Cahaya lampu berpendar menerangi pekat malam di seluruh penjuru ibu kota Jakarta. Gemerlap sinarnya menandai aktivitas di salah satu kota terpadat di dunia yang tiada henti. Hal itu menjadi bagian dari proses perkembangan kawasan itu menjadi kota megapolitan.
Keberadaan bola lampu turut mendukung pertumbuhan kota menjadi lebih kreatif mengembangkan potensi warganya.
Ucapan terima kasih harus diberikan kepada Thomas Alva Edison yang menemukan bola lampu listrik komersial pada tahun 1880-an. Sekarang, bola lampu dapat dikatakan menjadi simbol aktivitas sebuah kota. Kota-kota tersibuk di seluruh dunia tak pelak ditandai oleh nyala lampu sepanjang malam, menjadikan hari seakan tiada jeda antara siang dan malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tumbuhnya sebuah kota menjadi kota kreatif tidak terlepas dari kebutuhan tenaga listrik yang wujudnya bisa dihitung dari pemakaian bola lampu.
Bola lampu tak hanya berfungsi menerangi ruangan di rumah, mal, dan gedung perkantoran, tetapi juga dirancang memperindah tata ruang dan memberi kenyamanan.
Menurut Ketua Asosiasi Industri Perlampuan Listrik Indonesia John Manoppo, setiap rumah di Indonesia rata-rata memiliki lima titik lampu. Dengan jumlah pelanggan rumah tangga sekitar 48 juta pelanggan, maka jumlah titik lampu nasional diperkirakan 240 juta titik. Dalam setahun, total penjualan lampu mencapai 320 juta unit, belum termasuk lampu untuk bisnis dan industri.
Sejauh ini ada tiga jenis lampu yang beredar di pasaran. yakni lampu pijar, lampu neon, dan lampu hemat energi model spiral dan bentuk lain. Dari volume total penjualan lampu nasional, 80 persen di antaranya lampu hemat energi. Ini berarti masyarakat lebih berminat memakai lampu hemat energi dengan masa pakai lebih lama, meski harganya lebih mahal dibandingkan dengan lampu pijar.
John memperkirakan, makin banyak masyarakat beralih memakai lampu ekstra hemat energi yang diklaim bebas merkuri dan masa pakai hingga 10 tahun, sedangkan jenis lampu lain masih mengandung merkuri.
Meski mayoritas masyarakat telah beralih memakai lampu hemat energi, ternyata hal itu tak mampu menahan laju pertumbuhan konsumsi tenaga listrik dari tahun ke tahun. Hal itu dipicu oleh makin tingginya ketergantungan kita terhadap energi listrik dalam aktivitas sehari-hari ataupun kegiatan produktif.
Konsumsi naik
Tingginya konsumsi tenaga listrik di Tanah Air menandai kemajuan kota-kota di Tanah Air. Daerah yang semula tidak terlistriki, kini tersambung jaringan tenaga listrik. Listrik jadi penggerak aktivitas ekonomi kota dan daerah pinggiran.
Menurut anggota Dewan Energi Nasional, Tumiran, jika infrastruktur listrik telah disiapkan, aktivitas ekonomi akan tumbuh, industri manufaktur dan jasa, seperti hotel dan pasar swalayan, akan berkembang.
Kemajuan kota itu turut memicu kenaikan pendapatan masyarakat. Hal itu berimbas pada peningkatan konsumsi lampu dan peralatan elektronik lain, seperti telepon seluler, lemari pendingin, mesin cuci, dan alat pendingin ruangan yang pada gilirannya mendorong kenaikan konsumsi tenaga listrik.
Menurut Direktur Perencanaan dan Pembinaan Afiliasi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Murtaqi Syamsuddin, pada triwulan satu 2014, konsumsi listrik untuk industri tumbuh 3,6 persen, komersial (seperti mal, hotel, dan gedung perkantoran) tumbuh 6,8 persen, dan rumah tangga tumbuh 11,7 persen. Sektor industri tumbuh lambat, sedangkan rumah tangga naik pesat.
Dari sisi kawasan, konsumsi listrik di Indonesia bagian timur tumbuh 13,6 persen, Sumatera tumbuh 6 persen, Jawa-Bali tumbuh 7,14 persen. Secara nasional, pertumbuhan konsumsi listrik mencapai 7,6 persen. Hingga akhir tahun ini, dalam APBN 2014, penjualan listrik diperkirakan 204 terawatt hour (TWh), dengan asumsi pertumbuhan 9 persen dari estimasi realisasi 2013 sebesar 187 TWh.
Dalam lima tahun terakhir, 2008-2012, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) mencatat, penjualan listrik naik dari 128 TWh pada 2008 menjadi 172 TWh pada 2012, jumlah pelanggan naik dari 29 juta pada 2008 menjadi 50 juta pada 2012. Adapun rasio elektrifikasi dari 62,3 persen pada 2008 menjadi 75,9 persen pada 2012.
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PLN menyebutkan, pada 2013-2023 pemakaian tenaga listrik Indonesia diperkirakan naik dari 189 TWh menjadi 386 TWh dengan pertumbuhan rata-rata 8,4 persen per tahun. Jumlah pelanggan juga naik dari 54 juta menjadi 77 juta pada 2022 atau bertambah 2,7 juta pelanggan per tahun.
Krisis pasokan
Di tengah meningkatnya konsumsi tenaga listrik, penambahan pasokan tenaga listrik justru seret. Realisasi sejumlah proyek pembangunan pembangkit listrik molor lantaran terkendala ketidakpastian pendanaan dan pembebasan lahan. Untuk memenuhi kebutuhan listrik yang meningkat, perlu tambahan daya 6.000 MW per tahun.
Pada sistem kelistrikan Jawa, Madura, dan Bali, beban puncak mencapai rekor tertinggi sebesar 22.974 megawatt pada akhir April lalu. Saat ini daya tersedia lebih dari 31.000 MW. Pencapaian rekor tertinggi beban puncak listrik itu menandai pertumbuhan konsumsi listrik. Hal itu rawan karena PLN mesti menjamin ketersediaan cadangan daya hingga 20 persen.
Murtaqi beberapa waktu lalu mengakui, kondisi kelistrikan di Jawa dan Bali pada 2018 mengkhawatirkan. Penyebab utamanya, belum ada kepastian pendanaan pembangunan transmisi yang menghubungkan sejumlah pembangkit di Jawa dan Sumatera dengan sistem kelistrikan Jawa-Bali. Oleh karena kebutuhan investasi transmisi besar, PLN sulit mendapat pendanaan tanpa jaminan pemerintah.
Untuk mengatasi sejumlah masalah kelistrikan, pemerintah mesti segera merumuskan terobosan kebijakan dan mengimplementasikannya.
Jika pertumbuhan tambahan daya listrik lambat, listrik akan sering byarpet sehingga menghambat kemajuan kota-kota di Tanah Air. Warga kota boleh jadi akan menemukan jalan sendiri karena energi kreatif kota seharusnya dapat mengatasi setiap hambatan.
Oleh: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 27 Juni 2014