. Pada malam hari, gajah mencari makan tanpa pengawasan di hutan terdekat di mana mereka kawin satu sama lain dan menjadi gajah liar.
Peneliti membandingkan cara pengukuran stres gajah dengan mengukur hormon stres glukokortikoid di tinja dan mengukur rasio sel darah putih heterofil/limfosit (H/L) dengan apusan darah.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN–Kawanan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) melintasi semak belukar di Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi.,beberapa waktu lalu. Kawanan gajah itu kian terdesak oleh berbagai aktivitas manusia dalam hutan. Upaya konservasi mendesak dilakukan demi menghindari kepunahan satwa dilindungi tersebut.
Penelitian mereka adalah salah satu yang pertama untuk membangun hubungan antara variasi konsentrasi metabolit glukokortikoid tinja dan rasio H/L pada gajah Asia. Hasilnya menunjukkan korelasi di antara kedua metode tersebut. Hasil penelitian ini dapat membantu menginformasikan kepada manajer gajah tentang penggunaan data rasio H/L sebagai cara yang berpotensi lebih cepat dan lebih murah untuk menilai stres pada hewan mereka.
Peningkatan konsentrasi glukokortikoid dan rasio H/L dapat menjadi tanda stres kronis dan kesehatan yang rendah.
”Kami menemukan bahwa gajah dengan kadar hormon stres yang lebih tinggi juga memiliki rasio heterofil yang lebih tinggi terhadap limfosit. Ini benar terlepas dari jenis kelamin dan usia,” kata Martin Seltmann, peneliti dari Departemen Biologi Universitas Turku.
Tujuan tambahan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah hormon stres dan rasio H/L terkait dengan berat badan pada gajah Asia. Peneliti tidak menemukan hubungan antara rasio sel darah putih dan berat badan, tetapi gajah dengan kadar hormon stres yang lebih tinggi memiliki berat badan yang lebih rendah, menunjukkan bahwa stres yang meningkat terkait dengan penurunan berat badan.
DOK BKSDA ACEH–Bayi gajah betina yang lahir pada Rabu (24/7/2019) bersama induknya bernama Suci berada di Conservation Response Unit Alue Kuyun, Kabupaten Aceh Barat, Aceh.
”Ini berarti kedua penanda (hormon stres dan berat badan) dapat digunakan untuk menilai kesejahteraan gajah,” kata peneliti Susanna Ukonaho, peneliti lainnya.
Di Indonesia, gajah juga mengalami masalah kesejahteraan yang sama. Habitat mereka makin sempit karena ulah manusia. Gajah di kebun binatang juga menderita stres karena lingkungan yang tidak memadai.
Oleh SUBUR TJAHJONO
Sumber: Kompas, 3 April 2020