Sebanyak 11.573 gempa bumi terekam di Indonesia tahun 2019 meski bencana geologi sebesar tahun sebelumnya. Korban jiwa, kehancuran, dan kerugian ekonomi lebih banyak disumbangkan bencana hidrometeorologi.
Sebanyak 11.573 gempa bumi terekam di Indonesia dalam sepanjang 2019, sekalipun demikian tak terjadi bencana geologi sebesar tahun-tahun sebelumnya. Korban jiwa, kehancuran, dan kerugian ekonomi lebih banyak disumbangkan oleh bencana hidrometerologi.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, dari belasan ribu gempa bumi yang terjadi di Indonesia pada tahun ini, hanya 1.107 yang dirasakan. Sebanyak 344 gempa itu berkekuatan di atas M 5, dan 17 di antaranya menimbulkan kerusakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/AGUS SUSANTO–Genangan air hujan di Jalan MT Haryono, kawasan Cawang, Jakarta Timur, Senin (23/12/2019). Sebaran curah hujan di Jabodetabek masih kisaran sedang (20-50 mm per hari) hingga lebat (50-100 mm per hari). BMKG memprediksi puncak musim hujan untuk kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi terjadi pada Februari-Maret 2020. Publik diimbau mengantisipasi curah hujan harian, yang bisa jadi berupa hujan singkat dalam hitungan satu-dua jam tetapi berintensitas lebat, atau disertai petir, angin kencang, hingga puting beliung.KOMPAS/AGUS SUSANTO 23-12-2019
Berdasarkan tren dalam 10 tahun terakhir, jumlah gempa bumi yang terdeteksi di Indonesia memang cenderung meningkat. Misalnya, pada tahun 2009 jumlah gempa bumi di Indonesia sebanyak 4.390 kali dengan yang berkekuatan di atas M 5 sebanyak 645 kali. Sedangkan pada tahun 2012 terjadi 6.730 kali gempa bumi di mana 504 di antaranya berkekuatan di atas M 5.
Dari aspek frekuensinya, jumlah gempa bumi pada tahun ini hanya kalah banyak dibandingkan tahun 2018 lalu yang mencapai 11.920 kali di mana 297 di antaranya berkekuatan di atas M 5.
Namun demikian, 2019 merupakan tahun yang relatif sepi dari bencana geologi besar, baik yang dipicu gempa bumi besar maupun letusan gunung api. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, jumlah korban jiwa akibat gempa bumi sepanjang 2019 sebesar 69 jiwa. Tahun ini tidak ada korban akibat letusan gunung api maupun tsunami.
MUHAMMAD FAHRUR RASYID–Evakuasi Nurul (15) dari tumpukan material akibat gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi di Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia, Minggu (30/09/2018). Foto ini menjadi meraih penghargaan Photo of the Year Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2019.MUHAMMAD FAHRUR RASYID30-09-2019
Jika ditotal, jumlah korban akibat bencana geologi maupun hidrometeorologi di Indonesia pada tahun 2019 sebanyak 478 meninggal dan 109 orang hilang. Jumlah korban ini merupakan yang terkecil dalam lima tahun terakhir.
Jumlah korban jiwa ini bahkan tidak ada sepersepuluhnya dibandingkan dengan tahun 2018, di mana Indonesia saa itu menjadi negara dengan jumlah korban jiwa akibat bencana alam tertinggi di dunia. Dari total 10.373 korban jiwa di seluruh dunia, 4.535 orang di antaranya dari Indonesia, dan mayoritas disumbangkan oleh bencana geologi.
SUMBER: BMKG–Sebaran gempa bumi di Indonesia sepanjang 2019. Sumber: BMKG
Laporan tersebut dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) berdasarkan data Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED), EM-DAT (International Disaster Database) menyebutkan, bencana geologi, yaitu gempa, tsunami, dan gunung meletus, menewaskan 4.417 orang di Indonesia sepanjang tahun 2018.
Bencana Hidrometeorologi
Sekalipun bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran lahan, hingga puting beliung, selalu mendominasi dari segi frekuensi kejadiannya, bencana geologi kerap memakan korban jiwa lebih banyak. Namun, untuk tahun ini, jumlah korban akibat bencana hidrometeorologi mendominasi.
Data BNPB, longsor menewaskan 117 orang dan 7 orang hilang, banjir menewaskan 260 orang dan 102 orang hilang. Sedangkan air pasang menewaskan 1 orang, puting beliung menewaskan 21 orang, dan kebakaran hutan serta lahan menewaskan 10 orang.
DOKUMENTASI BPBD BUKITTINGGI–Petugas sedang mengevakuasi seorang lansia yang terperosok di saluran air karena jalan ambles dipicu banjir di Jalan Bypass, Kelurahan Kubu Gulai Bancah, Mandiangin Koto Selayan, Bukittinggi, Sumatera Barat, Jumat (20/12/2019). Setidaknya 7 kabupaten/kota di Sumbar dilanda banjir dan longsor akibat curah hujan tinggi, Kamis-Jumat (19-20/12).
Dari aspek ekonomi, bencana hidrometeorologi pada tahun ini juga menjadi penyebab utama kerugian, utamanya akibat kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan yang merupakan terparah kedua dalam 10 tahun terakhir, setelah tahun 2015.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah lahan yang terbakar sepanjang 2019 mencapai 942.485 hektar (ha), di mana 269.777 ha berupa lahan gambut dan sisanya lahan mineral. Seperti disampaikan Kepala BNPB Doni Monardo, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia ini mayoritas sengaja dibakar dengan cara sistematis (Kompas, 23 September 2019).
Namun demikian, kekeringan panjang jelas berkontribusi memperparah skala dan kemudahan kebakaran. Musim kemarau tahun 2019 memang lebih kering dibandingkan rata-rata klimatologis tahun 1981-2010. Kekeringan tahun ini hanya kalah oleh kejadian ekstrem tahun 1997/1998 dan 2015 saat terjadi fenomena El Nino kuat.
Tingkat kekeringan meteorologis yang parah ditunjukkan oleh periode tanpa hujan lebih dari 3 bulan cukup merata di Nusa Tenggara, Bali, dan sebagian besar Jawa. Daerah Rumbangaru, Sumba Timur bahkan mencatat rekor hari tanpa hujan terpanjang, yaitu 259 hari atau lebih dari 8 bulan.
Durasi musim kemarau 2019 di Indonesia secara umum lebih panjang dari normalnya. Sebanyak 46 persen dari 342 Zona Musim di Indonesia mengalami musim kemarau lebih panjang hingga 2 bulan dari normalnya. Hingga 20 Desember 2019, musim kemarau masih berlangsung di Jawa Timur bagian timur, sebagian Sulawesi, sebagian Kepulauan Maluku, Papua Barat, dan Papua bagian selatan.
Tahun ini juga diwarnai dengan suhu tinggi di sejumlah wilayah. Rekor suhu terpanas mencapai 39,6 derajat celcius dicatat Stasiun Geofisika Kotabumi Lampung pada 7 November 2019.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebutkan, salah satu faktor yang menyebabkan kekeringan tahun 2019 menjadi cukup parah adalah kondisi suhu permukaan laut di wilayah Indonesia, terutama bagian selatan lebih dingin hingga 0,5 derajat celcius dibandingkan kondisi normal pada periode Juni – November 2019.
Suhu permukaan laut yang lebih dingin tersebut dapat dikaitkan dengan aktifnya El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif yang menguat sejak April 2019 hingga Desember tahun ini. Suhu permukaan laut yang lebih dingin menyebabkan sulit tumbuhnya awan yang berpotensi hujan akibat kurangnya kadar uap air di atmosfer sebagai dampak dari rendahnya penguapan dari lautan.
Analisis yang dilakukan Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto menunjukkan, faktor IOD positif lebih berperan memicu kekeringan tahun ini, karena El Nino dalam kategori lemah. Bahkan, menurut dia, anomali IOD positif tahun ini merupakan yang terkuat dalam 150 tahun terakhir.
Selain dinamika lokal dan regional, gejolak meteorologi yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2019 ini juga dipengaruhi oleh fenomena global. Data yang dirilis Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyebutkan, suhu rata-rata pada 2019 kemungkinan akan menjadi yang terpanas kedua atau ketiga dalam sejarah.
Tren pemanasan jangka panjang juga menunjukkan, suhu rata-rata untuk periode lima tahun (2015-2019) dan sepuluh tahun (2010-2019) menjadi rekor tertinggi. Sejak 1980-an setiap dekade lebih hangat dari yang sebelumnya. Tren ini diperkirakan terus berlanjut karena gas rumah kaca yang terperangkap di atmosfer mencapai rekor tertinggi.
Tren data-data meteorologi ini menunjukkan, iklim telah berubah. Gejolak cuaca yang bisa memicu bencana hidrometerologi bakal semakin sering dan menguat. Belum lagi, perubahan yang bersifat perlahan seperti kenaikan muka air laut bakal berdampak serius bagi wilayah Indonesia yang berupa kepulauan.
Selain bencana hidrometerologi yang diprediksi akan semakin menguat, bencana geologi yang hingga saat ini tak bisa diprediksi kapan terjadi, masih menjadi ancaman terbesar di negeri ini. Dinamika geologi yang relatif tenang di tahun ini, bisa bergejolak di tahun-tahun mendatang, apalagi banyak zona tektonik yang masih menyimpan energi gempa besar..
Sumber: Kompas, 28 Desember 2019