Catatan Iptek; Rumah Kehidupan

- Editor

Rabu, 19 April 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Empat hari lalu, Pemerintah Brasil memutuskan membuka hutan lindung di Amazon seluas sekitar 350.000 hektar. Lahan tersebut akan diambil kayunya, dijadikan area pertambangan, dan pertanian. Itu dipandang sebagai langkah pemutihan untuk penguasa ilegal.

Angka yang menyakitkan setelah akhir tahun lalu, tahun 2016, Brazil’s National Space Research Institute (INPE) mengeluarkan data: deforestasi di Amazon meningkat 29 persen pada tahun 2015-2016, mencapai angka sekitar 800.000 hektar. Angka luasan deforestasi di hutan hujan terbesar di dunia tersebut adalah yang tertinggi sejak 2008. Data itu merupakan hasil pemantauan menggunakan satelit Landsat dari Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA).

Pada Konferensi Rio+20 di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 2012, Brasil mendapat applaus karena berhasil menekan deforestasi, berkurang sekitar 30 persen dari tahun sebelumnya 2011. Dan itulah catatan deforestasi terendah hingga sekarang. Tahun itu adalah deforestasi terendah di Brasil, di bawah 500.000 hektar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam Konferensi Stockholm tahun 1972, semua peserta untuk pertama kali terbuka matanya. Pada konferensi yang jadi dasar pijakan politik lingkungan internasional itu, warga dunia terbuka matanya. Dalam konferensi muncul pengakuan: hutan adalah ekosistem terluas, yang paling kompleks, menjaga keberlangsungan semua ekosistemnya sendiri, pentingnya menyuarakan kebijakan penggunaan lahan dan hutan, serta melakukan pengawasan menerus terhadap kondisi hutan di dunia, serta melaksanakan perencanaan pengelolaan hutan.

Rekomendasi penting pada konferensi yang menandai lahirnya Hari Lingkungan Dunia itu tentang hutan adalah: perlunya riset, tata kelola, dan penekanan pada lingkungan. Selain itu, perlu ada modernisasi konsep tata kelola hutan, termasuk bagaimana memanfaatkan beragam fungsi hutan yang mampu merefleksikan dana dan manfaat fasilitas yang ada di hutan. Semua itu dilakukan melalui kerja sama dengan badan-badan PBB guna menggabungkan nilai-nilai lingkungan dalam penggunaan lahan dan tata kelola hutan. Ditegaskan, pemantauan kondisi hutan harus dilakukan dengan menggunakan sistem yang dimiliki setiap negara.

Bagaimana Indonesia? Tahun 2012, deforestasi Indonesia melampaui angka Brasil. Indonesia tahun itu kehilangan 840.000 hektar hutan, sedangkan Brasil kehilangan 460.000 hektar. Indonesia menjadi rumah dari 10 persen tumbuhan dan 20 persen hewan menyusui. Sementara Brasil sejak 2001 berhasil melipatduakan luasan hutan lindung.

Alih-alih hutan terkelola dengan baik dan nilai jasa serta nilai ekonominya dirasakan masyarakat secara merata, kini wajah hutan adalah wajah konflik horizontal, konflik vertikal, tempat bertemunya beragam kepentingan. Rekomendasi Stockholm terlupakan. Tahun 1990, sekitar 70 persen deforestasi beralih ke fungsi pertanian dan perkebunan permanen-bukan ladang berpindah. Tahun 1990, seluas 16,1 juta hektar berubah fungsi menjadi perkebunan.

Tanpa ada perubahan sistem makro perekonomian dunia yang memperdagangkan hasil hutan dan mengubah gaya hidup secara menyeluruh, maka hutan terus dipandang sebagai aset ekonomi. Orang lupa pada jasa lingkungan seperti menyediakan oksigen dan merupakan sumber air utama. Keduanya adalah kebutuhan utama makhluk hidup. Mengembalikan kondisi hutan bukanlah prioritas kebijakan.

Di sisi lain, berkurangnya tutupan hutan mengakibatkan hutan semakin panas, yang berakibat pada naiknya tingkat kerawanan terhadap kebakaran hutan. Ketika dampak perubahan iklim membuahkan cuaca yang semakin lama kian berisiko, rekomendasi Stockholm layak diberlakukan lebih keras dan tegas.

Tanpa hutan, tak kan ada kehidupan. Hutan adalah ”ekosistem super” yang harus kita selamatkan. Ada ujaran: ”Alam bukanlah tempat untuk dikunjungi. Itu adalah rumah”, demikian pun berlaku pada hutan, rumah kehidupan kita.–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Juli 2017, di halaman 14 dengan judul “Rumah Kehidupan”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB