Setelah enam tahun diselundupkan ke Thailand, 14 orangutan asal Indonesia akhirnya dipulangkan. Sejumlah orangutan itu dijemput pesawat Hercules C-130 milik TNI Angkatan Udara, dan disambut heroik di Bandar Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Kamis (12/11).
”Kepulangan orangutan ini wujud komitmen kita melindungi satwa liar,” ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, menyambut kedatangan itu.
Pemulangan orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), yang menjadi korban perdagangan gelap itu memang keberhasilan dalam upaya perlindungan satwa liar. Dibutuhkan negosiasi panjang memulangkan satwa endemik terancam punah itu. Namun, di sisi lain, itu mengundang persoalan baru. Ke rimba mana akan kembali?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hutan tropis yang menjadi rumah orangutan itu terus menyusut. Menurut penelitian Matthew C Hansen, yang dipublikasikan pada jurnal Nature (2014), laju kerusakan hutan di Indonesia 2 juta hektar per tahun. Kerusakan hutan paling parah terjadi di Kalimantan dan Sumatera, yang menjadi rumah terakhir bagi orangutan. Sekitar 80 persen kerusakan hutan di Kalimantan itu, menurut data Save Our Borneo (2014), disebabkan ekspansi kebun sawit. Sisanya untuk pertambangan dan permukiman transmigran.
Konflik antara orangutan dan manusia pun menggila. Orangutan yang dianggap hama tanaman sawit dan perkebunan warga diburu. Sebagai contoh, pada akhir Juni 2015, seseorang dengan akun Facebook ”Polo Panitia Hari Kiamat” memajang foto-foto orangutan yang dibunuh, kemudian dipanggang.
Kebakaran hutan sepanjang tahun ini memperparah hidup orangutan. Bahkan, kebakaran melanda hutan di pusat rehabilitasi orangutan yang dikelola Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) di Kecamatan Samboja Lestari, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Data terakhir, populasi orangutan di Sumatera kini tinggal 6.667 ekor. Di Kalimantan sebanyak 36.125 ekor. Populasi itu terus menurun seiring hancurnya habitat. Dengan laju konversi hutan menjadi lahan sawit sekitar 520.000 hektar atau seluas Pulau Bali per tahun, nasib orangutan hanya soal waktu untuk punah.
Dirumahkan
Kebijakan pembangunan yang menghancurkan hutan sehingga memusnahkan satwa liar memang bukan persoalan baru. Punahnya harimau jawa (Panthera sondaica) dan harimau bali (Panthera balica) pada masa lalu merupakan buah dari kebijakan yang muncul sejak abad ke-18 ketika bangsa Eropa melakukan ekspansi dalam rangka mencari bahan baku untuk memenuhi kebutuhan pengembangan industri (Tadem, 1990).
Industrialisasi Barat membawa konsep bahwa hutan tak lebih dari faktor produksi yang bebas dieksploitasi. Dengan konsep itu, keberadaan satwa liar, bahkan manusia penghuni hutan, cenderung diabaikan. Konsep itu selanjutnya diadopsi negara-negara bekas jajahan, termasuk Indonesia. Bahkan, ketika negara-negara Barat kini menyerukan perlindungan hutan, kerusakan hutan di dunia ketiga tetap tak terbendung.
Akibatnya, bukan hanya satwa liar, banyak masyarakat lokal yang tergantung sepenuhnya pada hutan, seperti Orang Rimba, berada di ujung tanduk. Hutan hujan yang menjadi basis kebudayaan melangun mereka semakin hancur dan menyempit.
Secara bergelombang, mereka pun dipaksa meninggalkan hutan, terutama sejak sekitar tahun 1997, saat kemarau panjang dan kebakaran hutan hebat melanda. Kebakaran hutan tahun ini semakin mendesak Orang Rimba untuk meninggalkan hutan. Pondok-pondok terbuka, tanpa dinding dan hanya beratap terpal plastik, menyebabkan anak-anak mereka terpapar abu dan asap. Hutan tidak lagi mampu menopang hidup mereka.
Di tengah situasi ini, Presiden Joko Widodo datang menemui mereka. Foto Presiden yang berjongkok di bawah rimbunan pohon sawit dikelilingi Orang Rimba yang bercawat begitu dilematis. Semakin ironis dengan tawaran Presiden untuk merumahkan Orang Rimba.
Betul bahwa kebudayaan tidaklah statis. Orang Rimba, dalam perspektif Presiden, berhak menikmati hasil pembangunan yang ditafsirkan sebagai rumah permanen. Namun, bukankah rumah Orang Rimba adalah hutan raya? Tanpa rimba, orangutan dan Orang Rimba bakal kehilangan jati diri.–AHMAD ARIF
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 November 2015, di halaman 14 dengan judul “Orangutan Tanpa Rimba”.