Lihatlah Matanya, Kau Pasti Jatuh Hati!

- Editor

Kamis, 14 Februari 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tingkah polah anak orangutan (Pongo) tak ubahnya seperti kelucuan bayi manusia yang mengundang orang datang untuk memeluk. “Lihatlah matanya, maka kau pasti jatuh hati,” kata Ketua Borneo Orangutan Survival (BOS) Jamartin Sihite, Rabu (13/2/2019), di Jakarta.

Ia mengatakan, kesamaan deoxyribo nucleic acid atau DNA antara manusia dan orangutan mencapai 97 persen. Diketahui, orangutan merupakan kerabat terdekat manusia. Maka tak heran jika akhirnya kita menyebut Pongo sebagai orangutan yang berarti manusia yang tinggal di hutan.

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO –Orangutan albino bernama Alba saat ini berumur lima tahun dan telah melalui masa rehabilitasi di Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) di Palangkaraya, Kalimantan Tengah siap dibius untuk dibawa ke hutan, habitatnya. Alba dilepasliarkan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) di Kabupaten Katingan, Selasa (18/12/2018).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun, pada kenyataannya, hubungan manusia dan orangutan sungguh berkebalikan dengan statusnya sebagai saudara dekat. Perusakan hutan menjadi penyebab utama semakin berkurangnya populasi orangutan di Indonesia.

Lembaga swadaya masyarakat internasional World Wide Fund for Nature (WWF) memperkirakan kini hanya tersisa lebih kurang 104.700 orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), 13.846 orangutan sumatera (Pongo abeii), dan 800 orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis).

DOKUMENTASI PROGRAM KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA /JAMES ASKEW–Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis).

Hal itu memaksa WWF menetapkan status orangutan sebagai satwa rawan punah (critically endangered). Artinya, orangutan hanya setingkat di bawah status kepunahan total di alam liar (extinct in the wild).

Martin menjelaskan, banyaknya kesamaan antara orangutan dan manusia itu pula yang menyebabkan kedua spesies mamalia ini terlibat konflik tak kunjung usai. “Manusia dan orangutan punya selera sama soal pemilihan lokasi untuk bermukim,” katanya.

PANDU WIYOGA UNTUK KOMPAS–Dari kiri, Ketua Borneo Orangutan Survival Jamartin Sihite, Ketua Garda Satwa Indonesia Davina Veronica Hariadi, dan penata busana Dani Dahlan saat menghadiri konferensi pers pameran dan lelang seni A Life Worth Living di Plaza Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (13/2/2019).

Pembunuhan orangutan hingga kini terus terjadi di Indonesia. Dengan kejamnya, orangutan ditembak, dipotong, dibakar, bahkan dimakan oleh manusia yang merupakan kerabat dekatnya.

Setahun lalu, di Barito Selatan, Kalimantan Tengah, seekor orangutan ditemukan mati dipenggal (Kompas, 16/1/2018). Kekejaman serupa juga pernah terjadi di Kutai Timur, Kalimantan Timur, saat seekor orangutan ditemukan mati dengan 130 peluru senapan angin bersarang di tubuhnya (Kompas, 9/2/2018).

Penggalangan dana
“Kami membutuhkan bantuan untuk menyelamatkan orangutan,” ujar Martin. Untuk itulah, BOS bersama dengan Garda Satwa Indonesia (GSI) menggelar kegiatan pameran dan lelang karya seni yang keuntungannya akan digunakan untuk mendanai upaya penyelamatan satwa.

DOKUMENTASI CENTRE FOR ORANGUTAN PROTECTION–Pusat Rehabilitasi Orangutan yang dikelola Centre for Orangutan Protection (COP) di Kabupaten Berau, Kaltim, kini menampung 17 orangutan. Petugas di COP Borneo (CB) tengah bermain dengan orangutan, beberapa waktu lalu.

Kegiatan penggalangan dana bertema A Life Worth Living yang bertempat di Plaza Indonesia itu berlangsung hingga Jumat (15/2). Selain menggalang dana, kegiatan itu juga bertujuan sebagai pengingat bagi manusia untuk senantiasa menunjukkan hormat dan cinta terhadap alam dan seisinya.

“Bumi bukan milik manusia saja, yang lain juga berhak hidup planet ini,” kata Ketua GSI Davina Veronica Hariadi. Oleh karena itu, ia mengajak orang-orang untuk turut berkontribusi menyelamatkan satwa dengan apa pun yang bisa dilakukan. (PANDU WIYOGA)–KHAERUDIN

Editor KHAERUDIN KHAERUDIN

Sumber: Kompas, 13 Februari 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 15 Juli 2025 - 08:43 WIB

Ketika Matahari Menggertak Langit: Ledakan, Bintik, dan Gelombang yang Menggetarkan Bumi

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Berita Terbaru

fiksi

Cerpen: Simfoni Sel

Rabu, 16 Jul 2025 - 22:11 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Anak-anak Sinar

Selasa, 15 Jul 2025 - 08:30 WIB

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB