Antisipasi Dini Akan Turunkan Risiko
El Nino yang menguat di Samudra Pasifik tidak akan berdampak kekeringan berkepanjangan karena Dipole Mode-fenomena mirip El Nino, tetapi berada di Samudra Hindia-berkategori netral akan meredamnya. Kemarau kering hanya akan berlangsung hingga September.
Diperkirakan November, sebagian wilayah di Indonesia mulai memasuki musim hujan. Daerah yang paling awal berpeluang hujan adalah wilayah Jawa Barat.
Hal itu disampaikan Eddy Hermawan, pakar meteorologi dari Pusat Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, pada 10th Annual Indonesia-USA Partnership Workshop on Ocean and Climate Observation, Analysis and Applications, di Bandung, Kamis (13/8).
Lebih lanjut Eddy menjelaskan, Dipole Mode atau DM menjadi penggerak utama bagi pembentukan curah hujan di Indonesia. Hal ini disebabkan lokasi pembentukan di perairan pantai barat Sumatera lebih dekat dibandingkan El Nino. Karena itu, hanya dalam waktu satu bulan sejak kemunculannya, DM telah memberi dampak gangguan cuaca bagi Indonesia. Sementara El Nino berdampak bagi Indonesia setelah enam bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Selama Dipole Mode mendekati netral, El Nino tidak akan berdampak kuat bagi Indonesia,” ujarnya. Sekarang ini indeks DM 0,4, kemudian pada September diperkirakan akan menjadi 0,8, dan setelah itu kembali turun 0,4 pada November.
Indeks DM positif menunjukkan pendinginan perairan di barat Sumatera, maka terjadi kekeringan. Jika negatif, mengindikasikan penghangatan atau curah hujan di atas normal.
Kepala Puslitbang BMKG Edvin Aldrian mengatakan, fenomena DM hanya akan berdampak bagi bagian barat Indonesia. El Nino mengakibatkan kurangnya curah hujan di wilayah timur Indonesia. Ada bagian barat dan paling timur yang netral.
Selain dua fenomena tersebut, ada mekanisme dinamika cuaca yang berpengaruh, yaitu pola angin monsun dan pergerakan massa awan yang disebut Madden Julian Oscillation.
Namun, mekanisme cuaca global itu tidak cukup karena ada mekanisme cuaca dan iklim yang bersifat lokal yang akan mengakibatkan gangguan cuaca di sekitarnya. Keduanya berpendapat, perlu ada penelitian pola interaksi atmosfer dan laut di wilayah Indonesia yang minim data.
Hingga kini belum ada indeks fenomena kelautan di Indonesia sebagai indikator penyimpangan cuaca dan iklim. Pihak BMKG akan menjalin kerja sama dengan Jamstec Jepang dan NOAA untuk penelitian berbagai interaksi di atmosfer dan kelautan maupun antara keduanya di wilayah perairan Indonesia.
Peringatan dini
Musim kemarau panjang akibat El Nino menimbulkan kerugian besar bagi petani. Perbaikan saluran irigasi dan peringatan dini terkait cuaca sebelum musim tanam bisa menjadi solusi untuk menghindarkan kerugian.
Sekretaris Umum Serikat Petani Indonesia Agus Ruli Ardiansyah mengatakan, musim kemarau hampir terjadi setiap tahun, tetapi tahun ini musim kemarau lebih awal dan panjang. Hingga pertengahan Agustus, bencana kekeringan terjadi di hampir semua wilayah Sumatera dan Jawa. Produktivitas tanaman turun hingga 40 persen, banyak lahan gagal panen karena persediaan air tidak cukup.
Saat kekeringan, petani biasanya membangun sumur buatan atau mengubah pola tanam dengan menanam tanaman yang tahan kekeringan. “Itu pun belum tentu berhasil karena sumber air sudah kering,” ucapnya.
Andai saja ada peringatan dini dari pemerintah bahwa akan ada ancaman kemarau berkepanjangan, kerugian sebesar itu tidak akan terjadi. Jika upaya itu dilakukan, petani akan bisa memilih menanam tanaman selain padi yang lebih tahan terhadap kemarau panjang, seperti sayuran, buah-buahan, umbi, dan kacan-kacangan.
Indonesia bisa belajar dari Vietnam dan Thailand yang sangat gencar melakukan antisipasi agar kekuatan pangan mereka terus terjaga walau musim kemarau panjang menerpa. (B12/YUN)
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Agustus 2015, di halaman 14 dengan judul “Dipole Mode Dapat Redam El Nino”.
——-
Pencarian Dipole Mode
Kehadiran El Nino atau La Nina bisa diprediksi hingga sembilan bulan sebelumnya berkat sarana pemantau komprehensif di Samudra Pasifik. Namun, Dipole Mode-fenomena mirip El Nino-La Nina di Samudra Hindia-kurang perhatian, padahal itu bisa meredam El Nino. Mulai tahun ini, DM akan diteliti dengan lebih saksama.
Negara di cekung Pasifik lebih beruntung ketimbang di Samudra Hindia. Itu dalam hal pemantauan fenomena iklim kelautan. Di Pasifik yang mendapat ancaman El Nino Southern Oscillation (ENSO), setidaknya ada tiga negara maju-Amerika Serikat, Jepang dan Australia-yang bisa diandalkan untuk memantau dan mengembangkan model prediksi datangnya gangguan cuaca ekstrem itu.
Dengan jejaring pelampung pemantau parameter kelautan dan atmosfer, El Nino dan La Nina, yang kerap menimbulkan anomali curah hujan di kawasan Pasifik, bisa diketahui. Dengan menggunakan sarana pengukur dinamika kelautan, gejala kedatangannya dapat prediksi 6 bulan hingga 9 bulan sebelumnya.
Jejaring pelampung pemantau cuaca itu ditambatkan berjajar sepanjang khatulistiwa Pasifik. “Proyek pemasangan dan pengelolaan jejaring itu disebut Tropical Atmosphere Ocean,” kata Michael James McPhaden, pakar iklim kelautan dari (Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA) Amerika Serikat.
“Pada proyek yang dilakukan sejak 1985, kini terpasang 60 pelampung,” kata Phaden yang juga Direktur Proyek Tropical Atmosphere Ocean (TAO). Pemasangan pelampung di utara Papua beberapa tahun silam antara lain melibatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), menggunakan kapal Baruna Jaya.
Selain dengan pelampung dan ekspedisi kapal riset, pemantauan suhu muka laut dilakukan dari ruang angkasa memakai satelit. Dalam hal ini, NOAA mengerahkan satelit Topex-Poseidon, dan Seawifs.
Indian Dipole Mode
Kejadian El Nino tahun 1997 merupakan yang terparah sepanjang sejarah bencana hidrometeorologi di dunia, termasuk Indonesia. Itu membuka mata semua negara tentang pentingnya mengantisipasi ancaman lain di Samudra Hindia, yaitu dengan munculnya Dipole Mode (DM) yang berpotensi memperparah dampak kekeringan.
Fenomena menghangatnya suhu muka laut di Samudra Hindia itu, dengan pola mirip El Nino-La Nina, belum banyak diketahui. Gejala itu pertama kali ditemukan Profesor Toshio Yamagata (Tokyo University) dan Peter J Webster (University of Colorado). Fenomena penyimpangan cuaca itu juga pernah dikemukakan peneliti India, NH Saji, dari Institute for Global Change Research di Tokyo, Jepang, dan rekannya dari Indian Institute of Science Bangalore, India. Yamagata dan Webster lalu memublikasikan hasil temuan mereka itu pada majalah Nature edisi 23 September 1999.
Mereka menemukan ada penjalaran suhu permukaan laut yang hangat dari selatan Lombok ke selatan Selat Sunda sampai barat Sumatera. Sementara itu, di sebelah barat Samudra Hindia, suhu permukaan lautnya lebih dingin.
Fenomena itu diperkirakan yang menyebabkan daerah barat Indonesia lebih banyak hujan dibandingkan timur. Untuk memastikan dampak yang ditimbulkan dan dinamika laut serta atmosfer terhadap cuaca, akan dilakukan riset lebih lanjut.
Proses dinamika laut yang membedakan DM dengan El Nino di Samudra Pasifik itu, menurut Wahyu Pandoe Kepala Balai Teknologi Survei Laut BPPT, adalah ada dua kutub suhu permukaan laut (SPL) di Samudra Hindia bagian timur (perairan Indonesia sekitar Sumatera dan Jawa) dan Samudra Hindia bagian tengah sampai barat (perairan pantai timur Afrika) yang muncul bergantian.
Evolusi terjadi DM itu dimulai dengan menguatnya angin tenggara di Samudra Hindia sepanjang pantai di perairan selatan Jawa dan Sumatera, diikuti perubahan angin baratan (kondisi normal) jadi angin timuran sepanjang ekuator Samudra Hindia.
Pada saat bersamaan, DM menunjukkan indikasi kuat akan memberi dampak kekeringan, yakni dari anomali negatif SPL di Samudra Hindia bagian timur diikuti anomali positif SPL di Samudra Hindia bagian tengah sampai barat.
Pemantauan pola pembentukan kolam panas itu belakangan juga dilakukan Phaden yang memasang jejaring pelampung RAMA (Research Moored Array for African-Asia-Australian Monsoon Analysis and Prediction) yang jumlahnya mencapai 20 unit. Dalam program selanjutnya diharapkan terpasang setidaknya 45 pelampung.
Pemasangan empat pelampung pada April-Mei antara lain melibatkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui program Ina-Prima. Tujuan ekspedisi itu meliputi observasi laut, cuaca, dan kualitas udara di wilayah Samudra Hindia, pemanfaatan data observasi laut untuk peningkatan mutu informasi cuaca dan iklim di Indonesia, pengelolaan buoy RAMA, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang observasi laut.
Kegiatan pelayaran Ina-Prima itu dilakukan selama 30 hari layar dengan kapal survei Baruna Jaya I milik BPPT. “Rencananya, BMKG menggelar kegiatan Ina-Prima tiap tahun untuk mendukung observasi dan analisis iklim maritim di Indonesia,” kata Nurhayati penanggung jawab Proyek Ina-Prima.
Peralatan yang dipasang pada survei itu adalah observasi manual, Atlas Buoy, argo drifter, single beam ELAC, CTD sea bird SBE 911, portable weather station, automatic solar radiation atation, grey wolf for green house gasses measurement, light detection and rangine.
Phaden menjelaskan, RAMA adalah bagian dari ekspedisi internasional Samudra Hindia II yang akan dilakukan pada 2015- 2020. Selain NOAA melalui program RAMA, menurut Nelly Florida Riama, Kepala Bidang Informasi Agroklimat dan Iklim Maritim BMKG, Jamstec lembaga riset kelautan Jepang pun melakukan survei di Samudra Hindia pada 2011-2014. Sarana dalam proyek itu adalah kapal riset dan satelit.–YUNI IKAWATI
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Agustus 2015, di halaman 14 dengan judul “Pencarian Dipole Mode”.