Dosen Terbelenggu Administrasi

- Editor

Jumat, 9 November 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Laporan penelitian yang harus diisi lebih banyak hal teknis, misalnya surat izin dari pejabat terkait serta laporan biaya transportasi, penginapan, dan konsumsi.

Para dosen dan peneliti di Indonesia masih mengalami sejumlah masalah dalam mengembangkan keilmuan mereka. Beban administrasi yang sangat berat dan kesejahteraan yang kurang membuat mereka tidak bisa maksimal mengembangkan keilmuan sehingga perkembangan ilmu dan teknologi di Indonesia belum mampu bersaing dengan negara-negara maju.

Demikian disampaikan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Al Makin, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Filsafat di kampusnya, Kamis (8/11/2018), di Yogyakarta. Pidato pengukuhan itu berjudul “Bisakah Menjadi Ilmuwan di Indonesia? Keilmuan, Birokrasi, dan Globalisasi”.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KOMPAS/HARIS FIRDAUS–Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Al Makin, menyampaikan pidato dalam acara pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Filsafat di kampusnya, Kamis (8/11/2018), di Yogyakarta.

Al Makin menyatakan, para dosen dan peneliti di Indonesia harus menanggung beban administrasi yang membelenggu kebebasan dan kreativitas mereka. “Birokrasi dan administrasi kita itu sangat tebal sehingga tidak memberi kebebasan kepada para dosen untuk berkarya,” kata pria yang menyelesaikan studi S3 di Universitas Heidelberg, Jerman, itu.

Di perguruan tinggi negeri (PTN), misalnya, para dosen memiliki banyak sekali kewajiban administrasi seperti mengisi presensi, mengurus surat tugas dan surat keputusan, mengisi penilaian kinerja dan laporan keuangan penelitian, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban administrasi itu sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran para dosen.

Akibatnya, para dosen terkadang tidak bisa maksimal menjalankan tugas utama mereka, yakni mengajar, melakukan penelitian, dan mengembangkan ilmu pengetahuan baru. “Waktu yang dihabiskan lebih banyak untuk kewajiban administrasi dan hanya sedikit untuk penelitian. Akhirnya, tidak menjadi ilmuwan tapi menjadi birokrat dan ahli administrasi,” ungkap Al Makin.

KOMPAS/HARIS FIRDAUS–Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Al Makin, menyampaikan pidato dalam acara pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Filsafat di kampusnya, Kamis (8/11/2018), di Yogyakarta.

Dia menambahkan, persoalan-persoalan administrasi tersebut sebenarnya tidak berkait langsung dengan pengembangan keilmuan yang menjadi tanggung jawab utama para dosen. Dia mencontohkan, laporan penelitian yang harus diisi oleh para dosen di PTN lebih banyak berisi hal-hal teknis, misalnya surat izin dari pejabat terkait dan laporan biaya transportasi, penginapan, dan konsumsi.

Padahal, seharusnya laporan penelitian lebih berorientasi pada hasil akhir dari sebuah penelitian, misalnya publikasi dalam jurnal ilmiah, hak paten, atau pengembangan prototipe teknologi tertentu.

Kesejahteraan
Selain beban administrasi yang menumpuk, Al Makin menyebut, para dosen dan peneliti di Indonesia juga masih menghadapi persoalan kesejahteraan yang kurang. Salah satu indikatornya, gaji dosen di Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan dosen di negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.

Menurut Al Makin, seorang asisten profesor di Singapura mendapat gaji sekitar Rp 96 juta per bulan. Sementara itu, seorang asisten profesor di Malaysia mendapat gaji sekitar Rp 28 juta per bulan. “Dengan begitu tidak heran banyak akademisi kampus di Indonesia mencari celah karier di luar kampus,” ujarnya.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, Al Makin mengusulkan beberapa langkah. Pertama, pemerintah harus menyederhanakan beban administrasi bagi para dosen dan peneliti. Kedua, pemerintah mesti memberi penghargaan lebih kepada para dosen dan peneliti yang memiliki dedikasi mengembangkan keilmuan secara sungguh-sungguh.

Sementara itu, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yudian Wahyudi, mengatakan, gagasan yang disampaikan Al Makin dalam pidato pengukuhannya itu juga menjadi kegelisahan banyak dosen dan peneliti di Indonesia. Oleh karena itu, dia berharap, apa yang disampaikan Al Makin mendapat perhatian dari pemerintah.

“Saya berterima kasih pada Pak Al Makin yang telah mengangkat keprihatinan nasional ini. Mudah-mudahan pidato Pak Makin menyadarkan pemerintah,” ujar Yudian.–HARIS FIRDAUS

Sumber: Kompas, 9 November 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB