Di pagi sehabis subuh, 15 Februari 2024, Junaedi—seorang enumerator muda dari Tasikmalaya—menyetel sepeda motornya menyusuri kabut tipis menuju TPS 023 di kaki Gunung Galunggung. Ia membawa tas selempang berisi ponsel murah, power bank, dan satu lembar “peta kluster” bertuliskan 2.000 titik TPS sampel se-Indonesia. Begitu bilik suara ditutup, ia berdiri di dekat petugas KPPS, memotreti formulir C1 memakai aplikasi ber-geotag. Foto itu langsung terunggah ke dashboard hitung cepat di Jakarta; bar-loading biru bergerak sebelum ayam jago selesai berkokok.
Dari layar 6 inci itulah hari ini jutaan penonton televisi, warganet, hingga pasar saham menunggu—sebuah kebiasaan teknologi pemilu Indonesia yang lahir kurang dari seperempat abad lalu.
Dari eksotika akademik ke tontonan nasional (1999-2004)
Tahun 1999, ketika pemilu bebas untuk pertama kalinya digelar, survei politik masih terdengar bagai istilah laboratorium. LP3ES, lembaga sosial bentukan era 1970-an, berkeliling dengan kuesioner kertas di NTB hanya untuk “menguji” apakah model sampling multistage cocok diterapkan di negeri kepulauan. Baru 2004 publik benar-benar tercengang: LP3ES bersama NDI merilis quick count legislatif satu hari setelah coblos dan selisihnya cuma 0,15 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat pemilihan presiden putaran II, LSI—lembaga anyar bentukan mantan dosen UI, Saiful Mujani—menyiarkan perolehan 62:38 untuk SBY-JK vs Megawati -Hasyim, jauh sebelum KPU menutup tabulasi nasional. Malam itu, sebagian orang menyebut quick count “semacam sulap statistik”; sebagian lain—termasuk KPU—cemas karena kewenangannya seolah didahului.
Bagaimana sains bekerja di balik layar
Komponen | Standar ilmiah | Catatan lapangan |
---|---|---|
Ukuran sampel survei | 1 200 responden nasional –> margin of error ±2,9 pp (95 % CI) | “Sweet spot” biaya & presisi; rumus MoE 0,98/n |
Desain | Stratified + multistage cluster (desa–>RT–> responden) | Bingkai populasi KPU baru stabil setelah 2004 |
Quick?count | 2.000– 3.000 TPS sampel –> MoE ±1 pp | Unit sampel adalah TPS; enumerator memfoto C1 via aplikasi |
Kontrol mutu | Call-back 20 % responden, GPS timestamp, audit PERSEPI | Pelanggaran etik bisa berujung sanksi publik atau pemecatan keanggotaan |
Statistik hanyalah payung; kerapihan angka tetap bergantung pada manusia di lapangan—dari cara enumerator mengetuk pintu hingga menahan bias saat menuliskan pilihan di formulir.
2014—ketika angka berubah jadi senjata
Tanggal 9 Juli 2014 siang, dua stasiun televisi nasional menyiarkan quick count yang saling bertolak belakang. Delapan lembaga (SMRC, Litbang Kompas, dsb.) menempatkan Jokowi-JK unggul ±52 %; empat lembaga lain (Puskaptis, JSI, LSN, IRC) “memenangkan” Prabowo-Hatta. Malamnya, Prabowo mendeklarasikan kemenangan sepihak. Dua minggu kemudian, Dewan Etik?PERSEPI mencoret Puskaptis & JSI dari keanggotaan karena menolak audit data.
Bom molotov sempat dilempar ke kantor JSI di Pancoran; polisi berjaga dua malam penuh, sementara PERSEPI mengaku “tak bisa menjamin keamanan” anggotanya pemilu.tempo.co. Quick?count berubah dari “wasit” demokrasi menjadi titik api pertarungan legitimasi.
Regulasi lahir, tipu daya ikut tumbuh (2017-2022)
Legislator merespons gemuruh itu lewat UU 7/2017 Pasal 449—melarang publikasi survei & quick count selama masa tenang, ancaman pidana 1 tahun. KPU kemudian mengetatkan pendaftaran lembaga survei; PKPU 9/2022 mewajibkan pelaporan metodologi dan sumber pendanaan sebelum hasil dipublikasikan.
Namun aturan bukan pagar sempurna. Di WhatsApp dan TikTok, “flyer elektabilitas” kerap beredar tanpa keterangan sampel—kadang mengutip margin error ±2 % padahal responden cuma 540 orang. Kolaborasi disinformasi dan micro?targeting iklan membuat angka-angka tampil glamor tapi kosong isi.
Lapangan 2019-2025: sains vs hiper-realitas
-
2019 – KPU menegaskan publikasi quick count baru boleh setelah pukul 15.00 WIB; pelanggar terancam pidana. Di sisi lain, relawan?“Kawal Pemilu” membuka kanal crowdsourcing C1, tetapi dibanjiri unggahan formulir palsu dan spam foto 200 kali TPS sama—sebuah “DDoS statistik” digital.
-
2020 Pilkada – Pandemi mendorong sebagian lembaga beralih ke RDD?telepon; bias kota–desa menuntut penimbang (weighting) lebih rumit, meningkatkan ruang manipulasi bobot.
-
2024 – Litbang Kompas memutuskan membiayai quick count mandiri 2.000 TPS agar tak bisa “dipesan”. Sementara, sebagian lembaga menawarkan “paket lengkap”: survei, konsultan pesan, hingga war room medsos.
Pada titik ini, publik mengajukan pertanyaan mendasar: apakah angka survei masih jendela realitas atau sudah cermin ilusi politik uang?
Kisah-kisah kecil di balik angka
-
Ambo, enumerator Sulawesi Selatan 2008, dilempari batu karena quick count menunjukkan calon bupati berbeda dengan real?count KPU; ia diselamatkan polisi, tapi traumanya membuat lembaga memperketat asuransi lapangan.
-
Linda, peneliti magang di Jakarta 2019, mengaudit 1?500 rekaman telepon untuk memastikan pewawancara tak “menggiring” jawaban. Ia menemukan 17?% responden sebenarnya memilih golput, tapi dimasukkan ke kolom “belum tahu”.
-
Marsudi, ahli OCR KPU 2024, memprotes kualitas kamera ponsel KPPS: “Sirekap salah baca angka ‘4’ jadi ‘9’ karena lipatan kertas,” keluhnya di rapat MK.
Cerita-cerita pinggiran inilah yang menunjukkan: statistik demokrasi bukan tentang matrix abstrak, melainkan pertemuan keringat, kode etik, dan—kadang—rasa takut.
Sains yang rapuh dan harapan ke depan
Prinsip-prinsip ilmiah—probability sampling, margin of error, audit data—membuat polling relevan. Tapi setiap prinsip punya “counter prinsip” di ruang gelap:
Prinsip Ilmiah | Jalan pintas manipulatif |
---|---|
Sampling acak nasional | Over -sample kantong pendukung klien, under sample basis lawan |
MoE diumumkan | Menuliskan MoE tapi tak sesuai rumus (n=600 disebut ±2%) |
Publikasi kuesioner | Menyembunyikan wording sugestif (push-poll) |
Audit terbuka | Menolak atau mengulur audit hingga berita basi |
Ketika tipuan ini lolos verifikasi media dan algoritma media sosial memberi viralitas, “angka” lebih dipercaya daripada paparan reporter lapangan.
Menjaga agar bilangan tetap jujur
Pada akhirnya, masa depan polling Indonesia bergantung pada literasi publik dan disiplin sains. Jika konsumen berita—dari Junaedi di Galunggung sampai investor di Jakarta—tahu bertanya “berapa respondennya?” sebelum menyebarkan grafik elektabilitas, maka ruang manipulasi menyempit.
Seperti kata seorang relawan Kawal Pemilu di warung kopi Ciputat: “Yang bikin gaduh bukan metode, tapi manusia yang memelintirnya.” Selama kamera ponsel masih bisa memotret C1, dan algoritma sampling tetap diaudit, quick count tetap berpeluang menjadi mercusuar integritas—bukan sekadar stroboskop propaganda.