Pembunuhan orangutan terus terjadi. Karena itu, sosialisasi kepada masyarakat untuk melindungi dan menyelamatkan satwa yang dilindungi ini ditingkatkan.
Konflik antara orangutan dan manusia terus terjadi yang sering kali berujung pada kematian. Terakhir, satu orangutan di Kabupaten Kutai Timur mati dengan 130 peluru senapan angin menembus tubuhnya. Karena itu, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur meningkatkan sosialisasi terkait perlindungan dan penyelamatan orangutan.
Dalam upaya perlindungan orangutan tersebut, Kepala BKSDA Kaltim Sunandar Trigunajasa, Kamis (8/2), di Samarinda, mengatakan, pihaknya pun menjajaki kemungkinan pelarangan kepemilikan senapan angin oleh masyarakat. Penggunaan senapan angin jamak oleh masyarakat baik untuk berburu maupun mengusir hewan liar yang masuk ke kebun warga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kasus kematian orangutan akibat peluru senapan angin sering terjadi di Kalimantan. Pada pertengahan Januari lalu, satu orangutan ditemukan mati di pinggir Sungai Kalahien, Barito Selatan, Kalimantan Tengah, dengan 17 peluru bersarang di tubuhnya. Pada 2012, di Pangkalan Bun, Kalteng, orangutan diberondong 104 peluru.
Perkebunan warga
Yaya Rayadin, pemerhati orangutan dari Universitas Mulawarman, Kaltim, mengatakan, konflik orangutan dan manusia rawan terjadi di perkebunan garapan warga. Sejak terungkapnya tiga kasus pembantaian orangutan di Kaltim pada 2011 dan pelakunya dijatuhi hukuman, perusahaan sawit, tambang, dan juga perusahaan kayu tidak berani lagi mengusik orangutan.
Orangutan Sumatera bergelantung di pohon di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Aceh Tenggara, Aceh.
”Kesadaran perusahaan tumbuh dan semakin baik. Kondisi tak terkontrol justru di kebun- kebun warga. Perusahaan masih bisa menanggung kerugian uang ketika sawitnya dimakan (orangutan). Kalau warga, ya, berat. Satu orangutan dewasa per hari bisa makan 30 umbut (pohon sawit muda) yang jika dirupiahkan sekitar Rp 3 juta,” katanya.
Konflik manusia dan orangutan terjadi karena beberapa hal, umumnya karena habitat orangutan rusak akibat perambahan atau alih fungsi lahan hutan, atau bahkan perburuan orangutan oleh manusia untuk tujuan perdagangan. Direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Pusat Informasi Orangutan (YOSL-OIC) Panut Hadisiswoyo mengatakan, bayi orangutan biasanya menjadi sasaran untuk diperjualbelikan untuk menjadi binatang peliharaan.
”Problem konflik manusia dan orangutan ini harus diselesaikan,” kata Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno di Jakarta beberapa waktu lalu.
Dalam upaya itu, pada 29 Januari lalu, Direktorat Jenderal KSDE KLHK mengeluarkan dua surat edaran tentang perlindungan dan penyelamatan orangutan sumatera (Pongo abeii), orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus). Dengan surat edaran ini, masyarakat, termasuk pemerintah daerah dan kalangan perusahaan diajak untuk melindungi dan menyelamatkan orangutan.
Tanpa perlindungan, orangutan terancam punah. Saat ini, jumlah orangutan sumatera diperkirakan sebanyak 14.650 individu, orangutan kalimantan sebanyak 57.350, dan orangutan tapanuli hanya sekitar 500.(PRA/NSA/DD18)
Sumber: Kompas, 9 Februari 2018