Suaka Margasatwa Cikepuh di Sukabumi, Jawa Barat, dipersiapkan menjadi habitat kedua bagi badak jawa yang saat ini hanya berada di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Translokasi diharapkan membantu meningkatkan populasi sekitar 67 badak bercula satu ini.
“Di habitat yang terlalu kecil pada satu lokasi ini kami khawatirkan terjadi inbreeding (perkawinan sedarah/sekeluarga),” kata Bambang Dahono Adji, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu (16/5), di Jakarta.
Ia berbicara dalam konferensi pers kampanye untuk konservasi badak sumatera #KadoUntukDelilah. Kampanye ini didasari satu tahun kelahiran bayi badak Delilah, anak kedua Ratu dan Andalas di Suaka Rhino Sanctuary, Taman Nasional Way Kambas, Lampung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bambang menduga inbreeding telah terjadi di TN Ujung Kulon. Buktinya, hasil beberapa kamera tersembunyi menunjukkan kecacatan pada tubuh badak.
Kini, KLHK bekerja sama dengan Lembaga Riset Molekuler Eijkman serta Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia menguji genetika individu badak jawa yang berada di Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA), TN Ujung Kulon. “Uji genetika ini penting agar nanti badak yang ditranslokasikan bukan dalam satu keluarga,” katanya.
Menurut Widodo Ramono, Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia, saat ini terdapat 3 badak jawa (Rhinoceros sondaicus) yang menghuni JSRCA. “Sembilan ekor lainnya terpantau keluar-masuk,” katanya.
Pada rencana awal, dua pasang dipindahkan ke SM Cikepuh yang telah dibangun fasilitas suaka. Infrastruktur semi-eksitu ini untuk memudahkan pengamatan dan peningkatan potensi pertemuan badak jantan dan betina yang bersifat penyendiri.
Badak betina memiliki satu hari pada masa reproduksi untuk mau dikawini badak jantan. “Padahal badak kita sedikit dan tersebar, susah sekali ketemu dan kawin,” kata Widodo.
Badak betina siap kawin pada usia 7 tahun. Apabila berhasil kawin, masa kandungan 16 bulan kemudian selama 2,5 tahun menyusui dan mengasuh anak.
Namun masa yang sangat panjang ini, tak sebanding dengan ancaman perburuan di kantong-kantong badak sumatera di TN Way Kambas, TN Gunung Leuser (Aceh-Sumatera Utara), dan TN Bukit Barisan Selatan (Lampung, Bengkulu, dan Sumsel). “Tim patroli selalu menemukan jerat yang menganga setiap hari,” ujar Widodo.
Di TN Ujung Kulon, meski relatif aman dari laporan perburuan, badak jawa terancam oleh potensi bencana tsunami dan letusan Gunung Krakatau. Selain itu, sebagian habitat diinvasi tumbuhan pohon langkap (Arenga obtusifolia). “Tanaman invasif ini membuat pakan bagi badak menjadi terbatas,” kata Bambang.
Dugaan subspesies
Selain bagi badak jawa, KLHK didukung sejumlah organisasi lingkungan sedang menyiapkan translokasi bagi badak sumatera di Kutai Barat dan sebagian kecil di Mahakam Hulu, Kalimantan Timur. Pemantauan menunjukkan terdapat 23 ekor badak sumatera di hutan produksi setempat. Di sana, area habitat badak hanya tersisa 1.000 hektar di Kecamatan Damai, itu pun telah dikelilingi izin penebangan dan perusahaan tambang.
Dari sisi lain, analisis genetika pada badak sumatera di Kalimantan, Najag, yang setahun lalu ditangkap tetapi mati karena infeksi dari bekas jerat liar, menunjukkan 98 persen kesamaan badak sumatera dengan badak di Kalimantan. “Tetapi kata pakar layak dikelompokkan menjadi subspesies badak sumatera karena ada divergensi dengan perubahan 8 nukleutida yang mengubah 3 asam amino pada gen sitokrom b,” katanya.
Namun, kepastian sebagai subspesies ini masih harus diverifikasi lebih lanjut dengan memperbanyak identitas genetika individu. Caranya dengan koleksi feses ataupun bagian lain. (ICH)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Mei 2017, di halaman 14 dengan judul “Cikepuh Dipilih Jadi Habitat Kedua”.